Cerpen
Kabur Ke Tanah Surga
by Dian Nafi
Etra
melongokkan kepalanya ke luar jendela dan menangkap pemandangan gelap langit
yang masih juga tak ada tanda-tanda akan segera terang. Wajahnya kembali
tertekuk saat memandangi satu per satu temannya di dekatnya. Ruang duduk di
messnya perusahaan tambang minyak dan gas ini terasa makin sesak saja rasanya.
“Kalian
beneran masih akan tinggal di sini selama beberapa hari ini?” tanyanya retoris.
Dia
sadar bahwa ketiga rekan di dekatnya ini sesungguhnya juga mulai muak dan bosan
terkurung dalam mess. Cuaca buruk di luar sana menyebabkan jadual penerbangan
mereka ke Halim tertunda. Sejak tiba dari rig offshore di tengah laut kepulauan
Natuna kemarin lusa, hanya tidur makan dalam tempat persinggahan sementara di
Matak ini yang mereka bisa lakukan.
“Tapi
siapa yang berani minta ijin sama atasan?” Slem angkat bicara. Nama aslinya
Slamet.
Sekawanan
pekerja off-shore tambang minyak internasional itu saling menelisik, saling
menunggu.
“Yach,
bareng-bareng ayuk lah minta ijinnya,” Faisal bangkit dari tempat duduknya.
Langkah
kakinya yang mantap menuju arah ruangan petugas traffic membuat ketiga temannya
segera mengikuti. Sudah lama sekali mereka ingin pergi ke Tarempa, pulau
Anambas. Olim kebetulan orang lokal Tarempa. Dialah biangnya yang mengompori gerombolan
ini untuk punya mimpi ke tanah yang konon katanya salah satu surga di
Indonesia. Tapi kesempatannya tak pernah ada. Setiap dua minggu mereka harus
tinggal di tengah laut, di atas platform rig off-shore. Dua minggu sisa bulan
itu harus kembali berada di rumah tinggal masing-masing, bersama, anak istri.
Mau tak mau. Karena kalau yang jatah dua minggu untuk keluarga itupun mereka
ambil buat jalan-jalan, bukan saja mereka akan kena complain dan marah, tetapi
juga menghabiskan uang yang tidak sedikit.
Dan
tiba-tiba kini mereka terdampar di Matak karena cuaca buruk, seperti membuka
peluang bagi terwujudnya impian itu. Ya kan?
**
“Sialan
nih orang traffic,” keluh Olim.
Teman-temannya
yang lain hanya mengangkat bahu. Apa mau dikata, mimpi mungkin tinggal mimpi
belaka. Ternyata permohonan ijin mereka tidak diterima.
“Ayolah,
ngopi saja di ruang makan,” ajak Etra sambil memberi isyarat dengan tangannya.
“Ya
yuk, ngopi ngopi biar nggak bete. Siapa tahu cuaca akan membaik, sehingga kita
bisa segera ke Halim,” sahut Faisal, namun suara lemahnya menunjukkan kalau
sebenarnya ia tak begitu bersemangat dengan ajakannya sendiri.
“Kalian
nggak denger pengumumannya tadi. Menurut perkiraan, cuaca buruk ini akan
berlangsung setidaknya tiga hari. Bisa lebih. Aku sih nggak mau lumutan di
sini,” Olim mendengus kesal.
“Aku
juga mau ngopi saja,” Slem menyahut, menghentikan omelan Olim.
Sesaat
hening..
“......tapi
ngopi di Tarempa,” lanjutan kalimat Slem membuat mata teman-temannya
membelalak. Mereka semestinya tahu kepada siapa sesungguhnya Slem berpihak. Dua
orang yang sekilas sangat berbeda itu sama-sama putra daerah Tarempa.
“So.....”
Etra berusaha menebak jalan pikiran yang lainnya.
“Kabur
lah. Ayo cepat, selagi masih pagi dan belum banyak yang bangun,” sahut Olim.
“Sekarang?
Belum mandi, sarapan, packing....” cerocos Faisal terhenti karena mulutnya
keburu dibekap dengan cepat oleh Slem.
Dengan
pakaian apa adanya di badan, mereka mengendap-endap keluar dari mess. Olim
berjalan paling depan memimpin rombongan pelarian.
“Yang
penting padha bawa dompet dan ATM. Kalau nggak bawa, ntar aku traktir lah,” Olim
memberi petunjuk perjalanan yang pertama dan utama.
Otomatis
masing-masing mengecek dompet di celana. Namun dengan tekad tetap akan menagih
traktiran. Semua masih dalam keadaan tegang dan baru cair ketika tubuh-tubuh
bergelora oleh kenekatan itu duduk di dalam taksi. Bukan taksi juga sebenarnya.
Angkutan umum yang dicarter menuju pantai.
“Apa tadi kata
orang Traffic?” Olim memancing perbincangan dengan nada terdengar mengolok-olok
orang traffic.
“Kalau mau ke
sana ya resiko ditanggung sendiri, kalau ada kecelakaan atau apa company ndak tanggung
jawab,” Etra menirukan kembali apa yang mereka sama-sama dengar tadi.
Olim
tergelak-gelak. Yang lain ikut tertawa.
“Lha wong
dipamitin baik-baik kok nggak kasih ijin. Ya udah akhirnya main kabur saja,” timpal
Slem.
Di antara
keriuhan tawa, Olim dan Slem gantian merancang apa yang mereka akan lakukan
selama beberapa hari di Tarempa nanti. Sehingga tak terasa mereka akhirnya
sampai ke bibir pantai.
Untunglah
saat itu sedang ada boat yang siap untuk
segera berangkat. Menggunakan boat,
mereka menempuh satu jam perjalanan menyeberang menuju pulau Tarempa. Biaya
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah pun dibagi berempat. Nanti akan ada waktunya
tersendiri untuk minta traktiran Si Olim yang sudah siap sedia jadi bos
penraktir kali ini.
Pemandangan
kepulauan Anambas dari kejauhan, laut dan langitnya benar-benar memukau mereka.
Bahkan Olim dan Slem yang asli anak sana juga tak bisa menyembunyikan
kekagumannya akan lukisan Sang Maha Pencipta keindahan ini.
Sesampai daratan
pulau yang dituju, kaki-kaki yang terbiasa menapaki lantai-lantai dingin
platform di tengah lautan itu menikmati pasir dan tanah Tarempa. Mereka
sama-sama menggulung lengan baju seragam merah menyala andalan. Juga menggulung
celana merahnya sampai ke lutut. Langit dan laut yang membiru, pepohonan hijau
yang rapat, coklatnya warna tanah dan pasir berpadu dengan rumah-rumah
sederhana yang sebagian besar menggunakan bahan alami.
“Nah! Itu dia
orangnya,” seru Olim saat sebuah motor datang dengan dua orang berboncengan di
atasnya. Dia mengenalkan keduanya kepada kelima rekan pelariannya.
“Kita akan
butuh koki dalam hari-hari di Tarempa. Kenalin ini orang-orang yang masakannya
bikin ketagihan,” seloroh Olim.
“Pinter ngaduk
kopi juga mereka?” selidik Etra.
“Ntar rasain
sendiri ya,” jawab Slem.
“Gila nih
bawa sepeda motor plat nomernya sudah lewat masanya,” celetuk Faisal sembari
memperhatikan kendaraan yang baru datang itu.
“Di Tarempa
itu motor gak ada yang plat nomernya masih berlaku. Gak ada plat nomernya juga banyak. Karena ya
dipakai di situ-situ aja. Motor hilang
ya paling besoknya ketemu karena ndak bisa dibawa keluar pulau,” jelas Olim.
Dua koki
lokal itu pun, Harun dan Rudi namanya, membawa mereka belanja ikan untuk
dibakar di lokasi air terjun yang akan mereka datangi nanti. Tak lupa
masing-masing merogoh dompet untuk belanja baju ganti karena mereka tidak
mungkin memakai seragam merah itu selama tiga hari di sini. Untung ada ATM
sehingga mereka yang uang cash-nya sedikit bisa mengambil uang sesuai
kebutuhan.
Selepas
belanja, mereka naik boat satu jam lamanya menuju air terjun. Benar kata orang
maupun artikel-artikel di web-web maupun blog itu, ternyata pemandangan air
terjun itu benar-benar mengagumkan. Surga di depan mata.
Selagi dua teman
baru dari lokal yang ditunjuk sebagai koki itu memasak dan membakar ikan,
mereka berangkat untuk mandi dan bermain air di seputaran air terjun.
“Argghh!!” Teriakan Etra mengalihkan perhatian
teman-temannya dari keasyikannya masing-masing. Karena itu lebih terdengar
sebagai teriakan kesakitan.
“Ada apa,
Tra?” Olim mencemaskan laki-laki yang perawakannya paling kecil dibandingkan
mereka semua.
Etra
meringis, mengaduh sembari mengangkat bagian tubuhnya dari dalam air. Tampak
darah mengalir dari kakinya. Teman-teman langsung mengerubunginya.
“Kayaknya
kena batu,” duga Etra. Wajahnya cemas karena darah yang keluar lumayan banyak.
Olim dengan
cepat berlari mengambil sesuatu dari balik semak-semak dekat air terjun dan
kembali menghampiri Etra. Dengan cekatan sebagaimana ia biasanya menangani
mesin-mesin di rig off-shore, tangannya bergerak melakukan penanganan pada kaki
Etra yang berdarah. Ia membalut kaki Etra dengan dedaunan tanaman. Wajah-wajah
di sana melihat dengan penuh perhatian dan keingintahuan. Ajaib memang karena
entah bagaimana, darah yang tadinya mengalir banyak lambat laun berhenti dan
mampet. Decak kagum ditengahi penjelasan Olim dan rintihan Etra pun bersambung dengan
acara bermain air yang sempat tertunda. Dan tentu saja berfoto dengan latar
pemandangan air terjun yang seperti tampak dalam kalender-kalender. Hari itu ditutup dengan acara makan-makan dan
ngopi. Aroma kopi yang sangat menggoda membuat mereka sejenak melupakan
peristiwa kaki Etra yang berdarah. Bahkan Etra sendiri pun mengabaikan
kesakitannya. Mulut-mulut itupun sibuk menyeruput.
**
Malam itu
selepas dari bermain air dan mandi di air terjun, mereka kembali naik boat
menyeberang untuk menginap di Tarempa. Tubuh-tubuh yang lelah itu pun ambruk
dalam penginapan, sudah tak terbalut seragam merah-merah sebab sudah berganti
kaos dan celana yang baru saja mereka beli hari ini.
Pagi-pagi
sekali bakda subuh, tubuh-tubuh yang kemarin letih itu telah bugar kembali dan
duduk di kursi-kursi warung dekat penginapan. Akhirnya momen yang mereka
idam-idamkan sejak lama itu terwujud juga. Ngopi di Tarempa. Hidung kembang
kempis menghidu harum aroma kopi yang tersaji dalam cangkir-cangkir bergambar
sulur dedaunan. Bibir menyesap dan
menyeruput kopi hitam nikmat itu bahkan sampai ke ampas-ampasnya. Berbagai
penganan, jajanan juga menemani sarapan mereka di situ. Nasi lemak seperti yang
biasa tersaji di Malaysia menjadi salah satu hidangan istimewa pagi ini.
Usai ngopi,
sarapan dan mandi, mereka bergegas menuju destinasi selanjutnya. Memanjat, naik
ke gunungnya juga. Kepayahan yang mereka harus tempuhi sepadan dengan
pemandangan yang mereka bisa lihat dari atas. Keseluruhan pulau Tarempa tampak semuanya.
Dan ada pula air terjun yang sangat tinggi. Etra dan
teman-teman asal Jakarta tidak berani naik ke batu-batuannya dari bawah. Ada satu
temen yang dari Batak. Sepertinya dia sedari kecilnya memang sudah terbiasa. Dia naik
ke atas sendiri sampai ke hulunya air. Jadi sampai ke ujung.
Kalau orang lokal jangan ditanya, jelas saja mereka sangat berani. Termasuk Olim dan Slem.
Kalau orang lokal jangan ditanya, jelas saja mereka sangat berani. Termasuk Olim dan Slem.
Malamnya
mereka kembali menikmati lezatnya ngopi di Tarempa dan makan ikan bakar yang
sangat sedap. Tempat makannya ramai dan enak di pinggir pantai. Mereka takkan
mungkin melupakan salah satu malam yang indah dan menyenangkan itu.
**
Sayangnya
suasana menyenangkan semalam jadi agak rusak pas mereka mau pulang. Pagi itu jam tujuh sesuai kesepakatan dan janjian semalam,
seharusnya mereka sudah berkumpul di pantai bersama dua teman lokal. Sebab siang
itu mereka serombongan harus balik ke
halim dan dua orang lokal ini akan turut serta sebab hendak mengikuti training.
Namun ditunggu
sampai jam tujuh lebih, Rudi tak juga nampak. Telponnya mati. Dicari ke rumahnya tidak tampak batang
hidungnya. Dari orang rumahnya, mereka dapat info kalau Rudi ke rumah orang tuanya ternyata dan agak jauh. Etra
mengajak Harun untuk menjemput Rudi dengan naik ojek. Tapi Harun tidak mau.
“Bagaimana ini.
Saat ini susah lho di sini bahan bakarnya.
Lagi mimim stock jadi nggak ada boat yang bisa jalan,” kejar Olim.
Infonya
barusan membuat teman-teman yang ada di depannya yang tadinya sudah stress
karena bisa kena warning, menjadi semakin stress saja.
“Sekarang cuman
ada satu boat akhirnya yang bisa,” lapor Harun.
Mereka kasak
kusuk, takut terlambat juga di Mataknya. Akhirnya Rudi pun ditinggal, padahal
dia yang sebenarnya guide mereka jalan-jalan dan banyak yang membayar-bayarkan
ongkosnya.
Saat sudah mau
sampai boatnya di Matak, Rudi baru telpon
dan marah-marah besar. Dia minta boatnya balik karena tidak ada boat lain yang
bisa jalan. Dia bilang, “kalian ini tidak terima kasih ya. Aku gak kenal lagi
sama kalian ya. Dia terus menyerocos lewat telpon.
Mereka tetap bersikeras
sampai Matak karena takut habis juga solarnya nanti kalau balik lagi ke Tarempa.
Sampai Matak mereka cari-cari boat yang menganggur.. Untungnya masih ada satu
yang bisa. Itupun minim solar dan mereka pakai untuk menjemput. Uangnya dibayarkan
dulu.
Mereka pun menunggu
Rudi dijemput.
Begitu sampai
Matak dia langsung marah-marah besar. Mereka berempat hanya diam aja dan berusaha
menenangkannya dengan memberi tahu kisahnya tadi.
Rudi memukul Harun, temennya yang sama-sama dari Tarempa itu. Dia tentu tidak berani memukul teman-teman yang
dari Jakarta. Dengan mereka, dia cuma berani mengomel dan marah.
Etra mencoba
memisahkan Rudi dan Harun, tapi malah dia dibentak-bentak. Lalu rombongan itu
menyodorkan Olim yang paling senior siapa tahu dia bisa luluh. Eh dia tetap
marah, sambil bilang,”gak kenal lagi sama bapak, karena bapak nggak tahu terima
kasih.”
Akhirnya mereka
membawa dua mobil ke bandara Matak. Rudi tidak mau ikut mobil sewaan teman-temannya.
Smenjak itu ramailah berita di off-shore.
Sekitar dua bulanan dia tidak mau menyapa gerombolan itu. Tapi lama kelamaan
mulai reda. Malahan marahannya dia jadi bahan ledekan di offshore. Kalau lagi
padha ketemuan atau guyon, tahu-tahu ada yang menyeletuk, “eh aku nggak kenal bapak ya.
Siapa bapak. Aku gak kenal.” Dan gerrr semua jadi tertawa-tawa ingat kejadian
itu. Jadi guyonan akhirnya. Rudi beruntung karena akhirnya dia lolos jadi
anggota dewan daerahnya dan resign dari offshore.
“Kalian
beruntung lho bisa ngopi di Tarempa,” ujarnya suatu ketika saat ketemu lagi sama
gerombolan pelarian itu.
“Iya,
teman-teman yang sudah puluhan tahun kerja di offshore saja belum tentu bisa
jalan-jalan kayak kita lho,” aku Etra.
“Yach memang rejeki,”
sahut Olim.
“Dan butuh
berani untuk nanggung risiko,” imbuh Slem.
“Kalau ketahuan
ada risiko siap-siap ditendang he he,” Faisal
terkekeh.
“Kayaknya
orang traffic tahu sih tapi kita cuek saja jadi tidak masalah,” kenang Olim.
“Haha, tapi
kita tetap kena marahnya Harun,” Etra meringis.
“Eh yang jadi
sasaran marah sebenarnya Harun kan, karena mereka sama-sama anak Tarempa yang mau training bareng ke Jakarta waktu itu,” Faisal
meraba-raba.
“Iya,” Rudi
menyambar cepat.
“Eh bapak
siapa. Saya tidak kenal bapak ya,” celetuk Etra.
Dan semua
terbahak-bahak ingat kejadian itu.
“Oh,
untungnya ngopinya enak banget ya di Tarempa. Aku sih nggak kapok. Masih ingin
ke tanah surga itu,” Faisal menimpali.
Teman-temannya
manggut-manggut setuju sembari pikiran mereka menerawang kembali keasyikan saat-saat
ngopi di tepi pantai, di tanah Surga, Tarempa kepulauan Anambas.
**
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan
Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar