improving writerpreneurship

Post Top Ad

Tampilkan postingan dengan label movie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label movie. Tampilkan semua postingan
Oktober 23, 2018

A Star Is Born: Love is Pain

by , in
A Star Is Born: Love is Pain




Oh fucking good!
Senang banget karena akhirnya setelah puluhan tahun mendamba dan setidaknya lima tahun yang lalu aku pernah menuliskan keinginanku ini dalam kompetisi SCUFI Surat Cinta Untuk Film Indonesia yang waktu itu kumenangkan, akhirnya bioskop hadir di kota kecilku. Yeayyyyyyy... alhamdulillah. 

 


Tempatnya di bekas gedung bioskop lama yang dulu pernah menjadi tempat kami menonton Film Kartini jamannya Yeni Rahman dan film Pahlawan sewaktu kami duduk di bangku SMA.

So, begitu bioskop ini hadir lagi di sini, aku buru-buru datang untuk mencobanya. Film Venom menjadi pilihanku karena pilihan lainnya horor semua. Tapi aku belum sempat menuliskan reviewnya. Kali ini aku mau menuliskan kesan atas film yang barusan kutonton saja, A Star Is Born.



Aku datang agak terlambat sehingga kehilangan lima menit pertama. Oh Damn! Kayaknya aku harus menontonnya sekali lagi dan memastikan bahwa aku tidak ketinggalan.




Karena datang untuk belajar story telling, di samping juga untuk mendapatkan hiburan serta pelajaran kehidupan, aku mencermati baik-baik bagian dramatiknya terutama.

Yang aku suka dari film besutan Bradley Cooper dan dibintangi Lady Gaga ini adalah semuanya terasa compelling, padat. Sepertinya setiap bagian diperhatikan dan diperhitungkan dengan seksama. Tidak ada yang sia-sia. Semua berfungsi. Semua ada maksud dan tujuannya.

Termasuk kehadiran si Charlie anjing yang Ally (Lady Gaga) bawa ke rumah mereka waktu itu. Keberadaan Charlie di bagian klimaksnya saat Jack (Bradley Cooper) mau mati, menjadikan adegan itu semakin dramatis sekaligus spiritualis. Seolah mengatakan kalau binatang itu lho tahu bagaimana seseorang akan mendekati kematiannya.



Kurasa Jack mungkin bunuh diri. Tidak diceritakan dan ditampakkan bagaimana dia mati. Penonton diminta menebak-nebak sendiri. Dan yang terlintas dalam kepalaku adalah ketika Jack cerita dengan temannya di panti rehabilitasi drug dan narkoba saat-saat dia pernah mencoba bunuh diri ketika berusia 13 tahun. Potongan adegan bercerita itu rupanya semacam gimmick.



One of memorable scene from A Star Is Born is when Jack suddenly come to Ally's room coz her daddy allow him. Aslinya yg nonton sih nyadar ya oh palingan ini si Jack nih,meski shoot nya mmg bikin penasaran antara apakah itu si ayah atau si jack. Tp tetap aja ikut kaget kyk Ally


Yg paling bikin masygul stlh nonton A Star Is Born adalah hiks itu si bradley cooper 43 th bikin karya sebagus itu, direct newbi jd secerlang itu, arrange n manage big team sekompak itu. 43 th. Sementara di usia yg sama, kita belum ngapa2in. Itu bagian paling pedih sih *lecutdiri

Seandainya raz tdk ngomong kyk gitu ke jack, apakah jack mungkin tdk akan bunuh diri?

padahal jack udah berusaha untuk “sebersih” mungkin buat Ally.. and here comes Rez..

dan dalam kehidupan nyata ya mmg ada situasi2 demotivasi macam begitu ya. Betapa kuatnya kekuatan kata2 dlm membangkitkan ataupun sebaliknya, menghancurkan

jack bunuh diri pakai obat apa gantung diri ya ? nggak di lihatin

Mmg gak dilihatin krn memberi kebebasan pd penonton utk berimajinasi sendiri. Sekilas aku lihat ada pisau di tepi meja pas dia taruh topi koboinya.

bagian2 kosong antar percakapan, bagian2 kosong dalam adegan, justru mjd kekuatan dramatiknya. Hrs belajar sih bgm cara bikin 'something between lines' and unspoken moments kyk gitu.

Kosong adalah isi





 Bagian yang paling aku ambil pelajarannya tentang story telling adalah ketika ada waktu-waktu hening di antara percakapan yang justru menimbulkan kesan dramatik.

Waktu Jack pertama kali menceritakan tentang masa lalunya pada Ally di depan Indomaret.

Lalu 'hening antara' dalam percakapan antara  Ally dan Jack ketika berbincang di panti rehab.

Juga something between lines saat adegan Jack hendak menyampaikan kejujuran pada kakaknya kalau bukan ayahlah idolanya, tapi justru sang kakak (yang selama ini selalu berselisih dengannya)


Hubungan antara Ally dan sahabat serta teman-temannya di klub
Hubungan antara Ally dan ayahnya
Hubungan Jack dengan kakaknya.

Film adalah tentang hubungan antar manusia, dengan kepedihan-kepedihan antar mereka, yang sesungguhnya lahir sebab cinta.


Agustus 12, 2016

Tips Menulis Salman Aristo

by , in
Tips Menulis Salman Aristo







Mas Salman Aristo ini suami dari mbak Gina S Noer. Mereka pasangan yang serasi dan harmonis banget ya. Kayaknya mau ngikutin Widyawati Sophan Sophiaan deh.  :)


Menurut mas Salman Aristo, film adalah medium. Sebagaimana medium-medium lainnya film punya cara untuk bisa dibaca, punya aturan sendiri. Film merupakan medium dari pesan, yang dapat berupa pertanyaan, provokasi dan pesan moral.
Pada dasarnya, penulisan skenario memiliki abjad dan grammar tersendiri. Di dalamnya harus terdapat pemikiran dasar, ada form & formula. Form adalah prinsip dasar/tidak bisa dibantah. Misalnya: macet = volume kendaraan > jalan -> di setiap masa dan dimanapun tetap begitu adanya (secara prinsip). Nasi goreng = nasi yang digoreng.
Sedangkan formula adalah teknik dan skill. Teknik itu adalah jembatan dari orang lain untuk dapat masuk ke diri kita.
Skenario adalah cabang dari penulisan. Bedanya dengan cabang-cabang penulisan yang lain seperti novel/cerpen/puisi, skenario adalah story told by pictures. Ada aura visual. Inilah yang membuat penulisan skenario berbeda. Novel: 500 halaman tentang cinta beda agama, film: 5 menit, bahkan 5 detik.
Penulis skenario berurusan dengan cium, peluk, tatapan (berfikir visual), secara kelahirannya pun audio muncul belakangan (ingat film-film Charlie Chaplin jaman dulu). Ide yang dicari adalah kisah-kisah/audio visual yang bercerita dengan momen yang punya elemen dramatik.
Story:
Macet: peristiwa, belum tentu jadi cerita.
Macet di jalan, keburu semua orang pulang -> cerita
Cerita adalah peristiwa yang memiliki elemen dramatik
Elemen dramatik:
-          Karakter
-          Objective
-          Konflik
Momen bisa jadi inspirasi membuat kita jadi membuat cerita.
Contoh: Pemenang World Press Photo: Burung nazar dan bayi merangkak
Karakter: Burung Nazar, objective: ingin makan, konflik: bayinya masih hidup
Karakter: Bayi, objective: ingin hidup, konflik: harus mencari cara supaya tidak dimakan burung nazar.
Dengan 3 elemen dramatik ini, kita akan mencari ide/gagasan dasar.
Bagaimana caranya?
Bertanya: “What if” “What’s next” “Why” dari berita-berita atau peristiwa-peristiwa, misalnya: presiden memberikan grasi kepada besan
Setelah itu memilihnya menggunakan bantuan dari formula.
Inspirasi itu harus dibentuk (di-shape), karena inspirasi itu biasanya dari lagu terakhir yang kita dengar, film terakhir yang kita tonton karena itu sering kali dangkal. Inspirasi itu harus diatur dengan teknik, jadi jangan berhenti di letusan pertama.
Ide itu datangnya dari dalam, pancingannya datang dari luar (bersifat reaktif)
Must read: Lateral Thinking – Edward de Bono -> proses kerja kreatif, pola liar, perca-perca. Untuk menurunkannya menggunakan lateral thinking (proses pikiran untuk menyusunnya – usaha untuk mencari sesuatu yang REAL but UNUSUAL)
In short Formula is: “Somebody wants something badly but having a hard time while getting it” – Frank Daniels
Premis : gagasan dasar
Dengan adanya premis, maka kita punya pijakan dasar. Ini adalah jembatan, bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk kreatornya untuk memahami idenya sendiri.
“Seorang anak ingin sekolah tetapi sekolah terdekat  3,000 km dari desanya”
“ Seorang cewek sangat ingin minta pertanggungjawaban cowoknya tetapi sekarang cowoknya sedang proses operasi ganti kelamin.”
Jadi premis itu adalah tool yang sangat luar biasa.
Premis masih bisa dikoreksi, misalnya “Seorang cewek berusia 45 tahun ingin minta pertanggungjawabany cowoknya yang masih brondong ….”
Timbul pertanyaan: Ngapain tante-tante menjalin hubungan dengan brondong? Belum kawin di usia 45?
Dengan adanya bantuan premis, kita benar-benar bisa membangun cerita kita.
Kegunaan premis adalah sebagai cara cepat dan terukur untuk meng-intrigue orang.
Dengan premis, kita punya kesempatab mengatur alur cerita karena gagasan dasar sudah ada. Jadi sebelum benar-benar mengetik, kita sudah “menulis”. Proses menulisnya adalah pada saat memikirkan.
Quote: “We never finish a film, we just release it” – Pixar

Empat ciri premis yang bisa berkomunikasi dengan orang banyak:
-          Plausibility : kemungkinan terjadi atau tidaknya. Contoh: Superman: apakah manusia bisa terbang? Ternyata Superman bukan manusia, tetapi alien.
-          Inherent : konfliknya cukup kuat atau tidak
-          Gut and emotional appeal: contoh: cewek yang minta tanggung jawab.
-          Authentic: Sesuatu yang khas dari penciptanya. Authentic lebih affordable daripada original, karena menggali ke diri kita sendiri.
Kadang-kadang atas nama original, teknik/formula diemohi, sering kali terjadi di kalangan muda.
If you want to think out of the box, do you know where the box is?
If you want to break the rule, do you know the rule?
Jadi basic/dasar tetap harus dipelajari
Setelah kita mempunyai premis kita bisa melanjutkan.
Problem yang paling besar adalah: mendapatkan ending. “Know your ending first
Dengan punya premis kita akan punya gagasan ending. Contoh cewek yang minta pertanggungjawaban: bisa/tidak
Misalnya berhasil. Maka si penulis harus bertanya, apakah itu yang akan dibuat? Kenapa memilih ending ini? Ada tanggung jawab karakter (character’s stake)
Tetapi yang lebih penting adalah : writer stake
Film wajib tonton : “The Graduate”

Formula tidak akan membatasi kreatifitas.
Apa ending AADC? Raka dan Cinta jadian
Penulisan skenario itu step-by-step
“Writing is re-writing”
Film yang baik adalah bukan ditulis, tetapi ditulis ulang.
Contoh:
-          Laskar Pelangi : 18 draft
-          Sang Pemimpi : 13 draft
-          Garuda Di Dadaku : 10 draft
-          Hari Untuk Amanda : 9 draft
Secara psikologi proses kreatif itu back and forth. Kalau harus diganti ya diganti. Jadi awalnya selalu premis.
Film wajib tonton: Tokyo Story, Finding Nemo, Toy Story, Up.
Dengan punya premis, kita punya kesempatan untuk memikirkan tema. Tema itu harus satu kata, supaya solid. Alasannya adalah kita tidak bisa mengucapkan 2 kata dalam waktu yang bersamaan. Gunanya tema adalah sebagai alat komunikasi yang asik ketika ditanya. Misalnya: Cerita Akhir Sekolah -> eksistensi, Goodfather -> family. Tema bisa ditentukan lebih dulu sebelum premis.
Apakah premis = moral cerita? Belum, jangankan moral cerita, genrenya saja belum.
Begitu kita bikin alur baru bisa kita turunkan.
Kalau ganti premis, apakah buat dari awal? Biasanya kalau sudah solid tidak perlu buat dari awal.
Untuk membuat premis dasar tema -> dibuat clear.
-          Memilih kata
-          Dijernihkan
-          Mencari problem utama
-          Action line
-          Relationship line
Tema itu yang mengikat supaya tidak lari. Finding Nemo -> trust (Merlin vs Nemo)
Relationship:
-          Merlin vs Dory
-          Kura-kura
-          Hiu
-          Jill (di akuarium)
Multi premis: misalnya Babel, No Country for Old Man, Burn After Reading.
Yang diformulasikan adalah tulang/strukturnya.


Awalnya adalah puisi berjudul ”Candi” karangan Sanusi Pane yang dibaca Salman Aristo di depan kelas III sekolah dasar. Sejak itu, ia jatuh cinta pada puisi dan sastra. Sebelumnya, ia terpikat pada sinema. Gabungan dua bidang seni itu membentuk Salman hari ini. Penulis skenario film.
Salman adalah nama di balik skenario film Ayat-ayat Cinta (adaptasi dari novel karangan Habiburrahman El Shirazy), Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi (Andrea Hirata), serta Garuda di Dadaku. Ketiga film yang disebutkan pertama itu masih berada di daftar sepuluh besar film terlaris Indonesia sejak 2007.
Skenario film pertama yang terwujud di layar lebar, Brownies, masuk dalam nominasi skenario terbaik versi Festival Film Indonesia 2005. Selepas itu, pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976, ini merampungkan lima naskah film dalam kurun waktu 18 bulan. Melihat produktivitas itu dan geliat kebangkitan film Indonesia, Salman memutuskan berhenti menjadi wartawan dan fokus pada penulisan naskah film.
Ia tak menyesali keputusan tersebut. Dunia film dan literasi telah memikatnya sejak kecil. Ia juga memulai memproduksi film. Produksi pertamanya, Garuda di Dadaku, mendatangkan 1,5 juta penonton di bioskop-bioskop.
Kecintaan terhadap film mulai tumbuh ketika menyaksikan film Captain America di bioskop sekitar Manggarai, Jakarta Selatan, waktu ia berusia lima tahun. Hingga akhir dekade 1980, Salman menyimak dan mengagumi karya besar film Indonesia, seperti film Taksi besutan Arifin C Noer. Selepas itu, ia lebih banyak menonton film Hollywood karena industri film dalam negeri saat itu roboh.
Pada masa suram perfilman Indonesia tersebut, ia terkesima pada film Rain Man (Barry Levinson, 1988) dan film-film dari Eropa. Dari film itulah, standar tontonannya ”naik”. Uang sakunya habis untuk menonton bioskop. Ia menjadi seorang ”kutu film”, tetapi belum yakin bisa memproduksinya. Baru ketika kuliah di jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Bandung, wawasannya terbuka. Membuat film tak butuh biaya besar.
Belakangan, ia menyebarluaskan kebisaannya menulis skenario lewat sejumlah pelatihan rutin. Di sela-sela kegiatan perfilmannya, Salman ”menyepi” dengan berkumpul bersama teman-teman band Silentium yang ia bentuk sejak 1999. Musik ialah denyut kreativitasnya yang lain.




Berikut adalah tanya jawab pembaca Kompas dengan Salman Aristo tentang ide, gagasan, dan harapan pemain bas Fender jazz bass ini.

Kagetkah Bang Salman dengan kesuksesan film Ayat-ayat Cinta?
(Aan P, Garut)
Sangat kaget karena di luar dugaan. Pada masa itu, diyakini bahwa sasaran penonton film yang diarah Ayat-ayat Cinta, masih belum ”keluar” ke bioskop. Jadi hasilnya buat saya cukup mengejutkan.

Bang Salman Aristo, bagaimana awal mula Bang Salman terjun di dunia perfilman? Jika ada kesempatan untuk menulis skenario film tentang si Pitung, Jaka Sembung, atau Wiro Sableng, mana yang paling Bang Salman minati, kenapa?
(Irfan Syariputra, Bekasi Utara)
Cerita ini cukup panjang. Tapi, awalnya dari seorang bocah lima tahun yang jatuh cinta pada sinema saat pertama kali ke bioskop bersama orangtuanya. Kalau memang sangat ingin tahu lebih detail lagi, bisa cek ke situs personal saya di salmanaristo.com bagian ”Tentang”.
Tiga-tiganya (Si Pitung, Jaka Sembung, Wiro Sableng) ha-ha- ha. Karena saya lahir-besar di Jakarta, nyaris sudah ”dibaptis” jadi Betawi di area saya dibesarkan di kawasan Menteng Wadas, Jakarta Selatan. Jadi, Pitung adalah pahlawan kanak-kanak saya. Jaka Sembung adalah sentuhan pertama saya dengan film laga Indonesia. Sementara Wiro Sableng selalu jadi jeda paling saya cari saat mencuri waktu dengan membaca komiknya diam-diam.

Apa yang memotivasi Anda terus berkarya di dunia perfilman Indonesia? Terkait film-film yang ditayangkan di televisi, apa pendapat Anda tentang kondisi perfilman Indonesia?
(Perlita Nathania, Yogyakarta)
Pada dasarnya, hasrat terbesar saya adalah cerita. Saya merasa saya adalah pencerita. Film adalah medium yang saya cintai dan saya anggap sangat kuat dalam menyampaikan cerita. Berbagi cerita sepertinya sudah jadi jalan hidup saya. Untung/rugi rasanya sudah tidak relevan dimasukkan dalam ”peta” itu.
Satu yang harus dipahami, bioskop dan televisi adalah dunia medium dan dua industri yang amat berbeda meski saling terkait. Industri film bioskop tempatnya, ya, di bioskop. Televisi punya film dan tata caranya sendiri. Jadi, jangan dicampur logikanya. Jadi, film bioskop industrinya harus tumbuh dengan sehat karena film bioksop, seperti TV, juga punya potensi kontribusi amat kuat ke masyarakat. Soal akses bioskop yang tidak sampai ke akar rumput adalah hal yang sedang diperjuangkan oleh para pekerja film bioskop Indonesia.
Ini memang masalah besar sejak tahun 1990-an sampai sekarang. Melihat negara lain sebagai contoh, misalnya, Korea Selatan atau Tiongkok, bioskop ada di mana-mana sampai ke pelosok. Dulu, pada era 1970-80-an, Indonesia punya bioksop sampai tingkat Kabupaten. Silakan coba juga cari tahu sendiri soal sejarah bioskop di Indonesia.

Bagi saya, Anda adalah salah satu jagoan dalam naskah film di Indonesia. Apa hal paling mendasar agar dapat membuat naskah yang menarik dan dapat ditangkap oleh khalayak? Untuk waktu dekat ini, adakah naskah film yang tengah Anda kerjakan?
(Imas Damayanti, Jakarta Timur)
Tiap penulis punya cara dan metodenya sendiri-sendiri. Selama ini yang selalu saya coba kembangkan adalah membuat relasi antara cerita dan penonton melalui bangunan karakter yang kuat dan memikat. Negeri ini amat kaya dengan berbagai macam kultur dan istiadat, surga buat menggali karakter yang khas, unik, dan sekaligus bisa dirasakan dekat oleh penontonnya. Saat ini ada beberapa naskah yang sedang dikembangkan di Wahana Penulis, tempat saya menggodok cerita bersama rekan-rekan lainnya, mulai dari layar lebar, naskah drama radio sampaiwebseries.

Kapan biasanya Anda menulis skenario? Pernahkah Anda mengalami ”jalan buntu” atau ”tiba-tiba mati ide” saat menulis? Apa yang Anda lakukan kemudian?
(Githa Nila Maharkesri, Depok)
Dulu saya merasa saya adalah ”orang malam”. Namun, sejak benar-benar terjun menjadi profesional, saya melatih diri saya untuk bisa menulis kapan saja dan di mana saja, apalagi teknologi gawai sudah memungkinkan untuk itu. Saat ”mati angin”, saya biasanya akan datang ke hobi saya yang lain, musik. Apakah itu melakukan fingering di bass kesayangan saya, pegang gitar, atau mendengarkan album-album favorit yang sudah saya anggap signifikan dalam hidup saya.

Bagaimana Anda mendapatkan gambaran alur cerita aspiratif yang begitu menarik, lengkap dengan unsur budaya kisah tersebut sehingga pola pikir penonton dapat teraplikasi positif?
(Aditya Jaka Laksana, Cipete Selatan)
Saya selalu percaya dengan yang dibilang almarhum seniman besar Soedjatmoko. Ide itu pasti punya kaki. Artinya, saya selalu berusaha ide-ide saya punya relevansi dengan masyarakat, dengan publik penonton saya. Untuk itulah, saya selalu berusaha dekat dan terimbas terus hingga peka dengan dinamika masyarakat. Dengan cara apa pun.

Mas Salman, mata pelajaran/kuliah apa yang dulu disukai sehingga mampu mengantar jadi penulis skenario andal? Mata pelajaran/kuliah apa yang seharusnya dipelajari agar mampu menjadi seperti Anda?
(Firman Kurniawan Sujono, Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia)
Saya belajar skenario secara otodidak. Disiplin ilmu saya Jurnalistik. Sarjana saya dari bidang itu di Universitas Padjadjaran. Jadi kalaupun ada kolerasinya, adalah menulis. Dan saya mencintai film. Pada titik itulah korelasinya dengan dunia akademis saya. Sisanya, saya belajar sendiri dari buku dan lainnya. Kalau memang benar-benar berminat belajar secara formal, bisa sekolah film.

Bisakah kasih tips supaya termotivasi menulis? Apa yang menjadi pemancing Anda dalam menulis, apakah mengalir saja, atau apakah bikin peta permasalahan?
(Latif Bimo Yustisiano, Kota Cimahi Jawa Barat)
Halo Bimo. Ada banyak teknik menulis. Cari di search engine pasti banyak. Coba saja ketik key word, how to write a novel/screenplay/poem/shortstory. Buku juga banyak sekali. Justru modal awalnya adalah hasrat. Seberapa besar mau meluangkan waktu mencari dan melahap segala hal tentang penulisan itu. Budi Darma pernah bilang terobsesilah dengan menulis, bukan menjadi penulis.

Lebih mudah mana membuat skenario adaptasi (dari novel) atau asli? Bagaimana membuat skenario yang bisa membuat filmnya laris?
(Ahmad Bahtiar, Depok)
Teknisnya lebih kurang sama. Kesulitannya juga khas. Yang satu soal kepekaan terhadap sudut pandang dari karya yang sudah ada. Satunya lagi soal keotentikan cerita kita dan bagaimana orang akan peduli dengan cerita kita.
Ini tidak pernah bisa dijawab dengan satu jawaban pasti sebab ”laris” bukan cuma datang dari skenario saja. Faktornya banyak sekali.

Apakah sinopsis sudah memiliki hak cipta? Rumah produksi atau stasiun TV mana saja yang terbuka untuk menerima sinopsis dari penulis pemula dan apa bisa dikirim lewat surat elektronik? Lalu, bagaimana cara mencegah agar ide kita tidak dicuri sewaktu mengirimkan karya tersebut? Bisa ceritakan sedikit tahapan-tahapan belajar yang dilakukan Mas Aris sehingga bisa menjadi penulis seperti sekarang ini? Misalnya, berapa jam dalam sehari Mas Aris meluangkan waktu untuk menonton film, membaca script, atau hal-hal lain yang dirasa diperlukan untuk menjadi penulis skenario yang berkualitas?
(Apendi, Jakarta Barat)
Sinopsis sudah bisa didaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI (Hak Kekayaan Intelektual).Production house dan TV sangat terbuka. Soal curi-mencuri itu sudah ada mekanisme hukumnya. Kalau bisa dibuktikan secara hukum, akan dapat perlindungan dari sana. Sebenarnya, hak cipta itu sudah lahir dengan sendirinya. Jadi siapa pun yang mencuri bisa dituntut.
Saya selalu berusaha meluangkan waktu paling tidak sehari menonton satu tayangan audio visual. Apa pun itu. Dulu waktu masih ada waktu, bisa tiga-empat film sehari. Sekarang minimalwebseries. Sisanya saya selalu terus memburu buku apa pun soal skenario, film, dan penceritaan.

Apa kekhawatiran terbesar ketika Anda menulis sebuah skenario film, apalagi film tersebut diangkat dari novel laris? Bagaimana meyakinkan diri bahwa kekhawatiran itu dapat diatasi?
(Ali Machmudin, Jakarta Pusat)
Kekhawatiran saya selalu sama, adaptasi ataupun tidak, apakah saya sudah mencurahkan semua kemampuan terbaik saya? Cara meyakinkan diri adalah dengan selalu terbuka dengan kemungkinan kalau saya pasti masih berbuat salah dan harus terus belajar. Jadi, belajar tanpa henti adalah jurus utama saya mengalahkan kekhawatiran itu.



Produktivitas ini diakui Aris bukan semata-mata karena kemampuannya dalam menulis. Ia mengungkapkan bahwa sejak awal kariernya, ia memang sudah merancang pola kerja khusus yang memungkinkannya bekerja lebih disiplin. Kedisiplinan inilah yang membuatnya menjadi seproduktif sekarang.

"Gue percaya banget metode, pattern, tools, atau formula untuk bekerja. Yang tidak boleh diformulasikan itu kontennya, tapi struktur cara bekerja itu harus. Kalau nggak, lo nggak akan pernah bisa disiplin dan nggak akan bisa ada di industri. Pegangan gue selalu deadline. Gue selalu punya rancangan menulis gue. Misalnya, storyline harus dibikin kapan, sinopsis kapan," ungkap Aris kepada Muvila dalam wawancara di kantor Wahana Penulis, Jakarta pada 29 Juli lalu.

"Kuncinya cuma satu, deadline. Justru itu buat gue menyenangkan sekali, karena gue bisa bekerja simultan. Nggak paralel, tapi simultan, bukan multitasking. Gue selalu atur bahwa gue akan mulai kerjakan yang B jika kerjaan yang A sudah sampai taraf mana. Selama ini, gue baru akan masuk menuliskan sesuatu yang baru kalau yang sebelumnya sudah sampai taraf sequencing (pembuatan sekuens). Semepet-mepetnya, gue nggak pernah kerjain berbarengan. That's the secret," papar penulis skenario Catatan Akhir Sekolah, Garuda di Dadaku, dan Hari untuk Amanda ini.

Setelah dirilisnya film Mencari Hilal yang melibatkan Aris sebagai penulis cerita dan skenario (bersama Bagus Bramanti dan Ismail Basbeth), penulis yang juga aktif sebagai produser dan sesekali jadi sutradara ini (Jakarta Maghrib, Cinta dalam Kardus) masih akan disibukkan dengan beberapa proyek film yang tengah berjalan. Yang terdekat adalah film aksi komedi Skakmat garapan Ody C. Harahap, yang segera memulai syuting.

Selain itu, Aris juga mengerjakan skenario film roman Tak Bisa ke Lain Hati untuk MNC Pictures, film biografi Hatta garapan Erwin Arnada, serta Athirah garapan Riri Riza yang baru menyelesaikan syuting. Aris juga telah dipinang untuk mengadaptasi novel laris Malaysia, Bagaikan Puteri, dan masih di tengah proses adaptasi novel petualangan Giganto karangan Koen Setyawan.
Bagi Aris, tidak ada karyanya yang dibuat secara instan. Semua skenario atau cerita yang ditulisnya merupakan hasil dari berbagai proses yang panjang, sampai akhirnya bisa diwujudkan dalam sebuah produksi audio visual. Jika ada beberapa film yang memakai hasil tulisannya dirilis berdekatan, itu pun biasanya sudah mulai dikembangkan jauh sebelumnya.
"Skakmat itu spec script (skenario yang dibuat tanpa komitmen dengan pihak lain untuk produksi tertentu, red), udah dari 2009. Tak Bisa ke Lain Hati yang bener-bener gue nulis (dari awal), itu pun udah draft dua, jadi nggak terlalu menyita waktu banget. Bagaikan Puteri kan baru mau mulai jalan. Sisanya, film-film Islam Cinta kayak Ayat-Ayat Adinda atau Mencari Hilal itu udah jadi dari tahun 2014, dan bukan cuma gue yang tulis skenario, walau cerita memang dari gue. Sama Giganto juga masih lanjut. Hatta lagi mau produksi, skenarionya udah lock. Tapi, mungkin karena filmnya gede jadi agak rumit," ungkap Aris.

Meski beberapa skenario yang ditulis Aris merupakan adaptasi (sebut saja Laskar Pelangi, Sang Penari, Negeri 5 Menara), sebagian besar karyanya tetaplah cerita orisinal yang dikembangkan Aris dan timnya. Begitu banyaknya proyek yang ditangani mungkin menimbulkan pertanyaan tentang cara ia dapat menemukan ide untuk memulai penulisan semua skenario itu. Namun, Aris menekankan bahwa mendapatkan ide bukanlah hal yang tersulit dalam proses penulisan skenario.

"Yang susah itu memilih. Inspirasi ada di mana aja, dari internet, dari buku, dari film, segala macam. Bermain-main dengan 'what-if' aja udah ada ratusan ide untuk menstimulus kepala untuk punya cerita. Cuma, dari itu semua, mana yang mau kita pilih dan kita jalani. Nah, itu yang perlu skill, itu perlu diasah. Kalau ide itu gampang, beneran gampang banget," ujarnya.




dari berbagai sumber
Agustus 12, 2016

Tips Menulis Gina S Noer

by , in
Tips Menulis Gina S Noer


Siapa yang nggak kenal nama Salman Aristo?
Nah, mbak Gina S Noer ini adalah istrinya yang juga sukses di dunia skenario film. Saya pertama kenal langsung dengannya saat saya memenangkan lomba menulis cerpen yang diadakan Plot Point dan kemudian dibukukan dalam Cerita Cinta Kota.

Kemudian  tulisan saya terpilih lagi saat Plot Point bikin event lomba menulis cerita sebagai kado hari Film Nasional. Dan mbak Gina ini serta dua orang film lainnya lagi yang menjadi jurinya.

Yuk simak tips darinya. Bagi mbak Gina S Noer aka Retna Ginatri S. Noer, kesuksesan film garapannya merupakan sebuah rezeki dan keberuntungan. Dia mengakui bahwa tidak semua film yang ditulisnya terjamin akan menjadi box office.

Untuk menciptakan film yang sukses di pasaran, ada kerjasama tim yang solid di baliknya. Jika ada sebuah skenario yang bagus, belum tentu akan terlihat bagus di layar jika sutradaranya kurang mumpuni. Namun kadangkala ada pula skenario yang biasa saja, digarap oleh sutradara yang bagus maka hasilnya pun bisa jadi memuaskan.
Gina sendiri memandang, pengembangan skenario adalah suatu investasi awal yang paling murah bagi para produser jika ingin menghasilkan film yang berkualitas. Dia melihat masih ada saja pihak yang menganggap enteng masalah skenario.

Gina tidak mau terburu-buru dalam bekerja. Dia membutuhkan waktu yang cukup panjang yaitu minimal enam bulan dalam menciptakan skenario yang matang. Waktu sepanjang itu dihabiskan antara lain untuk merumuskan ide cerita, melakukan riset, menyusun sinopsis, memperkuat karakter, hingga menulis skenarionya. Setelah jadi, skenario pun biasanya masih harus melalui proses perubahan berkali-kali.
Selama proses menggarap skenario, dia melibatkan sutradara, produser, dan sebuah sindikasi penulis skenario. Mereka akan membantu mengembangkan ide cerita tetapi ide dasar dan proses menulis skenario itu sendiri tetap berada di tangan Gina.
Pekerjaan menulis skenario memang berbeda dengan pekerjaan menulis buku, cerpen, atau puisi yang dapat dilakukan murni seorang diri. Pada prakteknya, seorang penulis skenario tetap harus berkolaborasi dengan pihak lain untuk melakukan pengembangan cerita.
Salah satu hal penting yang kerap dilupakan dalam proses penggarapan skenario adalah riset. Gina yang memiliki latar belakang pendidikan Komunikasi Massa pun merasa beruntung. Lewat ilmu jurnalisme investigasi yang dia pelajari saat kuliah, dia memiliki modal kuat untuk melakukan riset.
Skenario yang baik baginya adalah skenario yang memiliki cerita serta menampilkan karakter-karakter yang menarik, sehingga membuat penonton terus bertanya, “What’s next?”.  

Apabila penonton telah berhenti bertanya, artinya mereka kurang menikmati. Apalagi di era sekarang ini, jika bosan dengan film maka beralih ke telepon pintar di genggaman tangan adalah langkah termudah.



dian nafi dengan mbak Gina S Noer dan tim Plot Point di UWRF Ubud Bali


Gina merasa film sangat berperan penting bagi kehidupannya. Film baginya dapat membentuk hidup seseorang. Sejak kecil, dia gemar melahap berbagai bacaan dan film. Hal tersebut tak lepas dari pengaruh keluarganya.
Dia lahir dan sempat merasakan masa kecil di Balikpapan. Saat usianya 10 tahun, dia bersama keluarga pindah ke Jakarta. Selain membaca dan menonton, Gina kecil pun senang menulis.

Saat duduk di bangku SMA, sahabatnya mengenalkan kepada Angga Dwimas Sasongko yang kini menjadi sutradara. Gina dan Angga membuat bersama yaitu film pendek berjudul Maya (2003).
Film digarap dengan modal handycam pinjaman. Bahkan untuk mengedit film tersebut, mereka harus ke daerah Mangga Dua karena tidak memiliki komputer. Mereka kemudian mengikutkan filmnya ke kompetisi film pendek. Setelah film tersebut, mereka tak berhenti berkarya hingga kini.
Ada sebuah momen penting lainnya saat Gina masih duduk di bangku SMA. Dia mengikuti sebuah workshop perfilman dari kru Ada Apa Dengan Cinta? termasukMira Lesmana dan Rudy Soedjarwo. Kala itu hujan turun, tapi dia tetap bersemangat untuk ikut. Siapa sangka, saat ini dia telah menjadi rekan seprofesi Mira Lesmana dan Rudy Soedjarwo.

Seru kan pengalaman mbak Gina dalam dunia tulis menulis, skenario dan perfilm-an. Dengannya aku akhirnya bertemu langsung guna brainstorming ideku tentang sebuah novel. Berangkat dari ketertarikan mereka akan cerpenku yang menang lomba saat itu, mereka memang memintaku menulis cerita yang lebih panjang aka novel untuk bisa diterbitkan. 

Beberapa ide kusampaikan dalam pitching dan brainstorming di Jakarta kala itu, dan mbak Gina meng-ACC salah satunya yang kemudian kukembangkan menjadi novel Mengejar Mukti. Alhamdulillah novel tersebut akhirnya lahir dan sudah bisa teman-teman dapatkan di sini >> https://play.google.com/store/books/details?id=2D3JDAAAQBAJ


Kami bertemu lagi saat sama-sama menghadiri Ubud Writer Reader Festival di Bali waktu itu, sekitar Oktober beberapa tahun lalu. Kemudian kami jumpa lagi saat awarding night di Crematology Coffee &  Roaster  daerah Senopati Jakarta. Karena novelku Shape Of My Heart terpilih menjadi salah satu dari delapan novel terbaik pilihan even Bulan Narasi yang diselenggarakan Nulis Buku dan Plot Point.  Lalu aku bersua lagi dengan mbak Gina karena mendapat undangan hadir dalam gala dinner yang digelar oleh Mizan September tahun berikutnya sekaligus launching Mizan Digital Initiatives.

 
Sukses terus ya mbak! Proud of you!
dian nafi dengan gina s noer pitching dan  brainstorming jakarta

Feature Film
  • Foto, Kotak dan Jendela (2006)
  • Lentera Merah (2006)
  • Jelangkung 3 (2007)
  • Musik Hati (2008)
  • Ayat-Ayat Cinta (2008) (bersama Salman Aristo)
  • Perempuan Berkalung Sorban (2009)
  • Queen Bee (2009)
  • Hari Untuk Amanda (2010) (bersama Salman Aristo)
  • Habibie & Ainun (2012) (bersama Ifan Adriansyah Ismail)
  • Pintu Harmonika (2013) (bersama Piu Syarif, Rino Sarjono, dan Bagus Bramanti, Sigi Wimala)

Short Movies
  • Maya (2003) (produser) Sutradara : Angga Dwimas Sasongko
  • Ladies Room (2003) (produser & penulis) Sutradara : Angga Dwimas Sasongko
  • Refleksi (2005) (penulis) Sutradara : Angga Dwimas Sasongko
  • Harmoni Baruga (2009) (penulis) Sutradara : Dani
  • JK (2009) (penulis) Sutradara : Hanung Bramantyo





dari berbagai sumber

Post Top Ad