Empati pada dasarnya adalah mengamati gestur yg sedang dilakukan oleh orang lain, dan mereka-ulang gestur itu dalam kepala, lalu muncul emosi yg polanya serupa (cuma serupa, bukan sama). Pada bbrp orang emosi itu tidak muncul.
Menulis fiksi pada dasarnya adalah kegiatan mereka-ulang urutan gestur ke dalam urutan kata2 dengan ditambahi pernyataan dlm benak tokoh. Gak lebih dr itu.
Buat gw: penghayatan penulis, kata2 indah, dan sejenis ini adlh omong kosong. Gw sesederhana mereplika gestur2 manusia pake alat linguistik, trus jelasin dikit apa maksudnya. Sisanya: biarin pembaca aja yg berusaha.
Jadi, gw gak perlu tahu apa itu "kesedihan" utk bisa nulis apa adegan sedih. Gak perlu merasa sedih juga.
Cukup pelajari gmn gestur manusia merespon sebuah kejadian sedih dan bagaimana otak manusia merespon itu.
Trus, tulis deh gmn gestur tubuh menjadi cermin dr pikiran.
Dan, justru krn gw gak pernah tau apa rasanya jadi temen2 gw yg curhat itu, keknya, itu yg bikin mereka malah cerita ke gw. Kek,gw harus paham.
Ya, gw dengerin aja. Abis itu gw cocokin tuh urutan perilaku mereka sama jurnal2 ilmiah. Koheren atau nggak.
Writing is an act of empathy.
Jadi, kegiatan empati itu bukan cuma perkara kemampuan seseorang utk empati, tapi juga masalah keterlihatan gestur. Kita gak akn bisa empati sama orang sedih yg kesedihannya tidak muncul ke dalam gesturnya (krn berbagai hal, termasuk sensitivitas org dlm melihat gestur2 tipis).
Dan adanya gestur utk sampai bisa memancing empati, nggak cukup akibat satu kejadian. Otak kita selalu memperbandingkan antara kejadian yg muncul di depan kita dg pola2 yg tersimpan dlm ingatan.
Prnh ngalamin: temen keliatan gembira, kita tau dia sedih, dia: "Kok, elu tau kalo gw sedih?" Itu gak terjadi merely krn so-called "intuisi". Itu terjadi krn mata kita ga punya filter, otak yg memfilter. Krn akrab, otak jadi bisa 'liat' perbedaan tipis yg ga diliat org lain.
Ini yg bikin "intuisi" kita pada satu hal tidak membuat kita bisa berintuisi dg hal lain. Kita bisa tau temen kita sedih just "sekali lihat" (yg sbnrnya gak sekali, krn sbnrnya kita memperbandingkan dg ingatan kita sblmnya, walau gasadar), belum tentu berlaku ke org lain.
Entah gmn, mungkin karena kebiasaan mencatat dan mengingat, banyak penulis yg sangat sensitif sama pola2 gestur ORANG LAIN. Ini modal mereka nulis sekaligus curse buat mereka karena kepala mereka jadi selalu 'ribut'.
Proses menulis "persis" banget kek proses manusia berempati. Tugas penulis adalah meninggalkan Clue n Cue yg bisa ditangkap pembaca mengenai gestur2 dari tokoh dlm cerita. DAN tidak perlu terus2an dimakna2i dan dijelas2kan.
contoh: Kita tau, temen yg keliatan gembira sbnrnya sdg sedih. Kapan kita tanya; "Elu kenapa?"
Jelas: klo kita nggak tahu dia kenapa. Kalau tau, kita ga akan nanya. Membaca sama. Klo infonya terlalu jelas, pembaca ga akan nanya. Ini yg bikin pembaca bosen dn berhenti baca.
Kasi unjuk gestur2nya aja. Sampe cukup informasi sehingga pembaca sendiri yg nanya: Dia kenapa?
Jangan malah penulisnya sendiri yg nanya bolak-balik ke pembaca.
Apa yg terjadi padanya? Apakah aku harus mencari tahu? Blablabla. Yg penulis sangka bakal bikin penasaran pembaca.
Seringkali, penegasan2 pertanyaan tokoh tentang "kemisteriusan" sesuatu yg sedang dibahas dlm fiksi, kalo terus2an dilakukan, malah bikin lelah pembaca.
Like: Iyaaaa. Gw tau.... Ngapain diulang2 mulu, dah!
Mau genrenya apapun, unsur misteri adalah komponen penting dalam fiksi.
Tapi, gak usah dijelasin apa misterinya. Biarin aja pembaca yg mereka2 sendiri.
Karena, di situlah letak kesenangan membaca. Pembaca menemukan sendiri misterinya dan mengikuti cerita utk tahu jawabannya.
Klo diliat dr sudut pandang gestur, badan cerita adalah
1. Eksposisi: Gestur normal, sblm ada inciting incident.
2. Rising Action: Gestur responsif atas inciting incident (melalui banyak konflik sampai ke klimaks)
3. Falling Action: gestur baru tokoh setelah masalahnya selesai.
Fiksi adalah pengulangan pola yg muncul di dunia nyata secara tidak sempurna.
Pola yg buat gw menjadi dasar cerita fiksi adalah gestur, alias cara manusia bergerak di dunianya. Fiksi selalu ttg pergerakan2 itu
Dengan melihat dan mengamati pergerakan manusia (bahkan di level mikro: getaran kelopak mata, pupil dilation, dsb) dan memperhatikan bagaimana respon manusia sama kejadian (termasuk gestur orang lain) akan sngat membantu penulisan fiksi.
Jadi: kalo temen curhat, JANGAN sibuk ngasih nasihat. Dengerin. Komentar secukupnya. Perhatikan gesturnya.
Penulis lebih butuh keahlian mendengar n mengamati, dibanding keahlian menasihati (kecuali mau jadi mario teguh).
Pun, tmn kita keknya gabutuh nasihat. Dia butuh EMPATI.
Klo kbtulan denger curhat dlm kelompok, misal: se-gank, Jangan cuma perhatiin org yg curhat, perhatiin juga org yg denger curhat.
InsyaaaAllah, kita juga akan nemu gestur2 yg berbeda.
TIDAK ADA yg salah dg respon2 itu krn latar belakang tiap org beda. Isi ingatannya jg beda.
Klo kita gembira, kita cenderung senyum. Emosi mempengaruhi perilaku. Tapi, sebaliknya, perilaku jg bisa mempengaruhi emosi.
Silakan coba aja: Kalau sedang buru2, kita cenderung berjalan cepat2. Coba dibalik: berjalanlah cepat2. Tiba2 kita jg merasa sedang terburu2.
Otak kita mengingat pola yg bisa bolak-balik. Kalau sedang sedih, paksa utk senyum.
Tidak akan bikin gembira.
TAPI, minimal, bisa menahan agar kita tidak sedih lebih dalam SAMPAI kita bisa menyelesaikan masalahnya.
Selesaikan masalahnya juga. Jangan cuma senyum
Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar