improving writerpreneurship

Post Top Ad

Tampilkan postingan dengan label writer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label writer. Tampilkan semua postingan
Januari 16, 2020

Perjalanan Sebagai Inspirasi Menulis

by , in
 Perjalanan Sebagai Inspirasi Menulis


Beberapa waktu lalu, salah seorang dosen arsitektur yang juga sama-sama sharing menjadi pemateri workshop kepenulisan arsitektur, mengpmentari personal brandingku. Kata beliau, aku jadi lebih tampil sebagai traveler tinimbang writer di sosmedku, mungkin maksud beliau adalah instagram. Karena memang meskipun sesekali aku tampil dengan memegang buku dalam acara atau event talk show radio maupun bedah buku, tetap saja postingan jalan-jalannya lebih dominan. Lha bayangkan saja, kayak waktu itu road show buku Socioteenpreneur terbitan Erlangga saja, sharingnya di satu tempat kampus saat Oktober  lalu satu sekolah menengah atas alias SMA Yayasan di November, eh aku posting jalan-jalan di istana Maimoen, masjid Raya Medan, City Walknya Medan, area kulinerannya Medan, tempat nongkrong dan menikmati durian terkenalnya Medan, hotelku tempat menginap maupun hotel seberangnya tempat menginapnya Rizaldisandi aka Rizal vokalis Band Armada, juga kediaman Tjong A Fie dan beberapa tempat belanja oleh-oleh. Lebih banyak mana hayo jalan-jalannya ama tugas utama sebagai penulis yang bedah buku he he he.
Tapi tentu saja benar bahwa  Perjalanan Sebagai Inspirasi Menulis. Karena diakui atau tidak, kebanyakan tulisan kita tuh dapatnya ya dari banyak pengalaman dan peristiwa yang terjadi selama perjalanan. Terutama tentu saja perjalanan hidup.
 Yang sering luput adalah kalau kita tidak segera menuliskan pengalaman-pengalaman serta perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran berikut pemaknaan-pemaknaannya sepanjang perjalanan tersebut. Karena kita tahu ingatan ini sesungguhnya pendek. Apalagi jika ditumpuki oleh pengalaman-pengalaman laimnya yang lebih baru.
 Bisa saja sih memori kita menyimpan pengalaman berikut kesannya dalam benak. Dan sesekali kita bisa menggalinya  di kemudian hari, bahkan setelah berpuluh tahun mengendap, tapi tetap saja akan ada detail-detail yang tidak sempat terangkum dengan tepat, jelas. Padahal kekayaan tulisan itu sesungguhnya ada dalam detail-detail tersebut.  Emosi yang terbawa langsung saat kejadian juga menambah kedalaman tulisan.
 Itulah sejatinya bedanya penulis dengan yang bukan penulis. Dia tidak saja merekam, tapi mencerap, memaknai ulang lalu menuangkannya kembali dalam bentuk masakan tulisan yang di dalamnya sudah memengandung persepsi, pesan terselubung, dan lain-lainnya tergantung seperti apa dan bagaimana penulis mengemas serta conveying the message.

Salah satu cara untuk mengikat pengalaman, pemaknaan dan kesan termasuk emosional juga energinya adalah dengan membawa notebook ke mana-mana. Atau jurnal itu sekarang bisa kita catat di note gadget kita. Bisa dalam berbagai aplikasi. Semua tergantung preference penulis. 
 Dari note di handphone kita ini bisa angkut ke word untuk kita kembangkan menjadi tulisan yang lebih panjang. Atau juga diunggah menjadi postingan di blog. Kalau bisa berseri dan ada benang merahnya bisa dikompilasi menjadi satu buah buku yang bisa diterbitkan.
 Jadi semakin banyak perjalanan yang kita lalukan, akàn semakin banyak juga bahan tulisan yang bisa kita olah.
 Yuk makin rajin jalan-jalan, dan jangan lupa tulis ke jurnal.
 Note to my self juga ini.. he he he

 Dus, jangan malas untuk mengembangkan bahan itu menjadi tulisan yang lebih pannag dan apik supaya bisa terbaca debgan baik oleh orang lain.

 Sayang banget kan jika ide-ide dan bahan yang ada hanya berhenti menjadi kerangka alias outline saja. Mereka pasti nangis deh kalau tidak diwujudkan menjadi karya.
 Terus gimana nih kalau sudah kadung nggak sempat bikin jurnal waktu jalan-jalannya dulu. Kita bisa bangkitkan memorimya dengan melihat-lihat kembali foto-foto juga video-video selama perjalanan tersebut.
 Dari situ, mudah-mudahan memori berilut emosi, pemaknaan juga energinya bisa kita cerap lagi. Meski mungkjn sebagian persepsi sudah agak berbeda dengan saat pertama kita mengalaminya dalam realita.
 Bismillah, yuk bisa yuk.

Selamat jalan-jalan, selamat membaca ayat-ayat kauniyah dan selamat menulis!

 Lewati terminal demi terminal alias fase demi fasenya dengan penuh kesabaran agar membuahkan hasil yang menyenangkan dan membahagiakan.

Keep on going!

Keep walking!
Keep traveling!
Keep writing!

Oktober 16, 2017

Diskusi Parenting And Education At Louis Kienne

by , in
Diskusi Parenting And Education At Louis Kienne


















alhamdulillah stlh seharian kmrn puyeng pas tahu trial programme-nya minta license, akhirnya save by nano. pelajarannya adalah: ternyata pasti ada jalan keluar asal kita relax dan nggak tegang, kemrungsung apalagi marah2. plus harus yakin kalau pasti ada solusi.  


alhamdulillah lagi, akhirnya di tengah banyaknya deadline naskah dan tugas-tugas, sebuah kabar bahagia datang menjadi ice breaker. 
Ada reuni dan meet up dengan teman-teman yang meski lama tak bertemu, tapi cinta itu masih terasa. Kami juga tengah menyiapkan sebuah antologi tentang parenting dan education. So diskusi seru dan inspiratif mewarnai kopdaran yang heboh ini.


kmrn saat bersua lagi dg teman2 pergerakan stlh belasan thn tak jumpa,ada pemikiran&pglmn rasa baru yg dtg. cinta, terrnyata tak selalu sama warnanya. pun pencerahan. tekstur, gelombang yg dulu jd cirinya,kini bs berbentuk lain. aneka analisa bercampur aduk di kepala mencari jwb.



dulu saat merupa spt malaikat,getar emosi kemanusiaan justru merajai diri&sinaps2 antar kita. lalu kmrn saat alunan ombak tak lagi sedahsyat dulu, tp kt tahu cinta itu kekal, kemanusiaan justru mjd milik kt lagi. atau mmg shrsnya kt tak memandangnya dg pendktn malaikat/manusia?



itu krn kita menua,lalu cinta tak lagi serupa rasanya spt saat kita muda?cinta yg dewasa mungkin sebutannya?ataukah krn kemampuan kt bertambah shg dpt menampung lbh byk warna cinta tanpa hrs menimbulkan beriak di danau jiwa yg sdh mjd lbh luas&lbh bening sbb mengendapkn byk hal?
msh yg telat upload. sama2 merintis paud th 2006,tmn bdg kmrn ini sama dg tmn sini juga,bgn sd 2010 smp 2015. paud yg kurintis,msh paud aja. merasa ketinggalan gitu rasanya sedih&intropeksi,tp sisi lain hati yg syukur berbisik tak semua org sama rel-nya.

pun dtg semacam pelecut utk mengejar ketertinggalan. btw,sbnrnya klo mau py sekolah sd,smp,kmrn ini juga sdh di dpn mata lho ya. tp pikiran gak waras (atau justru waras) menyabotase diri spy jgn mengambilnya. atau itulah jln takdir,atau itulah ujian yg msh hrs dilalui. who knows


sepjg perjlnn balik kmrn juga pesan mba bar berputar2 trus di kepala. jgn ambil jk tdk darurat. jgn. &lalu sadar mrk yg mencegahku mengambil pilihan itu,bukan krn kontra pd plhnnya,atau mengkhawatirkn anggapan org atas plhn itu,tp lbh krn mrk eman akanku jk berada dlm posisi itu.



If we change view approach to life isn't about win or lose anymore,means we're loser? Bgm jk kt mengukurnya dg seberapa terbekatikah kita?

Terberkati mungkin berarti meski tampaknya kalah (materi) tp dilimpahiNya ujian yg membuat kt sadar kembali akan hakikat khdpn.& semacamnya

Balik ke konsep roodhiyatan mardhiyyah,bgm kt tahu ukuran 'puas&memuaskanNya' itu sesuai mau-Nya? Kalau less grade, gmn?Se-puol apa hrsnya?

Spt saat bpk sedho &sbnrnya msh py byk cita2 yg blum dicapai, apakah pencapaiannya selama ini sampai akhir hytnya sdh rodhiyatan mardhiyah?

Or ktk suami meninggal di usia 40&tentu sj spt msh jauh dr pencapaian2 yg mgkn bs diraih,rodhiyatan mardhiyah-nya y spt yg kami lht saat i
Apakh sbnrnya alm bpk or suami semestinya pencapaian2nya bs lebih dr keadaannya saat pergi itu? Ya mungkin sj. Tp bhw akhirnya baik,husnul..
.khotimah, sptmya itu yg terpenting. Meski ukuran rodhiyatan mardhiyah-nya bukan wewenang kt. &mungkin mmg bukan utk diukur,tak ada ukuran

Tp kebermanfaatan bg byk org itu jelas bs diukur.& ukurannya tdk selalu materi. Tdk hrs kaya dulu utk berbagi manfaat,ilmu,energi,kontribusi
Blkgn,berbagi manfaat tdk hrs lewat&py lembaga sendiri,tdk hrs dg lampu sorot, dll. *Mgkn ini bs jd salah satu ukuran rodhiyatan mardhiyyah?

 

 
Desember 10, 2016

16 TIPS BERTAHAN MENJADI PENULIS

by , in

16 TIPS BERTAHAN MENJADI PENULIS


Tak bisa kita pungkiri bahwa rimba raya belantara kepenulisan ini terus bergerak dengan cepat dengan berbagai perubahannya yang kadang tak bisa diprediksi. Gelombang naik turunnya yang mendebarkan juga menggelisahkan. Apakah kita akan bertahan? Bagaimana kiatnya?
  • Always believe in yourself. You have something to offer others, something worth sharing, something unique and special.

 Percayalah bahwa kita punya sesuatu untuk yang berharga untuk ditawarkan dan dibagikan pada orang lain, sesuatu yang unik dan istimewa.

  • Know the experts are not always right. There is rarely one singular way to do anything. Find your own style and way to do what you need to do to succeed.
 Ahli tidak selalu benar. Temukan gaya kita sendiri dan lakukan apa yang kita butuhkan untuk menjadi sukses
  • Never accept defeat. Change course, yes. Give up, no. Admit you made an error or mistake but don’t throw in the towel.
Jangan menyerah meskipun sudah melakukan kekeliruan dan kesalahan. 
  • Learn from others. Copy the habits of successful people when it suits you but don’t be just like them. The world needs you—not a replica of someone else.
Belajar dari orang lain. Tiru kebiasaan orang-orang sukses yang sesuai dengan diri kita, jangan hanya seperti mereka. Dunia butuh kita yang otentik, bukan hanya replika dari seseorang.
  • Realize you can improve every aspect of your writing, editing, publicity, marketing, sales, distribution, etc. Push the bar higher and keep reaching beyond your comfort zone.
Sadarilah bahwa kita bisa meningkatkan setiap aspek dalam diri kita dalam menulis, mengedit, mempublikasikan, memasarkan, menjual dan mendistribusikan tulisan kita.
  • Stop making excuses or looking for reasons you fall short.
Berhenti membuat alasan-alasan.
  • Find ways to overcome challenges or setbacks. If you just want to sulk about the unfairness of life go see a therapist, but take your passion, vision, energy, and talent and pour it into your efforts to be a successful writer.
Cari cara untuk mengatasi tantangan-tantangan.
  • Understand that those around you don’t always believe in you the way you do. In fact, some friends, family members, or colleagues would be jealous or feel threatened by your success. Don’t look for them to inspire you—it happens from within you.
Sadari dan mengertilah bahwa tak semua yang ada di sekitar kita percaya dengan cara yang kita lakukan.
  • Exploit your strength, sacrifice your weakness. Don’t worry if you suck at something—play up where you can excel. But, do realize, you are the sum of your weakness and strengths, so where ever you can improve or grow, you should.
Eksplorasi kekuatan, dan korbankan kelemahan kita
  • Remember your successes, forget your failures. Repeat the good, dismiss the bad. We’re all too quick to focus on one’s criticism while forgetting all the praise. Filter out the negative and just build on what worked for you in the past.
Ingat kesuksesan kita, lupakan kegagalan kita.
  • Wipe the slate clean–and often. Sometimes you just need a fresh start. Each day can bring new opportunity. You are not living one long day for life—we experience life in increments and your goal is to keep coming out on top, one day at a time.
Hapus dan bersihkan. kadang kita butuh mulai lagi dari awal dengan kesegaran baru. setiap hari sesungguhnya menawarkan peluang baru.
  • Change something. Sometimes you need to reshuffle the cards in order to draw the one you want. If you feel stuck or living below your potential, make a change. It may involve adding or deleting something or someone. It may involve taking the opposite approach to something. It may involve taking a risk or experimenting. Have the mindset that you have nothing to lose and you may just win big.
Ubahlah sesuatu. Kadangkala kita membutuhkan perubahan. Jika macet atau berada di bawah potensi yang semestinya kita punya, buatlah perubahan. Mungkin menambah atau mengurangi sesuatu atau orang. Mungkin berarti mengambil pendekatan yang berkebalikan. tentu saja beresiko dalam implementasinya. Tapi miliki mindset untuk nothing to lose alias tulus, dan mungkin kita bahka mendapatkan kemenangan besar.
  • Keep a positive, confident, sharing attitude present in all of your interactions. You will rub off on others and they in turn will mirror your smile, energy, and infectious good will. It costs nothing to project a winning approach and the payoff can be immense.
Tetap positif, percaya diri, senang berbagi dalam setiap kali kita berinteraksi. Jika kita senantiasa tersenyum, mengalirkan energi dan menginfeksi kebaikan, insya Allah begitu pula yang kembali pada kita.
  • Go back to the basics when you’re struggling. Remind yourself of what you’re looking to accomplish and reflect on prior successes.
Kembai ke dasar ketika kita berjuang. Ingatkan diri sendiri apa yang sedang kita cari, kejar dan selesaikan dan refleksikan pada kesuksesan yang diprioritaskan.
  • Treat yourself like a winner. Reward yourself now and make yourself feel worthy of the fruits of your labor.
Perlakukan diri kita sebagai pemenang, dan bukannya pecundang. Berikan hadiah pada diri sendiri jika mendapatkan pencapaian, buat diri kita berharga, merasakan buah atas kerja keras kita.
  • Act as if—as if you succeeded, as if you are great, as if you are who you strive to be.
Berbuat dan berperilaku seolah kita sukses, seolah kita hebat, seolah kita menjadi orang yang sedang kita tengah perjuangkan untuk menjadi. 

 

 

Agustus 12, 2016

Tips Menulis Salman Aristo

by , in
Tips Menulis Salman Aristo







Mas Salman Aristo ini suami dari mbak Gina S Noer. Mereka pasangan yang serasi dan harmonis banget ya. Kayaknya mau ngikutin Widyawati Sophan Sophiaan deh.  :)


Menurut mas Salman Aristo, film adalah medium. Sebagaimana medium-medium lainnya film punya cara untuk bisa dibaca, punya aturan sendiri. Film merupakan medium dari pesan, yang dapat berupa pertanyaan, provokasi dan pesan moral.
Pada dasarnya, penulisan skenario memiliki abjad dan grammar tersendiri. Di dalamnya harus terdapat pemikiran dasar, ada form & formula. Form adalah prinsip dasar/tidak bisa dibantah. Misalnya: macet = volume kendaraan > jalan -> di setiap masa dan dimanapun tetap begitu adanya (secara prinsip). Nasi goreng = nasi yang digoreng.
Sedangkan formula adalah teknik dan skill. Teknik itu adalah jembatan dari orang lain untuk dapat masuk ke diri kita.
Skenario adalah cabang dari penulisan. Bedanya dengan cabang-cabang penulisan yang lain seperti novel/cerpen/puisi, skenario adalah story told by pictures. Ada aura visual. Inilah yang membuat penulisan skenario berbeda. Novel: 500 halaman tentang cinta beda agama, film: 5 menit, bahkan 5 detik.
Penulis skenario berurusan dengan cium, peluk, tatapan (berfikir visual), secara kelahirannya pun audio muncul belakangan (ingat film-film Charlie Chaplin jaman dulu). Ide yang dicari adalah kisah-kisah/audio visual yang bercerita dengan momen yang punya elemen dramatik.
Story:
Macet: peristiwa, belum tentu jadi cerita.
Macet di jalan, keburu semua orang pulang -> cerita
Cerita adalah peristiwa yang memiliki elemen dramatik
Elemen dramatik:
-          Karakter
-          Objective
-          Konflik
Momen bisa jadi inspirasi membuat kita jadi membuat cerita.
Contoh: Pemenang World Press Photo: Burung nazar dan bayi merangkak
Karakter: Burung Nazar, objective: ingin makan, konflik: bayinya masih hidup
Karakter: Bayi, objective: ingin hidup, konflik: harus mencari cara supaya tidak dimakan burung nazar.
Dengan 3 elemen dramatik ini, kita akan mencari ide/gagasan dasar.
Bagaimana caranya?
Bertanya: “What if” “What’s next” “Why” dari berita-berita atau peristiwa-peristiwa, misalnya: presiden memberikan grasi kepada besan
Setelah itu memilihnya menggunakan bantuan dari formula.
Inspirasi itu harus dibentuk (di-shape), karena inspirasi itu biasanya dari lagu terakhir yang kita dengar, film terakhir yang kita tonton karena itu sering kali dangkal. Inspirasi itu harus diatur dengan teknik, jadi jangan berhenti di letusan pertama.
Ide itu datangnya dari dalam, pancingannya datang dari luar (bersifat reaktif)
Must read: Lateral Thinking – Edward de Bono -> proses kerja kreatif, pola liar, perca-perca. Untuk menurunkannya menggunakan lateral thinking (proses pikiran untuk menyusunnya – usaha untuk mencari sesuatu yang REAL but UNUSUAL)
In short Formula is: “Somebody wants something badly but having a hard time while getting it” – Frank Daniels
Premis : gagasan dasar
Dengan adanya premis, maka kita punya pijakan dasar. Ini adalah jembatan, bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk kreatornya untuk memahami idenya sendiri.
“Seorang anak ingin sekolah tetapi sekolah terdekat  3,000 km dari desanya”
“ Seorang cewek sangat ingin minta pertanggungjawaban cowoknya tetapi sekarang cowoknya sedang proses operasi ganti kelamin.”
Jadi premis itu adalah tool yang sangat luar biasa.
Premis masih bisa dikoreksi, misalnya “Seorang cewek berusia 45 tahun ingin minta pertanggungjawabany cowoknya yang masih brondong ….”
Timbul pertanyaan: Ngapain tante-tante menjalin hubungan dengan brondong? Belum kawin di usia 45?
Dengan adanya bantuan premis, kita benar-benar bisa membangun cerita kita.
Kegunaan premis adalah sebagai cara cepat dan terukur untuk meng-intrigue orang.
Dengan premis, kita punya kesempatab mengatur alur cerita karena gagasan dasar sudah ada. Jadi sebelum benar-benar mengetik, kita sudah “menulis”. Proses menulisnya adalah pada saat memikirkan.
Quote: “We never finish a film, we just release it” – Pixar

Empat ciri premis yang bisa berkomunikasi dengan orang banyak:
-          Plausibility : kemungkinan terjadi atau tidaknya. Contoh: Superman: apakah manusia bisa terbang? Ternyata Superman bukan manusia, tetapi alien.
-          Inherent : konfliknya cukup kuat atau tidak
-          Gut and emotional appeal: contoh: cewek yang minta tanggung jawab.
-          Authentic: Sesuatu yang khas dari penciptanya. Authentic lebih affordable daripada original, karena menggali ke diri kita sendiri.
Kadang-kadang atas nama original, teknik/formula diemohi, sering kali terjadi di kalangan muda.
If you want to think out of the box, do you know where the box is?
If you want to break the rule, do you know the rule?
Jadi basic/dasar tetap harus dipelajari
Setelah kita mempunyai premis kita bisa melanjutkan.
Problem yang paling besar adalah: mendapatkan ending. “Know your ending first
Dengan punya premis kita akan punya gagasan ending. Contoh cewek yang minta pertanggungjawaban: bisa/tidak
Misalnya berhasil. Maka si penulis harus bertanya, apakah itu yang akan dibuat? Kenapa memilih ending ini? Ada tanggung jawab karakter (character’s stake)
Tetapi yang lebih penting adalah : writer stake
Film wajib tonton : “The Graduate”

Formula tidak akan membatasi kreatifitas.
Apa ending AADC? Raka dan Cinta jadian
Penulisan skenario itu step-by-step
“Writing is re-writing”
Film yang baik adalah bukan ditulis, tetapi ditulis ulang.
Contoh:
-          Laskar Pelangi : 18 draft
-          Sang Pemimpi : 13 draft
-          Garuda Di Dadaku : 10 draft
-          Hari Untuk Amanda : 9 draft
Secara psikologi proses kreatif itu back and forth. Kalau harus diganti ya diganti. Jadi awalnya selalu premis.
Film wajib tonton: Tokyo Story, Finding Nemo, Toy Story, Up.
Dengan punya premis, kita punya kesempatan untuk memikirkan tema. Tema itu harus satu kata, supaya solid. Alasannya adalah kita tidak bisa mengucapkan 2 kata dalam waktu yang bersamaan. Gunanya tema adalah sebagai alat komunikasi yang asik ketika ditanya. Misalnya: Cerita Akhir Sekolah -> eksistensi, Goodfather -> family. Tema bisa ditentukan lebih dulu sebelum premis.
Apakah premis = moral cerita? Belum, jangankan moral cerita, genrenya saja belum.
Begitu kita bikin alur baru bisa kita turunkan.
Kalau ganti premis, apakah buat dari awal? Biasanya kalau sudah solid tidak perlu buat dari awal.
Untuk membuat premis dasar tema -> dibuat clear.
-          Memilih kata
-          Dijernihkan
-          Mencari problem utama
-          Action line
-          Relationship line
Tema itu yang mengikat supaya tidak lari. Finding Nemo -> trust (Merlin vs Nemo)
Relationship:
-          Merlin vs Dory
-          Kura-kura
-          Hiu
-          Jill (di akuarium)
Multi premis: misalnya Babel, No Country for Old Man, Burn After Reading.
Yang diformulasikan adalah tulang/strukturnya.


Awalnya adalah puisi berjudul ”Candi” karangan Sanusi Pane yang dibaca Salman Aristo di depan kelas III sekolah dasar. Sejak itu, ia jatuh cinta pada puisi dan sastra. Sebelumnya, ia terpikat pada sinema. Gabungan dua bidang seni itu membentuk Salman hari ini. Penulis skenario film.
Salman adalah nama di balik skenario film Ayat-ayat Cinta (adaptasi dari novel karangan Habiburrahman El Shirazy), Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi (Andrea Hirata), serta Garuda di Dadaku. Ketiga film yang disebutkan pertama itu masih berada di daftar sepuluh besar film terlaris Indonesia sejak 2007.
Skenario film pertama yang terwujud di layar lebar, Brownies, masuk dalam nominasi skenario terbaik versi Festival Film Indonesia 2005. Selepas itu, pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976, ini merampungkan lima naskah film dalam kurun waktu 18 bulan. Melihat produktivitas itu dan geliat kebangkitan film Indonesia, Salman memutuskan berhenti menjadi wartawan dan fokus pada penulisan naskah film.
Ia tak menyesali keputusan tersebut. Dunia film dan literasi telah memikatnya sejak kecil. Ia juga memulai memproduksi film. Produksi pertamanya, Garuda di Dadaku, mendatangkan 1,5 juta penonton di bioskop-bioskop.
Kecintaan terhadap film mulai tumbuh ketika menyaksikan film Captain America di bioskop sekitar Manggarai, Jakarta Selatan, waktu ia berusia lima tahun. Hingga akhir dekade 1980, Salman menyimak dan mengagumi karya besar film Indonesia, seperti film Taksi besutan Arifin C Noer. Selepas itu, ia lebih banyak menonton film Hollywood karena industri film dalam negeri saat itu roboh.
Pada masa suram perfilman Indonesia tersebut, ia terkesima pada film Rain Man (Barry Levinson, 1988) dan film-film dari Eropa. Dari film itulah, standar tontonannya ”naik”. Uang sakunya habis untuk menonton bioskop. Ia menjadi seorang ”kutu film”, tetapi belum yakin bisa memproduksinya. Baru ketika kuliah di jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Bandung, wawasannya terbuka. Membuat film tak butuh biaya besar.
Belakangan, ia menyebarluaskan kebisaannya menulis skenario lewat sejumlah pelatihan rutin. Di sela-sela kegiatan perfilmannya, Salman ”menyepi” dengan berkumpul bersama teman-teman band Silentium yang ia bentuk sejak 1999. Musik ialah denyut kreativitasnya yang lain.




Berikut adalah tanya jawab pembaca Kompas dengan Salman Aristo tentang ide, gagasan, dan harapan pemain bas Fender jazz bass ini.

Kagetkah Bang Salman dengan kesuksesan film Ayat-ayat Cinta?
(Aan P, Garut)
Sangat kaget karena di luar dugaan. Pada masa itu, diyakini bahwa sasaran penonton film yang diarah Ayat-ayat Cinta, masih belum ”keluar” ke bioskop. Jadi hasilnya buat saya cukup mengejutkan.

Bang Salman Aristo, bagaimana awal mula Bang Salman terjun di dunia perfilman? Jika ada kesempatan untuk menulis skenario film tentang si Pitung, Jaka Sembung, atau Wiro Sableng, mana yang paling Bang Salman minati, kenapa?
(Irfan Syariputra, Bekasi Utara)
Cerita ini cukup panjang. Tapi, awalnya dari seorang bocah lima tahun yang jatuh cinta pada sinema saat pertama kali ke bioskop bersama orangtuanya. Kalau memang sangat ingin tahu lebih detail lagi, bisa cek ke situs personal saya di salmanaristo.com bagian ”Tentang”.
Tiga-tiganya (Si Pitung, Jaka Sembung, Wiro Sableng) ha-ha- ha. Karena saya lahir-besar di Jakarta, nyaris sudah ”dibaptis” jadi Betawi di area saya dibesarkan di kawasan Menteng Wadas, Jakarta Selatan. Jadi, Pitung adalah pahlawan kanak-kanak saya. Jaka Sembung adalah sentuhan pertama saya dengan film laga Indonesia. Sementara Wiro Sableng selalu jadi jeda paling saya cari saat mencuri waktu dengan membaca komiknya diam-diam.

Apa yang memotivasi Anda terus berkarya di dunia perfilman Indonesia? Terkait film-film yang ditayangkan di televisi, apa pendapat Anda tentang kondisi perfilman Indonesia?
(Perlita Nathania, Yogyakarta)
Pada dasarnya, hasrat terbesar saya adalah cerita. Saya merasa saya adalah pencerita. Film adalah medium yang saya cintai dan saya anggap sangat kuat dalam menyampaikan cerita. Berbagi cerita sepertinya sudah jadi jalan hidup saya. Untung/rugi rasanya sudah tidak relevan dimasukkan dalam ”peta” itu.
Satu yang harus dipahami, bioskop dan televisi adalah dunia medium dan dua industri yang amat berbeda meski saling terkait. Industri film bioskop tempatnya, ya, di bioskop. Televisi punya film dan tata caranya sendiri. Jadi, jangan dicampur logikanya. Jadi, film bioskop industrinya harus tumbuh dengan sehat karena film bioksop, seperti TV, juga punya potensi kontribusi amat kuat ke masyarakat. Soal akses bioskop yang tidak sampai ke akar rumput adalah hal yang sedang diperjuangkan oleh para pekerja film bioskop Indonesia.
Ini memang masalah besar sejak tahun 1990-an sampai sekarang. Melihat negara lain sebagai contoh, misalnya, Korea Selatan atau Tiongkok, bioskop ada di mana-mana sampai ke pelosok. Dulu, pada era 1970-80-an, Indonesia punya bioksop sampai tingkat Kabupaten. Silakan coba juga cari tahu sendiri soal sejarah bioskop di Indonesia.

Bagi saya, Anda adalah salah satu jagoan dalam naskah film di Indonesia. Apa hal paling mendasar agar dapat membuat naskah yang menarik dan dapat ditangkap oleh khalayak? Untuk waktu dekat ini, adakah naskah film yang tengah Anda kerjakan?
(Imas Damayanti, Jakarta Timur)
Tiap penulis punya cara dan metodenya sendiri-sendiri. Selama ini yang selalu saya coba kembangkan adalah membuat relasi antara cerita dan penonton melalui bangunan karakter yang kuat dan memikat. Negeri ini amat kaya dengan berbagai macam kultur dan istiadat, surga buat menggali karakter yang khas, unik, dan sekaligus bisa dirasakan dekat oleh penontonnya. Saat ini ada beberapa naskah yang sedang dikembangkan di Wahana Penulis, tempat saya menggodok cerita bersama rekan-rekan lainnya, mulai dari layar lebar, naskah drama radio sampaiwebseries.

Kapan biasanya Anda menulis skenario? Pernahkah Anda mengalami ”jalan buntu” atau ”tiba-tiba mati ide” saat menulis? Apa yang Anda lakukan kemudian?
(Githa Nila Maharkesri, Depok)
Dulu saya merasa saya adalah ”orang malam”. Namun, sejak benar-benar terjun menjadi profesional, saya melatih diri saya untuk bisa menulis kapan saja dan di mana saja, apalagi teknologi gawai sudah memungkinkan untuk itu. Saat ”mati angin”, saya biasanya akan datang ke hobi saya yang lain, musik. Apakah itu melakukan fingering di bass kesayangan saya, pegang gitar, atau mendengarkan album-album favorit yang sudah saya anggap signifikan dalam hidup saya.

Bagaimana Anda mendapatkan gambaran alur cerita aspiratif yang begitu menarik, lengkap dengan unsur budaya kisah tersebut sehingga pola pikir penonton dapat teraplikasi positif?
(Aditya Jaka Laksana, Cipete Selatan)
Saya selalu percaya dengan yang dibilang almarhum seniman besar Soedjatmoko. Ide itu pasti punya kaki. Artinya, saya selalu berusaha ide-ide saya punya relevansi dengan masyarakat, dengan publik penonton saya. Untuk itulah, saya selalu berusaha dekat dan terimbas terus hingga peka dengan dinamika masyarakat. Dengan cara apa pun.

Mas Salman, mata pelajaran/kuliah apa yang dulu disukai sehingga mampu mengantar jadi penulis skenario andal? Mata pelajaran/kuliah apa yang seharusnya dipelajari agar mampu menjadi seperti Anda?
(Firman Kurniawan Sujono, Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia)
Saya belajar skenario secara otodidak. Disiplin ilmu saya Jurnalistik. Sarjana saya dari bidang itu di Universitas Padjadjaran. Jadi kalaupun ada kolerasinya, adalah menulis. Dan saya mencintai film. Pada titik itulah korelasinya dengan dunia akademis saya. Sisanya, saya belajar sendiri dari buku dan lainnya. Kalau memang benar-benar berminat belajar secara formal, bisa sekolah film.

Bisakah kasih tips supaya termotivasi menulis? Apa yang menjadi pemancing Anda dalam menulis, apakah mengalir saja, atau apakah bikin peta permasalahan?
(Latif Bimo Yustisiano, Kota Cimahi Jawa Barat)
Halo Bimo. Ada banyak teknik menulis. Cari di search engine pasti banyak. Coba saja ketik key word, how to write a novel/screenplay/poem/shortstory. Buku juga banyak sekali. Justru modal awalnya adalah hasrat. Seberapa besar mau meluangkan waktu mencari dan melahap segala hal tentang penulisan itu. Budi Darma pernah bilang terobsesilah dengan menulis, bukan menjadi penulis.

Lebih mudah mana membuat skenario adaptasi (dari novel) atau asli? Bagaimana membuat skenario yang bisa membuat filmnya laris?
(Ahmad Bahtiar, Depok)
Teknisnya lebih kurang sama. Kesulitannya juga khas. Yang satu soal kepekaan terhadap sudut pandang dari karya yang sudah ada. Satunya lagi soal keotentikan cerita kita dan bagaimana orang akan peduli dengan cerita kita.
Ini tidak pernah bisa dijawab dengan satu jawaban pasti sebab ”laris” bukan cuma datang dari skenario saja. Faktornya banyak sekali.

Apakah sinopsis sudah memiliki hak cipta? Rumah produksi atau stasiun TV mana saja yang terbuka untuk menerima sinopsis dari penulis pemula dan apa bisa dikirim lewat surat elektronik? Lalu, bagaimana cara mencegah agar ide kita tidak dicuri sewaktu mengirimkan karya tersebut? Bisa ceritakan sedikit tahapan-tahapan belajar yang dilakukan Mas Aris sehingga bisa menjadi penulis seperti sekarang ini? Misalnya, berapa jam dalam sehari Mas Aris meluangkan waktu untuk menonton film, membaca script, atau hal-hal lain yang dirasa diperlukan untuk menjadi penulis skenario yang berkualitas?
(Apendi, Jakarta Barat)
Sinopsis sudah bisa didaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI (Hak Kekayaan Intelektual).Production house dan TV sangat terbuka. Soal curi-mencuri itu sudah ada mekanisme hukumnya. Kalau bisa dibuktikan secara hukum, akan dapat perlindungan dari sana. Sebenarnya, hak cipta itu sudah lahir dengan sendirinya. Jadi siapa pun yang mencuri bisa dituntut.
Saya selalu berusaha meluangkan waktu paling tidak sehari menonton satu tayangan audio visual. Apa pun itu. Dulu waktu masih ada waktu, bisa tiga-empat film sehari. Sekarang minimalwebseries. Sisanya saya selalu terus memburu buku apa pun soal skenario, film, dan penceritaan.

Apa kekhawatiran terbesar ketika Anda menulis sebuah skenario film, apalagi film tersebut diangkat dari novel laris? Bagaimana meyakinkan diri bahwa kekhawatiran itu dapat diatasi?
(Ali Machmudin, Jakarta Pusat)
Kekhawatiran saya selalu sama, adaptasi ataupun tidak, apakah saya sudah mencurahkan semua kemampuan terbaik saya? Cara meyakinkan diri adalah dengan selalu terbuka dengan kemungkinan kalau saya pasti masih berbuat salah dan harus terus belajar. Jadi, belajar tanpa henti adalah jurus utama saya mengalahkan kekhawatiran itu.



Produktivitas ini diakui Aris bukan semata-mata karena kemampuannya dalam menulis. Ia mengungkapkan bahwa sejak awal kariernya, ia memang sudah merancang pola kerja khusus yang memungkinkannya bekerja lebih disiplin. Kedisiplinan inilah yang membuatnya menjadi seproduktif sekarang.

"Gue percaya banget metode, pattern, tools, atau formula untuk bekerja. Yang tidak boleh diformulasikan itu kontennya, tapi struktur cara bekerja itu harus. Kalau nggak, lo nggak akan pernah bisa disiplin dan nggak akan bisa ada di industri. Pegangan gue selalu deadline. Gue selalu punya rancangan menulis gue. Misalnya, storyline harus dibikin kapan, sinopsis kapan," ungkap Aris kepada Muvila dalam wawancara di kantor Wahana Penulis, Jakarta pada 29 Juli lalu.

"Kuncinya cuma satu, deadline. Justru itu buat gue menyenangkan sekali, karena gue bisa bekerja simultan. Nggak paralel, tapi simultan, bukan multitasking. Gue selalu atur bahwa gue akan mulai kerjakan yang B jika kerjaan yang A sudah sampai taraf mana. Selama ini, gue baru akan masuk menuliskan sesuatu yang baru kalau yang sebelumnya sudah sampai taraf sequencing (pembuatan sekuens). Semepet-mepetnya, gue nggak pernah kerjain berbarengan. That's the secret," papar penulis skenario Catatan Akhir Sekolah, Garuda di Dadaku, dan Hari untuk Amanda ini.

Setelah dirilisnya film Mencari Hilal yang melibatkan Aris sebagai penulis cerita dan skenario (bersama Bagus Bramanti dan Ismail Basbeth), penulis yang juga aktif sebagai produser dan sesekali jadi sutradara ini (Jakarta Maghrib, Cinta dalam Kardus) masih akan disibukkan dengan beberapa proyek film yang tengah berjalan. Yang terdekat adalah film aksi komedi Skakmat garapan Ody C. Harahap, yang segera memulai syuting.

Selain itu, Aris juga mengerjakan skenario film roman Tak Bisa ke Lain Hati untuk MNC Pictures, film biografi Hatta garapan Erwin Arnada, serta Athirah garapan Riri Riza yang baru menyelesaikan syuting. Aris juga telah dipinang untuk mengadaptasi novel laris Malaysia, Bagaikan Puteri, dan masih di tengah proses adaptasi novel petualangan Giganto karangan Koen Setyawan.
Bagi Aris, tidak ada karyanya yang dibuat secara instan. Semua skenario atau cerita yang ditulisnya merupakan hasil dari berbagai proses yang panjang, sampai akhirnya bisa diwujudkan dalam sebuah produksi audio visual. Jika ada beberapa film yang memakai hasil tulisannya dirilis berdekatan, itu pun biasanya sudah mulai dikembangkan jauh sebelumnya.
"Skakmat itu spec script (skenario yang dibuat tanpa komitmen dengan pihak lain untuk produksi tertentu, red), udah dari 2009. Tak Bisa ke Lain Hati yang bener-bener gue nulis (dari awal), itu pun udah draft dua, jadi nggak terlalu menyita waktu banget. Bagaikan Puteri kan baru mau mulai jalan. Sisanya, film-film Islam Cinta kayak Ayat-Ayat Adinda atau Mencari Hilal itu udah jadi dari tahun 2014, dan bukan cuma gue yang tulis skenario, walau cerita memang dari gue. Sama Giganto juga masih lanjut. Hatta lagi mau produksi, skenarionya udah lock. Tapi, mungkin karena filmnya gede jadi agak rumit," ungkap Aris.

Meski beberapa skenario yang ditulis Aris merupakan adaptasi (sebut saja Laskar Pelangi, Sang Penari, Negeri 5 Menara), sebagian besar karyanya tetaplah cerita orisinal yang dikembangkan Aris dan timnya. Begitu banyaknya proyek yang ditangani mungkin menimbulkan pertanyaan tentang cara ia dapat menemukan ide untuk memulai penulisan semua skenario itu. Namun, Aris menekankan bahwa mendapatkan ide bukanlah hal yang tersulit dalam proses penulisan skenario.

"Yang susah itu memilih. Inspirasi ada di mana aja, dari internet, dari buku, dari film, segala macam. Bermain-main dengan 'what-if' aja udah ada ratusan ide untuk menstimulus kepala untuk punya cerita. Cuma, dari itu semua, mana yang mau kita pilih dan kita jalani. Nah, itu yang perlu skill, itu perlu diasah. Kalau ide itu gampang, beneran gampang banget," ujarnya.




dari berbagai sumber
Agustus 12, 2016

Tips Menulis Gina S Noer

by , in
Tips Menulis Gina S Noer


Siapa yang nggak kenal nama Salman Aristo?
Nah, mbak Gina S Noer ini adalah istrinya yang juga sukses di dunia skenario film. Saya pertama kenal langsung dengannya saat saya memenangkan lomba menulis cerpen yang diadakan Plot Point dan kemudian dibukukan dalam Cerita Cinta Kota.

Kemudian  tulisan saya terpilih lagi saat Plot Point bikin event lomba menulis cerita sebagai kado hari Film Nasional. Dan mbak Gina ini serta dua orang film lainnya lagi yang menjadi jurinya.

Yuk simak tips darinya. Bagi mbak Gina S Noer aka Retna Ginatri S. Noer, kesuksesan film garapannya merupakan sebuah rezeki dan keberuntungan. Dia mengakui bahwa tidak semua film yang ditulisnya terjamin akan menjadi box office.

Untuk menciptakan film yang sukses di pasaran, ada kerjasama tim yang solid di baliknya. Jika ada sebuah skenario yang bagus, belum tentu akan terlihat bagus di layar jika sutradaranya kurang mumpuni. Namun kadangkala ada pula skenario yang biasa saja, digarap oleh sutradara yang bagus maka hasilnya pun bisa jadi memuaskan.
Gina sendiri memandang, pengembangan skenario adalah suatu investasi awal yang paling murah bagi para produser jika ingin menghasilkan film yang berkualitas. Dia melihat masih ada saja pihak yang menganggap enteng masalah skenario.

Gina tidak mau terburu-buru dalam bekerja. Dia membutuhkan waktu yang cukup panjang yaitu minimal enam bulan dalam menciptakan skenario yang matang. Waktu sepanjang itu dihabiskan antara lain untuk merumuskan ide cerita, melakukan riset, menyusun sinopsis, memperkuat karakter, hingga menulis skenarionya. Setelah jadi, skenario pun biasanya masih harus melalui proses perubahan berkali-kali.
Selama proses menggarap skenario, dia melibatkan sutradara, produser, dan sebuah sindikasi penulis skenario. Mereka akan membantu mengembangkan ide cerita tetapi ide dasar dan proses menulis skenario itu sendiri tetap berada di tangan Gina.
Pekerjaan menulis skenario memang berbeda dengan pekerjaan menulis buku, cerpen, atau puisi yang dapat dilakukan murni seorang diri. Pada prakteknya, seorang penulis skenario tetap harus berkolaborasi dengan pihak lain untuk melakukan pengembangan cerita.
Salah satu hal penting yang kerap dilupakan dalam proses penggarapan skenario adalah riset. Gina yang memiliki latar belakang pendidikan Komunikasi Massa pun merasa beruntung. Lewat ilmu jurnalisme investigasi yang dia pelajari saat kuliah, dia memiliki modal kuat untuk melakukan riset.
Skenario yang baik baginya adalah skenario yang memiliki cerita serta menampilkan karakter-karakter yang menarik, sehingga membuat penonton terus bertanya, “What’s next?”.  

Apabila penonton telah berhenti bertanya, artinya mereka kurang menikmati. Apalagi di era sekarang ini, jika bosan dengan film maka beralih ke telepon pintar di genggaman tangan adalah langkah termudah.



dian nafi dengan mbak Gina S Noer dan tim Plot Point di UWRF Ubud Bali


Gina merasa film sangat berperan penting bagi kehidupannya. Film baginya dapat membentuk hidup seseorang. Sejak kecil, dia gemar melahap berbagai bacaan dan film. Hal tersebut tak lepas dari pengaruh keluarganya.
Dia lahir dan sempat merasakan masa kecil di Balikpapan. Saat usianya 10 tahun, dia bersama keluarga pindah ke Jakarta. Selain membaca dan menonton, Gina kecil pun senang menulis.

Saat duduk di bangku SMA, sahabatnya mengenalkan kepada Angga Dwimas Sasongko yang kini menjadi sutradara. Gina dan Angga membuat bersama yaitu film pendek berjudul Maya (2003).
Film digarap dengan modal handycam pinjaman. Bahkan untuk mengedit film tersebut, mereka harus ke daerah Mangga Dua karena tidak memiliki komputer. Mereka kemudian mengikutkan filmnya ke kompetisi film pendek. Setelah film tersebut, mereka tak berhenti berkarya hingga kini.
Ada sebuah momen penting lainnya saat Gina masih duduk di bangku SMA. Dia mengikuti sebuah workshop perfilman dari kru Ada Apa Dengan Cinta? termasukMira Lesmana dan Rudy Soedjarwo. Kala itu hujan turun, tapi dia tetap bersemangat untuk ikut. Siapa sangka, saat ini dia telah menjadi rekan seprofesi Mira Lesmana dan Rudy Soedjarwo.

Seru kan pengalaman mbak Gina dalam dunia tulis menulis, skenario dan perfilm-an. Dengannya aku akhirnya bertemu langsung guna brainstorming ideku tentang sebuah novel. Berangkat dari ketertarikan mereka akan cerpenku yang menang lomba saat itu, mereka memang memintaku menulis cerita yang lebih panjang aka novel untuk bisa diterbitkan. 

Beberapa ide kusampaikan dalam pitching dan brainstorming di Jakarta kala itu, dan mbak Gina meng-ACC salah satunya yang kemudian kukembangkan menjadi novel Mengejar Mukti. Alhamdulillah novel tersebut akhirnya lahir dan sudah bisa teman-teman dapatkan di sini >> https://play.google.com/store/books/details?id=2D3JDAAAQBAJ


Kami bertemu lagi saat sama-sama menghadiri Ubud Writer Reader Festival di Bali waktu itu, sekitar Oktober beberapa tahun lalu. Kemudian kami jumpa lagi saat awarding night di Crematology Coffee &  Roaster  daerah Senopati Jakarta. Karena novelku Shape Of My Heart terpilih menjadi salah satu dari delapan novel terbaik pilihan even Bulan Narasi yang diselenggarakan Nulis Buku dan Plot Point.  Lalu aku bersua lagi dengan mbak Gina karena mendapat undangan hadir dalam gala dinner yang digelar oleh Mizan September tahun berikutnya sekaligus launching Mizan Digital Initiatives.

 
Sukses terus ya mbak! Proud of you!
dian nafi dengan gina s noer pitching dan  brainstorming jakarta

Feature Film
  • Foto, Kotak dan Jendela (2006)
  • Lentera Merah (2006)
  • Jelangkung 3 (2007)
  • Musik Hati (2008)
  • Ayat-Ayat Cinta (2008) (bersama Salman Aristo)
  • Perempuan Berkalung Sorban (2009)
  • Queen Bee (2009)
  • Hari Untuk Amanda (2010) (bersama Salman Aristo)
  • Habibie & Ainun (2012) (bersama Ifan Adriansyah Ismail)
  • Pintu Harmonika (2013) (bersama Piu Syarif, Rino Sarjono, dan Bagus Bramanti, Sigi Wimala)

Short Movies
  • Maya (2003) (produser) Sutradara : Angga Dwimas Sasongko
  • Ladies Room (2003) (produser & penulis) Sutradara : Angga Dwimas Sasongko
  • Refleksi (2005) (penulis) Sutradara : Angga Dwimas Sasongko
  • Harmoni Baruga (2009) (penulis) Sutradara : Dani
  • JK (2009) (penulis) Sutradara : Hanung Bramantyo





dari berbagai sumber
Maret 02, 2016

Menulis Sebagai Pilihan Gaya Hidup

by , in
Menulis Sebagai Pilihan Gaya Hidup


Berikut petikan wawancara dengan Alinea TV




Dian Nafi menasbihkan dirinya sebagai pecinta purnama dan penikmat hujan. Lulusan arsitektur Undip Semarang ini, selain menulis juga mengelola PAUD, aktif di komunitas Hasfriend, dan Pimpinan Redaksi DeMagz. Tulisannya bertebaran di berbagai media cetak, dan acap memenangkan berbagai perlombaan penulisan. Ikuti bincang-bincang AlineaTV dengan penulis yang sudah menelurkan 14 buku ini.

Apa artinya menulis buat kamu?
Menulis mula-mulanya menjadi terapi, dari kesedihan kehilangan pasangan saat itu dan kehilangan banyak hal setelahnya, dari trauma masa lalu, dll. Kemudian lambat laun bergerak menjadi sebuah cara untuk menyuarakan banyak hal. Suara hati, suara lingkungan, dan suara dari teman-teman, saudara, atau kenalan yang akhirnya berdatangan curhat.
Sedekat apa masa kecil kamu dengan dunia menulis?
Almarhum ayah rajin membawakan kami banyak buku dan komik. Saya mendapat hadiah diari darinya di ultah saya yang kedelapan, beliau mengajarkan saya menulis buku harian. Sejak itu saya banyak menulis meski masih untuk konsumsi sendiri. Kelas empat SD saya dikirim mewakili sekolah untuk lomba menulis resensi tingkat kabupaten dan menang. Selanjutnya saya terus menulis tapi hanya untuk konsumsi sekitaran, jadi redaksi mading dan juga majalah almamater di SMP, SMA dan kampus.



Sejak kapan mulai menulis secara profesional?
Sejak 2010. Semua bermula saat saya harus iddah atau tinggal dalam rumah selama 4 bulan 10 hari karena suami meninggal awal tahun 2008. Di saat banyak waktu luang itulah saya bersentuhan dengan Facebook dan menuliskan banyak curhatan di sana. Lalu ikutan lomba-lomba menulis dan beberapa kali menang. Tulisan mulai diterbitkan dalam bentuk antologi sejak 2009. Semakin lama makin keranjingan ikut kompetisi menulis. Dari beberapa kali menang, akhirnya saya mulai mendapat tawaran menulis buku solo dari beberapa penerbit. Begitu seterusnya.
Bagaimana cara mengatur waktu menulis dan proses mencari ide-ide kreatif?
Biasanya saya menulis dari jam tujuh pagi sampai dua belas siang. Lanjut lagi jam satu sampai tiga sore. Malam nulis lagi jam sembilan sampai jam sebelas. Lanjut dini hari mulai jam dua sampai subuh. Tapi menulisnya ini selang seling dengan membaca. Sebulan saya biasanya membaca 5-12 buku. Ide kreatif saya dapatkan dari banyak mengamati yang terjadi di sekitar, dari beberapa kegiatan yang saya ikuti, dari peristiwa-peristiwa yang saya lihat langsung ataupun saya dapatkan dari curhatan teman-teman, saudara-saudara maupun orang-orang baru yang saya temui selama traveling dst. Buku-buku bisnis, leadership, psikologi, parenting, dan non-fiksi lainnya serta buku biografi seringkali juga menjadi sumber ide kreatif yang mendukung cerita-cerita yang embrionya sudah ada dalam kepala.
Menurut kamu, apa yang membedakan karya-karya kamu dengan penulis lain?
Background saya yang santri tetapi kuliah di teknik arsitektur mewarnai tulisan saya yang kadang paradoksal.Between freedom dan puritan, between modern dan tradisional, between setia pada tradisi dan suka melanglang ke mana-mana.
Apakah kamu mengalami kesulitan yang berarti saat mulai membuat karya?
Ide sangat banyak, tetapi seringkali kesulitan dan kedodoran dalam eksekusi. Ini yang masih saya terus pelajari dan latih. Bagaimana supaya tidak ada hole plot, bagaimana supaya lebih mengalir, bagaimana membuat tulisan yang bisa ‘menyihir’ pembaca tetapi sekaligus ‘diam-diam’ menginspirasi dan memberi pencerahan, itu yang selalu menjadi PR saya. Kepenasaran ini membuat saya semakin ‘larut’ dalam dunia kepenulisan. Seperti sebuah tantangan yang minta ditaklukkan.
Dari semua karya yang sudah diterbitkan oleh penerbit, buku apa yang paling berkesan saat merampungkannya?
Novel debut saya, Mayasmara, yang saya tulis bersama sahabat maya, butuh delapan bulan proses penulisannya tanpa bekal ilmu menulis sebelumnya. Saya hampir menyerah karena tidak tahu bagaimana menyelesaikannya. Tapi brainstorming yang intens akhirnya membawa kami sampai akhir. The Invisible Handmemberikan ‘wangsit’ sub-judul bagi novel ini. Saya mengalami banyak transcendence dalam prosesnya. Dan terkesan dengan ‘pesan’ Pak Ahmad Tohari pada saya usai membaca novel ini, agar saya terus menulis novel sejenis itu yang beliau sebut sebagai novel eksistensialis. Meski dalam perjalanannya kemudian saya menulis novel jenis lain, tapi masih terus terbayang pesan itu dan keinginan mewujudkan pesan beliau.
Tips menulis versi Dian Nafi?
Stimulasi diri sendiri dengan ikut banyak lomba, karena dari sana ada tema tertentu yang mendorong kita mencari dan menemukan cerita yang sesuai. Sembari menulis, banyak membaca buku berkaitan, sekaligus membaca tips-teknik menulis dan mengikuti workshop kepenulisan, sambil brainstorming bareng mentor dan sharing. Karena dengan sharing ilmu yang sudah kita ketahui, biasanya kita dianugerahi ilmu baru. Banyak jalan-jalan juga membantu kita menghadapi ‘writer-block’.
Apa pengalaman penyenangkan selama menjadi penulis buku?
Jadi sering jalan-jalan untuk riset ataupun event kepenulisan. Ketemu banyak orang baru baik via online atau ketemuan darat saat event launching/bedah buku/sharing maupun event lain. Menerima testimoni darpi pembaca via mention, inbox, email dan sms juga mengguratkan kesan tersendiri. Utamanya senang karena bisa bisa berbagi manfaat.
Target besar yang ingin kamu lakukan dalam dunia menulis?
Saya punya cita-cita suatu saat cerita-cerita yang saya tulis difilmkan. Pingin juga bisa keliling dunia dari menulis, dapat beasiswa kuliah creative writing dan ikut writing retreat/residence di luar negeri kayak mas Ahmad Fuadi/Asma Nadia dll. Terus pingin mendirikan Hasfa Writing College juga. Haha, banyak banget ya keinginannya?
[Redaksi AlineaTV]

sumber :  http://www.alineatv.com/2014/10/dian-nafi-menulis-cara-menyuarakan-banyak-hal/

Post Top Ad