Tips Menulis Novel: REALITAS FIKSI
Kalaupun suatu fenomena cuma dialami oleh satu orang di dunia, atau bahkan sama sekali tidak mewakili realitas, suatu cerita tetap layak diceritakan.
TIDAK ADA kewajiban fiksi untuk mewakili apa yang ada di realitas, juga tidak perlu dituntut utk harus melakukan itu.
Cuma satu alasan penting kenapa suatu cerita perlu ditulis: Penulisnya mau.
Fiksi dibatasi oleh dunia fiksi itu sendiri. Kalaupun ada nama2 yg serupa dg dunia nyata, itu bukan kenyataan faktual.
"Jakarta" di sebuah naskah fiksi BUKAN Jakarta yg kota 'itu'.
Karena? Karena itu fiksi—hasil imajinasi. Imajinasi ya menghasilkan imaji (di kepala).
Sy bukan ahli lukisan. Tapi, sy rasa, Lukisan ini bisa menggambarkan juga bagaimana fiksi bekerja. Lukisan karya Rene Magritte - The Treachery of Images.
Tulisan bahasa Prancis itu artinya "This is not a pipe".
Dan itu benar. Itu bukan pipa cangklong. Itu IMAJI pipa cangklong
Otak kita sendiri yg mempersepsi bahwa GAMBAR itu adalah pipa cangklong, padahal JELAS: dalam bentuk lukisan itu adalah CAT; di layar hape kita itu adalah pixel2. BUKAN pipa.
Fiksi bekerja seperti itu dg menggunakan kata2. Ide ttg Jakarta dlm fiksi, BUKAN Jakarta.
Sekarang, bayangkan sebuah naskah fiksi yg menggambarkan kota "Jakarta".
Sekarang ganti seluruh kata "Jakarta" dg "Paris". Imaji dalam kepala kita bisa ikut berubah dlm satu cara atau cara lainnya. Ini baru perubahan satu kata saja.
Bayangkan klo perubahannya nama2 tokoh, dsb.
Ada nama 2 tokoh fiksi: Claudia dan Supariyem.
Apa yg Anda bayangkan ttg penyosokan keduanya? Biasanya, langsung mengarah pd konsep tertentu yg Anda ANGGAP nyata. Claudia begini dan Supariyem begitu.
Persepsi kita dibatasi oleh ingatan dan keyakinan kita sendiri ttg realitas.
Lagi2, apa pun bayangan kita ttg Claudia dan Supariyem adalah Imaji dalam kepala yg tidak benar2 nyata. Apalagi asalnya adalah FIKSI (yg juga hasil imajinasi).
Jadi, hati2 saat membaca fiksi dan menghubung2kannya dg kenyataan. Kita ttp perlu ingat bahwa statusnya tetap FIKSI.
Kerja terbesar fiksi BUKAN di naskahnya, melainkan di dalam kepala pembacanya.
Ketika membaca fiksi, hal yang perlu kita pikirkan (atau ragukan) kali pertama adalah isi kepala kita sendiri.
Seperti, ketika kita memandang lukisan Magritte.
This is Not A Pipe.
TIDAK ADA naskah fiksi yg provokatif, yg ada adalah pembaca yg isi kepalanya mampu memprovokasi dirinya sendiri.
Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
New
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar