Aku
Terbata Membacamu
How dare her. She puts me right down the light just like a sinner waiting for
punishment. Dia seolah2 hendak menguliti aku. Mungkinkah itu yang kamu pikirkan?
Kubilang begitu karena kamu tak membalas email yang berisi pertanyaan-pertanyaan guna
riset novel tentangmu. Padahal waktu itu kamu yang memintaku sendiri untuk
mengirim pertanyaan-pertanyaannya lewat email tinimbang saat kita bertemu dan
bercakap-cakap langsung.
Meskipun aku juga mendapatkan material dari risetku
sendiri, tak ada salahnya kan mengorek hal-hal yang bisa kita sajikan dalam
novel ini. Sehingga fans-mu dan juga pembaca lainnya mendapatkan
kejutan-kejutan. Sesuatu yang tak pernah mereka pernah sangka dari dirimu, tapi
kamu alami dan lakukan. Tapi yeach, kamu tak menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu.
Aku terus meraba raba, apakah karena persahabatan dan persaudaraan
kalian di grup yang menyebabkan dirimu risih jika diberi spotlight sendiri,
khusus?
Yang kukhawatirkn adalah aku tak cukup lihai membaca dan menerjemahkan rasamu,lalu aku keliru dalam melahirkan teksnya untuk pembaca dan mungkin kau tak berkenan.
Tapi jika ini kutulis dalam sudut pandangku,karena itu yang
lebih kutahu,aku khawatir ini kemudian menjadi tidak relevan buat pembaca. Mereka
ingin tahu tentang kamu.
Jadi mungkin sebaiknya dibuat dua versi. Yang satu dengan
sudut pandangku. Satunya lagi sudut pandang omnicient sepenuhnya tentang
kamu,sepanjang yang kutahu.
Juga bahwa kau mengantarkanku memahami banyak fenomena yang
sebelumnya tak kusadari. that fascinate me.Bagaimana menerjemahkan dan membagikan
ulang that fascination
Jika tak kulepaskan ini dari kepalaku,selamanya akan
mengganjal dan aku tak ke mana-mana. So i
have to release it anyway, even comedy,tragedy,angry
And i've been thinking. Maybe it can
be random. I can write from any angle dan side. Middle, end, from anywhere
which i can release first.
Kupikir lagi, apa karena kamu tak berkenan dengan rangkaian
kalimatku? Apa aku kurang berbasa-basi? Atau
aku kurang cepat? Terus terang malam itu sempat terpikir untuk menulis email
langsung, mengucap terima kasih dan semacamnya. Tapi aku masih terlalu melayang
pertemuan kita kembali yang tak disangka-sangka seperti a bless serendipity that very count n
worthy. Just like magic hour being there with you.
Malam itu aku yakin tidur sambil senyum setelah mengunggah
foto kita dan caption yang di kemudian hari kusesali,karena mungkin sebab
caption itu km ilfil
kita jelas jauh. Kamu rockstar dan aku hanya seorang gembel
medioker yang suka sekali menjadi social climber. Menemui banyak sekali
serendipity, namun seringkali hanya berhenti di euforia dan permukaan.Karena
itulah kamu semakin tampak mengagumkan karena tetap sederhana dan bersahaja
meski tlah dmkn hebat
Malam indah dan menakjubkan serta terlalu excited ternyata
membawa tubuhku lemas dan sakit keesokan harinya. Oh my! padahal ini hari H-nya
mengisi pelatihan.
Aku masih harus tampil siang nanti tapi badan gak fit, kepala
pusing,perut mual. Kupaksakan diri untuk sarapan dan minum tolak angin.Kepala
rasanya berat
Semestinya aku istirahat pagi itu supaya siang nanti lebih
fit.tapi aku kadung janjian dengan teman yang akan membawaku berkeliling Medan
kali ini.
Dengan badan sempoyongan,aku tetap pergi.Di kemudian hari
aku bersyukur sekali tidak membatalkan kencan kami pagi itu karena Tjong A Fie memang
istimewa
Temanku, Atnya, membelikan banyak sekali oleh2 dan ia
menyesal knapa kami cuma bisa ketemu sebentar sebab aku masih harus melakukan
tugas utamaku hari itu.
Begitu Atnya pamitan setelah mengantarku kembali ke
hotel,barulah sakit kurasa kembali. Aku jelas blum pulih,apalagi tadi tambah
capek.
Namun sakit itu kurasakan dengan ikhlas dan rela mengingat
bhw semuanya tak berarti dibandingkan pertemuan kita semalam. Biarlah sakit,tak
apa.
Beberapa hari kemudian baru aku tahu klo kamu juga sakit setelah
malam itu. Bahkan balik lagi ke Jakarta masih dalam keadaan tidak fit. So pitty.
Tugas utama siang itu akhirnya usai dan nekatnya malamnya
aku masih jalan-jalan lagi ke Medan citywalk bareng teman kuliah dulu.Pulangnya
sdh jlas tepar
Pagi itu saat berada di ruang tunggu bandara kuala namu
sesungguhnya aku masih sakit sehingga tidak kepikiran untuk email kamu sebagaimana
kita janjikan waktu itu. Tahu sendiri kan?orang sakit konsentrasi, kesadaran,
fokus dan kecerdasannya berkurang lah.
Energi, emosi dan aura juga tidak dalam kondisi yang terbaik
Sayangnya jam keberangkatan masih lama dan aku serasa kelebihn
waktu nganggur. Jadilah kutulis email pertamaku padamu. Sayangnya kutulis dalam
dua bagian.
Bagian pertama ucapan terima kasih yang singkat dan standar.Yang
kedua malah panjang tapi terkesan to the point menggali data.Aku menyesal
sesudahnya
Harusnya yang penting justru menjalin persahabatn denganmu.Yang
lain-lain, data, curhatan akan dengan sendirinya mengikuti. Aku terlalu jaim, kaku
dan malah mungkin jadi kau abaikan.
Kupikir tadinya kamu mungkin sibuk.atau capek. Atau sedang memikirkan
dan ngedraft jawabannya. Tapi waktu berlalu, tetap tak ada balasan.
Apa itu mengurangi kekaguman dan simpatiku? tidak sama
sekali. You are just you are. Respek itu tetap ada karena senyatanya kamu memang
berharga dan langka
Yang kutangkap justru kamu menyikapi daftar pertanyaan itu dengan
mengambil langkah nyata. Seolah menemukan momen titik balik,kamu lekas menghapus
foto-foto mantan di IGmu. Dan sebagaimana yang terjadi pada waktu sebelumnya,
kode-kode itu berhamburan,menghadirkan rasa hangat dan rasa akrab yang membuat
melayang.
Merasakan diri kita menjadi sebagian terang dalam kehidupan
orang yang kita kagumi adalah momen-momen berharga.Priceless.Padahal
sesungguhny Tangan Tuhanlah yang bekerja.
**
Novel sesungguhnya menunjukkan hubungan antar karakter yang
mengupas mereka,menguliti helai demi helai,hingga akhirnya power yang mereka
kira punya jadi flaw. Hubungan seringkali tak harus intens, ketika
karakter mampu mndptkan banyak feedback hanya dari stalking karakter lain
misalnya,it still counts. Tapi tentu saja akan seru jika gesekan-gesekan
itu real dan bukan berdasar atas asumsi sepihak saja.Atau seringkali memang
justru di situlah novel bermain. Ia menafsirkan sesuatu dengan berbagai
sudut pandang yang berbeda,dan twisnya adalah ternyata smua asumsi itu salah
dan barulah terungkap kejutannya.
Bukan gayaku meninggalkan halaman
kosong atau separuh terisi setelah aku sendiri yang mulai membuka lembarannya.
Aku hanya perlu menyelesaikan. Tapi aku juga jadi berpikir ulang.
Apakah memang sebaiknya novel tentangmu tak jadi kutuliskan. Mungkin
memang seharusnya tidak, karena seringkali kata-kata meredusir rasa dan
keindahan yang sesungguhnya.
Haruskah kulanjutkan atau berhenti?
Proses kreatif penulisan Man Behind The Microphone bisa di baca dalam postingan ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar