TOTEM
Meski wajahnya bundar dan pesek,
kalian sepakat menamai burung hantu di tengah hutan pinus Imogiri Jogja ini
dengan julukan Si Ganteng. Konon
katanya ia tidak bisa memutarkan bola matanya yang besar. Oleh karena itu untuk
mengikuti pergerakan mangsanya, ia harus memutar kepalanya seratus delapan
puluh derajat.
Kamu mengamati selaput bening yang
melapisi seluruh bagian bola matanya. Kemampuan melihatnya konon seratus kali lebih hebat dibandingkan dengan manusia. Sehingga
meskipun terbang dalam pekat malam ia tak mungkin menabrak. Sayang sekali Si
Ganteng ini tak lagi sama. Entah siapa yang tega melukainya.
Kamu elus bulu sayapnya yang sangat
halus. Begitu halusnya sehingga saat ia terbang nyaris tidak menimbulkan bunyi.
“Yups, arah sana, Zal!” temanmu
meneriakimu, si Ade sahabat kentalmu yang juga suka fotografi.
Kamu mengikuti arah telunjuknya.
Rupanya supaya pandangan matamu sama dengan arah pandangan Si Ganteng. Sekilas
kamu lirik kedua bola matanya yang terletak
di bagian depan, mirip dengan posisi matamu. Kamu amati wajahnya yang terlihat rata.
“Mateeeek! Keren abis, Zal. Cakeep!”
Ade mengacungkan jempolnya ke arahmu, sementara tangan satunya menempelkan
kamera ke bahu. Mungkin dia akhirnya lelah setelah seharian ini hunting shot-shot
bagus.
Kamu sendiri masih tak hendak
menurunkan Si Ganteng dari lenganmu. Mungkin karena meskipun dia predator tapi tidak
memiliki gigi sehingga kamu merasa aman.
“Kalau tak punya gigi, gimana ia makan?” tanyamu pada
guide tour yang mengantar kalian akhir
pekan ini menikmati pojok Jogja.
“Ia akan menelan bulat-bulat mangsa kayak
tikus, kadal, kodok dan semacamnya setelah dicabik-cabik dengan paruhnya. Bagian-bagian
tubuh mangsanya yang tidak bisa dicerna, seperti bulu dan tulang, akan dimuntahkan
kembali melalui mulutnya,” jelas guide tour yang sebenarnya adalah fans-mu dan
sukarela mengantar kalian berkeliling kota eksotis ini.
Tiba-tiba saja kamu terpikir untuk
menjadikan Si Ganteng ini sebagai totem-mu. Kamu pernah membaca sebuah artikel,
katanya ada lebih dari 150 spesies burung hantu di dunia. Ia
bisa ditemukan di semua habitat yang berbeda di seluruh dunia kecuali
Antartika.
“Apanya yang sama?”
tetiba kamu lemparkan tanya pada Ade.
Kamu perhatikan telinga Si Ganteng asimetris, berbeda ukuran
dan ketinggiannya di kepalanya.
“Posenya yang sama.
Gantengan kamu lah,” sahut Ade,”sedikit…hahaha.”
“Kapang! Perhatikan
tuh telinganya nggak sama.”
“Oh justru ini yang
membuat pendengaran Si Ganteng unggul dan memiliki kemampuan untuk menentukan
posisi mangsa, bahkan ketika ia tidak dapat melihat mangsanya,” si guide tour
menjelaskan.
Kamu belai jumbai
“telinga” di kepala Si Ganteng yang sebenarnya bukan telinga.
“Jumbai bulunya ini bisa menunjukkan mood Si Ganteng, membantunya
dalam kamuflase, atau menunjukkan agresi,” Ade dengan gaya sok tahunya nimbrung.
Kelak kamu juga
membaca kalau ternyata bentuk muka rata dan bulat burung hantu mampu
menyalurkan suara ke telinga burung ini dan memperbesarnya sebanyak sepuluh
kali lipat untuk membantunya mendengar suara-suara yang tidak dapat dideteksi
manusia.
“Melotot terus dia,” pandangmu tak henti-henti takjubnya.
“Ada soket mata
bertulangnya sehingga dia tidak dapat mengerlingkan mata,” sahut Ade.
“Wow!” decakmu kagum
saat Si Ganteng memutar kepala mereka
hingga 270 derajat.
“Gimana tidurnya
kalau melotot gini mulu?” kamu membawa Si Ganteng pindah dari sisi lengan
kananmu ke lengan kiri.
“Ada tiga kelopak
matanya, satu untuk berkedip, satu untuk
tidur, dan satu untuk menjaga mata tetap bersih dan sehat. Yuk sambil ngopi di
sana,” ajak si Guide Tour sambil menunjuk saung di dekat pohon pinus besar.
Hutan pinus
Imogiri Jogja ini serasa oase setelah
kamu sebulan penuh kemarin konser di berbagai kota dan pulau tanpa henti. Kakimu melangkah menapaki bumi
yang tertutup ranting-ranting dan dedaunan juga biji pinus yang berjatuhan.
Sementara kalian
ngopi, si Guide Tour terus bercerita tentang Si Ganteng seolah menjawab seluruh
keingintahuanmu.
“Yang jenis barn owl
bisa makan hingga 1.000 ekor tikus setiap tahun, sehingga banyak petani mencoba
mengundang burung ini untuk membantu mengendalikan populasi tikus di lahan
pertanian.”
“Tikus ya?”
“Yups, tapi dia
makan serangga nokturnal, ikan, dan burung lainnya juga.”
“Ini apa nih?” kamu
menemukan sesuatu di dekat kaki.
“Oh Si Ganteng biasa
memuntahkan pelet keras yang terdiri atas serpihan tulang, bulu, gigi, dan
material makanan lainnya yang tidak bisa dicerna.”
Sementara Si Ganteng
duduk manis bertengger di pinggiran saung, kamu memperhatikannya lebih detail. Dua
jari-jari kakinya menunjuk ke depan dan dua jari-jari kaki yang lain menunjuk
ke belakang. Kelak kamu tahu itu namanya kaki zygodactyl dan konfigurasi ini memberikan cengkeraman
yang lebih kuat sehingga mereka dapat menjadi predator yang efektif.
“Yang ini jantan ya?”
“Lhah namanya saja Si
Ganteng, bray,” Ade menepuk bahumu sambil terbahak.
“Tahu nggak kalau yang
betina justru lebih besar, lebih berat,
dan lebih agresif dari pejantan.”
“Wow!” tiba-tiba kamu
ingat seseorang, salah satu mantan.
“Yang betina sering
memiliki warna yang lebih kaya.”
“Ya iyalah. That’s woman,
pesolek,” gurauanmu memancing tawa yang lain.
“Dia pergi pagi pulang pagi kayaknya,” candamu
lagi.
“Oh kayak kamu bahkan dia berpindah ke sana sini, nomaden
untuk mencari sumber makanan terbaik,” seloroh Si Guide Tour.
Dia pun bercerita kalau
fosil burung hantu telah ditemukan berumur hingga 58 juta tahun yang lalu.
Fosil burung hantu terbesar, Orinmegalonyx oteroi, memiliki tinggi sekitar tiga
meter.
“Termasuk binatang langka
ya dia. Kayaknya nggak banyak jumlahnya,” matamu mengamati sekeliling hutan yang sepi.
“Yups. Ancaman
terbesar baginya adalah hilangnya habitat. Banyak pestisida yang meracuni burung dan persediaan
makanan mereka, bahkan ada orang yang tega menganiayanya karena kepercayaan negatif.”
Memang banyak
kepercayaan yang mengaitkan burung hantu dengan nasib buruk, kematian, dan lain
sebagainya dalam banyak kebudayaan.
“Padahal dia menjadi
simbol budaya dan telah ditemukan pada lukisan gua di Perancis, dalam tulisan
hieroglif Mesir, dan bahkan dalam seni suku Maya.”
Kamu membelai kepala dan bulunya, merasai luka dan ketakutannya, serta seolah menemukan
kesamaanmu dengannya.
Proses kreatif penulisan Man Behind The Microphone bisa di baca dalam postingan ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar