Mas Salman Aristo ini suami dari mbak Gina S Noer. Mereka pasangan yang serasi dan harmonis banget ya. Kayaknya mau ngikutin Widyawati Sophan Sophiaan deh. :)
Menurut mas Salman Aristo, film adalah medium. Sebagaimana medium-medium lainnya film punya cara untuk
bisa dibaca, punya aturan sendiri. Film merupakan medium dari pesan,
yang dapat berupa pertanyaan, provokasi dan pesan moral.
Pada
dasarnya, penulisan skenario memiliki abjad dan grammar tersendiri. Di
dalamnya harus terdapat pemikiran dasar, ada form & formula. Form
adalah prinsip dasar/tidak bisa dibantah. Misalnya: macet = volume
kendaraan > jalan -> di setiap masa dan dimanapun tetap begitu
adanya (secara prinsip). Nasi goreng = nasi yang digoreng.
Sedangkan formula adalah teknik dan skill. Teknik itu adalah jembatan dari orang lain untuk dapat masuk ke diri kita.
Skenario
adalah cabang dari penulisan. Bedanya dengan cabang-cabang penulisan
yang lain seperti novel/cerpen/puisi, skenario adalah story told by pictures.
Ada aura visual. Inilah yang membuat penulisan skenario berbeda. Novel:
500 halaman tentang cinta beda agama, film: 5 menit, bahkan 5 detik.
Penulis
skenario berurusan dengan cium, peluk, tatapan (berfikir visual),
secara kelahirannya pun audio muncul belakangan (ingat film-film Charlie
Chaplin jaman dulu). Ide yang dicari adalah kisah-kisah/audio visual
yang bercerita dengan momen yang punya elemen dramatik.
Story:
Macet: peristiwa, belum tentu jadi cerita.
Macet di jalan, keburu semua orang pulang -> cerita
Cerita adalah peristiwa yang memiliki elemen dramatik
Elemen dramatik:
- Karakter
- Objective
- Konflik
Momen bisa jadi inspirasi membuat kita jadi membuat cerita.
Contoh: Pemenang World Press Photo: Burung nazar dan bayi merangkak
Karakter: Burung Nazar, objective: ingin makan, konflik: bayinya masih hidup
Karakter: Bayi, objective: ingin hidup, konflik: harus mencari cara supaya tidak dimakan burung nazar.
Dengan 3 elemen dramatik ini, kita akan mencari ide/gagasan dasar.
Bagaimana caranya?
Bertanya:
“What if” “What’s next” “Why” dari berita-berita atau
peristiwa-peristiwa, misalnya: presiden memberikan grasi kepada besan
Setelah itu memilihnya menggunakan bantuan dari formula.
Inspirasi itu harus dibentuk (di-shape),
karena inspirasi itu biasanya dari lagu terakhir yang kita dengar, film
terakhir yang kita tonton karena itu sering kali dangkal. Inspirasi itu
harus diatur dengan teknik, jadi jangan berhenti di letusan pertama.
Ide itu datangnya dari dalam, pancingannya datang dari luar (bersifat reaktif)
Must read: Lateral Thinking – Edward de Bono
-> proses kerja kreatif, pola liar, perca-perca. Untuk menurunkannya
menggunakan lateral thinking (proses pikiran untuk menyusunnya – usaha
untuk mencari sesuatu yang REAL but UNUSUAL)
In short Formula is: “Somebody wants something badly but having a hard time while getting it” – Frank Daniels
Premis : gagasan dasar
Dengan
adanya premis, maka kita punya pijakan dasar. Ini adalah jembatan,
bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk kreatornya untuk
memahami idenya sendiri.
“Seorang anak ingin sekolah tetapi sekolah terdekat 3,000 km dari desanya”
“ Seorang cewek sangat ingin minta pertanggungjawaban cowoknya tetapi sekarang cowoknya sedang proses operasi ganti kelamin.”
Jadi premis itu adalah tool yang sangat luar biasa.
Premis
masih bisa dikoreksi, misalnya “Seorang cewek berusia 45 tahun ingin
minta pertanggungjawabany cowoknya yang masih brondong ….”
Timbul pertanyaan: Ngapain tante-tante menjalin hubungan dengan brondong? Belum kawin di usia 45?
Dengan adanya bantuan premis, kita benar-benar bisa membangun cerita kita.
Kegunaan premis adalah sebagai cara cepat dan terukur untuk meng-intrigue orang.
Dengan
premis, kita punya kesempatab mengatur alur cerita karena gagasan dasar
sudah ada. Jadi sebelum benar-benar mengetik, kita sudah “menulis”.
Proses menulisnya adalah pada saat memikirkan.
Quote: “We never finish a film, we just release it” – Pixar
Empat ciri premis yang bisa berkomunikasi dengan orang banyak:
- Plausibility :
kemungkinan terjadi atau tidaknya. Contoh: Superman: apakah manusia
bisa terbang? Ternyata Superman bukan manusia, tetapi alien.
- Inherent : konfliknya cukup kuat atau tidak
- Gut and emotional appeal: contoh: cewek yang minta tanggung jawab.
- Authentic: Sesuatu yang khas dari penciptanya. Authentic lebih affordable daripada original, karena menggali ke diri kita sendiri.
Kadang-kadang atas nama original, teknik/formula diemohi, sering kali terjadi di kalangan muda.
If you want to think out of the box, do you know where the box is?
If you want to break the rule, do you know the rule?
Jadi basic/dasar tetap harus dipelajari
Setelah kita mempunyai premis kita bisa melanjutkan.
Problem yang paling besar adalah: mendapatkan ending. “Know your ending first”
Dengan punya premis kita akan punya gagasan ending. Contoh cewek yang minta pertanggungjawaban: bisa/tidak
Misalnya
berhasil. Maka si penulis harus bertanya, apakah itu yang akan dibuat?
Kenapa memilih ending ini? Ada tanggung jawab karakter (character’s stake)
Tetapi yang lebih penting adalah : writer stake
Film wajib tonton : “The Graduate”
Formula tidak akan membatasi kreatifitas.
Apa ending AADC? Raka dan Cinta jadian
Penulisan skenario itu step-by-step
“Writing is re-writing”
Film yang baik adalah bukan ditulis, tetapi ditulis ulang.
Contoh:
- Laskar Pelangi : 18 draft
- Sang Pemimpi : 13 draft
- Garuda Di Dadaku : 10 draft
- Hari Untuk Amanda : 9 draft
Secara psikologi proses kreatif itu back and forth. Kalau harus diganti ya diganti. Jadi awalnya selalu premis.
Film wajib tonton: Tokyo Story, Finding Nemo, Toy Story, Up.
Dengan
punya premis, kita punya kesempatan untuk memikirkan tema. Tema itu
harus satu kata, supaya solid. Alasannya adalah kita tidak bisa
mengucapkan 2 kata dalam waktu yang bersamaan. Gunanya tema adalah
sebagai alat komunikasi yang asik ketika ditanya. Misalnya: Cerita Akhir
Sekolah -> eksistensi, Goodfather -> family. Tema bisa ditentukan
lebih dulu sebelum premis.
Apakah premis = moral cerita? Belum, jangankan moral cerita, genrenya saja belum.
Begitu kita bikin alur baru bisa kita turunkan.
Kalau ganti premis, apakah buat dari awal? Biasanya kalau sudah solid tidak perlu buat dari awal.
Untuk membuat premis dasar tema -> dibuat clear.
- Memilih kata
- Dijernihkan
- Mencari problem utama
- Action line
- Relationship line
Tema itu yang mengikat supaya tidak lari. Finding Nemo -> trust (Merlin vs Nemo)
Relationship:
- Merlin vs Dory
- Kura-kura
- Hiu
- Jill (di akuarium)
Multi premis: misalnya Babel, No Country for Old Man, Burn After Reading.
Yang diformulasikan adalah tulang/strukturnya.
Awalnya adalah puisi berjudul ”Candi” karangan
Sanusi Pane yang dibaca Salman Aristo di depan kelas III sekolah dasar.
Sejak itu, ia jatuh cinta pada puisi dan sastra. Sebelumnya, ia terpikat
pada sinema. Gabungan dua bidang seni itu membentuk Salman hari ini.
Penulis skenario film.
Salman adalah nama di balik skenario film Ayat-ayat Cinta (adaptasi dari novel karangan Habiburrahman El Shirazy), Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi (Andrea Hirata), serta Garuda di Dadaku. Ketiga film yang disebutkan pertama itu masih berada di daftar sepuluh besar film terlaris Indonesia sejak 2007.
Skenario film pertama yang terwujud di layar lebar, Brownies,
masuk dalam nominasi skenario terbaik versi Festival Film Indonesia
2005. Selepas itu, pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976, ini
merampungkan lima naskah film dalam kurun waktu 18 bulan. Melihat
produktivitas itu dan geliat kebangkitan film Indonesia, Salman
memutuskan berhenti menjadi wartawan dan fokus pada penulisan naskah
film.
Ia tak menyesali keputusan tersebut. Dunia film
dan literasi telah memikatnya sejak kecil. Ia juga memulai memproduksi
film. Produksi pertamanya, Garuda di Dadaku, mendatangkan 1,5 juta penonton di bioskop-bioskop.
Kecintaan terhadap film mulai tumbuh ketika menyaksikan film Captain America
di bioskop sekitar Manggarai, Jakarta Selatan, waktu ia berusia lima
tahun. Hingga akhir dekade 1980, Salman menyimak dan mengagumi karya
besar film Indonesia, seperti film Taksi besutan Arifin C Noer. Selepas itu, ia lebih banyak menonton film Hollywood karena industri film dalam negeri saat itu roboh.
Pada masa suram perfilman Indonesia tersebut, ia terkesima pada film Rain Man
(Barry Levinson, 1988) dan film-film dari Eropa. Dari film itulah,
standar tontonannya ”naik”. Uang sakunya habis untuk menonton bioskop.
Ia menjadi seorang ”kutu film”, tetapi belum yakin bisa memproduksinya.
Baru ketika kuliah di jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran,
Bandung, wawasannya terbuka. Membuat film tak butuh biaya besar.
Belakangan, ia menyebarluaskan kebisaannya
menulis skenario lewat sejumlah pelatihan rutin. Di sela-sela kegiatan
perfilmannya, Salman ”menyepi” dengan berkumpul bersama teman-teman band
Silentium yang ia bentuk sejak 1999. Musik ialah denyut kreativitasnya
yang lain.
Berikut adalah tanya jawab pembaca Kompas dengan Salman Aristo tentang ide, gagasan, dan harapan pemain bas Fender jazz bass ini.
Kagetkah Bang Salman dengan kesuksesan film Ayat-ayat Cinta?
(Aan P, Garut)
Sangat kaget karena di luar dugaan. Pada masa itu, diyakini bahwa sasaran penonton film yang diarah Ayat-ayat Cinta, masih belum ”keluar” ke bioskop. Jadi hasilnya buat saya cukup mengejutkan.
Bang Salman Aristo, bagaimana awal mula Bang
Salman terjun di dunia perfilman? Jika ada kesempatan untuk menulis
skenario film tentang si Pitung, Jaka Sembung, atau Wiro Sableng, mana
yang paling Bang Salman minati, kenapa?
(Irfan Syariputra, Bekasi Utara)
Cerita ini cukup panjang. Tapi, awalnya
dari seorang bocah lima tahun yang jatuh cinta pada sinema saat pertama
kali ke bioskop bersama orangtuanya. Kalau memang sangat ingin tahu
lebih detail lagi, bisa cek ke situs personal saya di salmanaristo.com
bagian ”Tentang”.
Tiga-tiganya (Si Pitung, Jaka Sembung,
Wiro Sableng) ha-ha- ha. Karena saya lahir-besar di Jakarta, nyaris
sudah ”dibaptis” jadi Betawi di area saya dibesarkan di kawasan Menteng
Wadas, Jakarta Selatan. Jadi, Pitung adalah pahlawan kanak-kanak saya.
Jaka Sembung adalah sentuhan pertama saya dengan film laga Indonesia.
Sementara Wiro Sableng selalu jadi jeda paling saya cari saat mencuri
waktu dengan membaca komiknya diam-diam.
Apa yang memotivasi Anda terus berkarya di
dunia perfilman Indonesia? Terkait film-film yang ditayangkan di
televisi, apa pendapat Anda tentang kondisi perfilman Indonesia?
(Perlita Nathania, Yogyakarta)
Pada dasarnya, hasrat terbesar saya
adalah cerita. Saya merasa saya adalah pencerita. Film adalah medium
yang saya cintai dan saya anggap sangat kuat dalam menyampaikan cerita.
Berbagi cerita sepertinya sudah jadi jalan hidup saya. Untung/rugi
rasanya sudah tidak relevan dimasukkan dalam ”peta” itu.
Satu yang harus dipahami, bioskop dan
televisi adalah dunia medium dan dua industri yang amat berbeda meski
saling terkait. Industri film bioskop tempatnya, ya, di bioskop.
Televisi punya film dan tata caranya sendiri. Jadi, jangan dicampur
logikanya. Jadi, film bioskop industrinya harus tumbuh dengan sehat
karena film bioksop, seperti TV, juga punya potensi kontribusi amat kuat
ke masyarakat. Soal akses bioskop yang tidak sampai ke akar rumput
adalah hal yang sedang diperjuangkan oleh para pekerja film bioskop
Indonesia.
Ini memang masalah besar sejak tahun
1990-an sampai sekarang. Melihat negara lain sebagai contoh, misalnya,
Korea Selatan atau Tiongkok, bioskop ada di mana-mana sampai ke pelosok.
Dulu, pada era 1970-80-an, Indonesia punya bioksop sampai tingkat
Kabupaten. Silakan coba juga cari tahu sendiri soal sejarah bioskop di
Indonesia.
Bagi saya, Anda adalah salah satu jagoan dalam
naskah film di Indonesia. Apa hal paling mendasar agar dapat membuat
naskah yang menarik dan dapat ditangkap oleh khalayak? Untuk waktu dekat
ini, adakah naskah film yang tengah Anda kerjakan?
(Imas Damayanti, Jakarta Timur)
Tiap penulis punya cara dan metodenya
sendiri-sendiri. Selama ini yang selalu saya coba kembangkan adalah
membuat relasi antara cerita dan penonton melalui bangunan karakter yang
kuat dan memikat. Negeri ini amat kaya dengan berbagai macam kultur dan
istiadat, surga buat menggali karakter yang khas, unik, dan sekaligus
bisa dirasakan dekat oleh penontonnya. Saat ini ada beberapa naskah yang
sedang dikembangkan di Wahana Penulis, tempat saya menggodok cerita
bersama rekan-rekan lainnya, mulai dari layar lebar, naskah drama radio
sampaiwebseries.
Kapan biasanya Anda menulis skenario? Pernahkah
Anda mengalami ”jalan buntu” atau ”tiba-tiba mati ide” saat menulis?
Apa yang Anda lakukan kemudian?
(Githa Nila Maharkesri, Depok)
Dulu saya merasa saya adalah ”orang
malam”. Namun, sejak benar-benar terjun menjadi profesional, saya
melatih diri saya untuk bisa menulis kapan saja dan di mana saja,
apalagi teknologi gawai sudah memungkinkan untuk itu. Saat ”mati angin”,
saya biasanya akan datang ke hobi saya yang lain, musik. Apakah itu
melakukan fingering di bass kesayangan saya, pegang gitar, atau mendengarkan album-album favorit yang sudah saya anggap signifikan dalam hidup saya.
Bagaimana Anda mendapatkan gambaran alur cerita
aspiratif yang begitu menarik, lengkap dengan unsur budaya kisah
tersebut sehingga pola pikir penonton dapat teraplikasi positif?
(Aditya Jaka Laksana, Cipete Selatan)
Saya selalu percaya dengan yang
dibilang almarhum seniman besar Soedjatmoko. Ide itu pasti punya kaki.
Artinya, saya selalu berusaha ide-ide saya punya relevansi dengan
masyarakat, dengan publik penonton saya. Untuk itulah, saya selalu
berusaha dekat dan terimbas terus hingga peka dengan dinamika
masyarakat. Dengan cara apa pun.
Mas Salman, mata pelajaran/kuliah apa yang dulu
disukai sehingga mampu mengantar jadi penulis skenario andal? Mata
pelajaran/kuliah apa yang seharusnya dipelajari agar mampu menjadi
seperti Anda?
(Firman Kurniawan Sujono, Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia)
Saya belajar skenario secara otodidak.
Disiplin ilmu saya Jurnalistik. Sarjana saya dari bidang itu di
Universitas Padjadjaran. Jadi kalaupun ada kolerasinya, adalah menulis.
Dan saya mencintai film. Pada titik itulah korelasinya dengan dunia
akademis saya. Sisanya, saya belajar sendiri dari buku dan lainnya.
Kalau memang benar-benar berminat belajar secara formal, bisa sekolah
film.
Bisakah kasih tips supaya termotivasi menulis?
Apa yang menjadi pemancing Anda dalam menulis, apakah mengalir saja,
atau apakah bikin peta permasalahan?
(Latif Bimo Yustisiano, Kota Cimahi Jawa Barat)
Halo Bimo. Ada banyak teknik menulis. Cari di search engine pasti banyak. Coba saja ketik key word, how to write a novel/screenplay/poem/shortstory. Buku
juga banyak sekali. Justru modal awalnya adalah hasrat. Seberapa besar
mau meluangkan waktu mencari dan melahap segala hal tentang penulisan
itu. Budi Darma pernah bilang terobsesilah dengan menulis, bukan menjadi
penulis.
Lebih mudah mana membuat skenario adaptasi (dari novel) atau asli? Bagaimana membuat skenario yang bisa membuat filmnya laris?
(Ahmad Bahtiar, Depok)
Teknisnya lebih kurang sama.
Kesulitannya juga khas. Yang satu soal kepekaan terhadap sudut pandang
dari karya yang sudah ada. Satunya lagi soal keotentikan cerita kita dan
bagaimana orang akan peduli dengan cerita kita.
Ini tidak pernah bisa dijawab dengan
satu jawaban pasti sebab ”laris” bukan cuma datang dari skenario saja.
Faktornya banyak sekali.
Apakah sinopsis sudah memiliki hak cipta? Rumah
produksi atau stasiun TV mana saja yang terbuka untuk menerima sinopsis
dari penulis pemula dan apa bisa dikirim lewat surat elektronik? Lalu,
bagaimana cara mencegah agar ide kita tidak dicuri sewaktu mengirimkan
karya tersebut? Bisa ceritakan sedikit tahapan-tahapan belajar yang
dilakukan Mas Aris sehingga bisa menjadi penulis seperti sekarang ini?
Misalnya, berapa jam dalam sehari Mas Aris meluangkan waktu untuk
menonton film, membaca script, atau hal-hal lain yang dirasa diperlukan
untuk menjadi penulis skenario yang berkualitas?
(Apendi, Jakarta Barat)
Sinopsis sudah bisa didaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI (Hak Kekayaan Intelektual).Production house dan
TV sangat terbuka. Soal curi-mencuri itu sudah ada mekanisme hukumnya.
Kalau bisa dibuktikan secara hukum, akan dapat perlindungan dari sana.
Sebenarnya, hak cipta itu sudah lahir dengan sendirinya. Jadi siapa pun
yang mencuri bisa dituntut.
Saya selalu berusaha meluangkan waktu
paling tidak sehari menonton satu tayangan audio visual. Apa pun itu.
Dulu waktu masih ada waktu, bisa tiga-empat film sehari. Sekarang
minimalwebseries. Sisanya saya selalu terus memburu buku apa pun soal skenario, film, dan penceritaan.
Apa kekhawatiran terbesar ketika Anda menulis
sebuah skenario film, apalagi film tersebut diangkat dari novel laris?
Bagaimana meyakinkan diri bahwa kekhawatiran itu dapat diatasi?
(Ali Machmudin, Jakarta Pusat)
Kekhawatiran saya selalu sama, adaptasi
ataupun tidak, apakah saya sudah mencurahkan semua kemampuan terbaik
saya? Cara meyakinkan diri adalah dengan selalu terbuka dengan
kemungkinan kalau saya pasti masih berbuat salah dan harus terus
belajar. Jadi, belajar tanpa henti adalah jurus utama saya mengalahkan
kekhawatiran itu.
Produktivitas ini diakui Aris bukan semata-mata karena kemampuannya dalam menulis. Ia mengungkapkan bahwa sejak awal kariernya, ia memang sudah merancang pola kerja khusus yang memungkinkannya bekerja lebih disiplin. Kedisiplinan inilah yang membuatnya menjadi seproduktif sekarang.
"Gue percaya banget metode, pattern, tools, atau formula untuk bekerja. Yang tidak boleh diformulasikan itu kontennya, tapi struktur cara bekerja itu harus. Kalau nggak, lo nggak akan pernah bisa disiplin dan nggak akan bisa ada di industri. Pegangan gue selalu deadline. Gue selalu punya rancangan menulis gue. Misalnya, storyline harus dibikin kapan, sinopsis kapan," ungkap Aris kepada Muvila dalam wawancara di kantor Wahana Penulis, Jakarta pada 29 Juli lalu.
"Kuncinya cuma satu, deadline. Justru itu buat gue menyenangkan sekali, karena gue bisa bekerja simultan. Nggak paralel, tapi simultan, bukan multitasking. Gue selalu atur bahwa gue akan mulai kerjakan yang B jika kerjaan yang A sudah sampai taraf mana. Selama ini, gue baru akan masuk menuliskan sesuatu yang baru kalau yang sebelumnya sudah sampai taraf sequencing (pembuatan sekuens). Semepet-mepetnya, gue nggak pernah kerjain berbarengan. That's the secret," papar penulis skenario Catatan Akhir Sekolah, Garuda di Dadaku, dan Hari untuk Amanda ini.
Setelah dirilisnya film Mencari Hilal yang melibatkan Aris sebagai penulis cerita dan skenario (bersama Bagus Bramanti dan Ismail Basbeth), penulis yang juga aktif sebagai produser dan sesekali jadi sutradara ini (Jakarta Maghrib, Cinta dalam Kardus) masih akan disibukkan dengan beberapa proyek film yang tengah berjalan. Yang terdekat adalah film aksi komedi Skakmat garapan Ody C. Harahap, yang segera memulai syuting.
Selain itu, Aris juga mengerjakan skenario film roman Tak Bisa ke Lain Hati untuk MNC Pictures, film biografi Hatta garapan Erwin Arnada, serta Athirah garapan Riri Riza yang baru menyelesaikan syuting. Aris juga telah dipinang untuk mengadaptasi novel laris Malaysia, Bagaikan Puteri, dan masih di tengah proses adaptasi novel petualangan Giganto karangan Koen Setyawan.
Bagi Aris, tidak ada karyanya yang dibuat secara instan. Semua skenario atau cerita yang ditulisnya merupakan hasil dari berbagai proses yang panjang, sampai akhirnya bisa diwujudkan dalam sebuah produksi audio visual. Jika ada beberapa film yang memakai hasil tulisannya dirilis berdekatan, itu pun biasanya sudah mulai dikembangkan jauh sebelumnya.
"Skakmat itu spec script (skenario yang dibuat tanpa komitmen dengan pihak lain untuk produksi tertentu, red), udah dari 2009. Tak Bisa ke Lain Hati yang bener-bener gue nulis (dari awal), itu pun udah draft dua, jadi nggak terlalu menyita waktu banget. Bagaikan Puteri kan baru mau mulai jalan. Sisanya, film-film Islam Cinta kayak Ayat-Ayat Adinda atau Mencari Hilal itu udah jadi dari tahun 2014, dan bukan cuma gue yang tulis skenario, walau cerita memang dari gue. Sama Giganto juga masih lanjut. Hatta lagi mau produksi, skenarionya udah lock. Tapi, mungkin karena filmnya gede jadi agak rumit," ungkap Aris.
Meski beberapa skenario yang ditulis Aris merupakan adaptasi (sebut saja Laskar Pelangi, Sang Penari, Negeri 5 Menara), sebagian besar karyanya tetaplah cerita orisinal yang dikembangkan Aris dan timnya. Begitu banyaknya proyek yang ditangani mungkin menimbulkan pertanyaan tentang cara ia dapat menemukan ide untuk memulai penulisan semua skenario itu. Namun, Aris menekankan bahwa mendapatkan ide bukanlah hal yang tersulit dalam proses penulisan skenario.
"Yang susah itu memilih. Inspirasi ada di mana aja, dari internet, dari buku, dari film, segala macam. Bermain-main dengan 'what-if' aja udah ada ratusan ide untuk menstimulus kepala untuk punya cerita. Cuma, dari itu semua, mana yang mau kita pilih dan kita jalani. Nah, itu yang perlu skill, itu perlu diasah. Kalau ide itu gampang, beneran gampang banget," ujarnya.
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar