improving writerpreneurship

Post Top Ad

Tampilkan postingan dengan label kopi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kopi. Tampilkan semua postingan
September 25, 2017

Sahabat Terbaik Saat Mengejar Deadline

by , in
Sahabat Terbaik Saat Mengejar Deadline

IMG20170917161621



Bekerja sebagai ibu, menulis, mengajar, menghadiri undangan sharing kepenulisan maupun writerpreneurship, tentu saja membutuhkan ketrampilan mengelola waktu, energi dan juga emosi.

Dan energi bukan saja kita dapatkan suntikan charge-nya kembali setelah istirahat ataupun tidur, tetapi juga lewat Makanan dan minuman yang menemani kita. Baik dalam bentuk makanan utama saat minimal tiga kali sehari, pagi siang sore, tetapi juga makanan selingan di sela-selanya.

Adalah kopi yang seringkali menjadi sahabat utamaku. Kopi sachet belakangan menjadi pilihan cepat dan praktis sekaligus juga ringan di kantong. Dari semua merk, ragam rasa dan gaya inovasinya sudah pernah kucoba. Kayaknya sih. Hehe. Jadi tiap kali ada jenis baru ataupun merk anyar, jiwa petualangku selalu memanggil-manggil. Ayo beli ayo beli. Ayo coba ayo coba. Hahaha..


Ada satu yang jadi favoritku sejak lama. Mungkin karena kopi sachet itu yang pertama kali kukenal sehingga menjadi terasa akrab di lidah, atau memang itu yang paling enak dengan harga terjangkau. Tetapi kayaknya sih kopi sachet yang itu terbukti enaknya, karena beberapa kali aku menemukan semacam testimoni atau pengakuan para pecinta kopi di time line twitter. Bukan buzzer atau dalam rangka promo lho temuan postingan atau cuitan itu, tetapi memang kayak curhat colongan orang-orang. Kadang ada dalam satu thread obrolan banyak akun yang menegaskan bahwa kopi sachet yang itu memang ciamik rasanya.

Karena merasa cocok dengan rasa dan harganya inilah, seringkali aku membelinya sekaligus dalam jumlah banyak. Selain supaya nggak rempong karena harus bolak balik ke warung atau toko atau swalayan untuk membelinya, juga karena kalau membeli dalam jumlah banyak kan harganya berbeda. Ada selisihnya meskipun sedikit. Tapi kalau terus-terusan kan ya cukup signifikan. Hahaha. Dasar emak-emak nih!
Ada sih satu lagi kopi sachet yang disertai satu bungkus kecil berisi semacam granule gitu. Dan itu sebenarnya rasanya lebih mantap, lebih eksotis. Sayangnya harganya lebih mahal. Lha kalau diakumulasi banyak sachet, kan jadi banyak jumlahnya ya. So, aku kadang beli juga dalam satu renteng sachet sekaligus. Tetapi pemakaiannya selang seling dengan kopi sachet favoritku yang biasanya. Jadi kopi sachet favorit empat atau lima kali, baru diselingi kopi sachet eksotis itu.

Nah, seringnya kalau ngopi aja alias ngopi thok itu berasa ada yang kuraaang gitu. Iya nggak sih? Kayak kurang lengkap gitu deh. Apalagi kan kopi secangkir bisa cepat habis kalau tidak dibarengi sambil makan cemilan.

Cemilannya bisa apa saja sih. Kadang roti kering ataupun roti basah. Selain bikin kalori dan energi bertambah, sekaligus juga bisa menjadi ganjel mata supaya tidak mengantuk. Sehingga misi lembur pun berlangsung sukses.

Selain aneka macam roti sebagai cemilan, kripik adalah pilihan yang juga asyik. Dari keripik yang rasa gurih, asin, manis sampai pedas bahkan yang campur aduk rasanya, semuanya aku suka. Tapi kalau keripik dan makanan semacam itu, aku tidak begitu penasaran untuk mencoba semua merk dan varian jenis juga rasanya. Ya, seadanya saja atau sekenanya pas dapat.

Apalagi kalau pas dapat kiriman paket cemilan yang tidak harus membayar alias gratis. Bisa karena dapat oleh-oleh dari saudara. Atau buah tangan tetangga. Dan seringnya kiriman dari pabrik atau umkm maupun pihak lain yang bekerja sama dalam promosi produknya. Hehe. Tapi kalau pas nggak ada kiriman dari siapapun, ya beli laaaah makanan dan minuman itu... :D
Agustus 17, 2016

Kabur Ke Tanah Surga

by , in
Kabur Ke Tanah Surga

Cerpen

Kabur Ke Tanah Surga

by Dian Nafi





Etra melongokkan kepalanya ke luar jendela dan menangkap pemandangan gelap langit yang masih juga tak ada tanda-tanda akan segera terang. Wajahnya kembali tertekuk saat memandangi satu per satu temannya di dekatnya. Ruang duduk di messnya perusahaan tambang minyak dan gas ini terasa makin sesak saja rasanya.
“Kalian beneran masih akan tinggal di sini selama beberapa hari ini?” tanyanya retoris.
Dia sadar bahwa ketiga rekan di dekatnya ini sesungguhnya juga mulai muak dan bosan terkurung dalam mess. Cuaca buruk di luar sana menyebabkan jadual penerbangan mereka ke Halim tertunda. Sejak tiba dari rig offshore di tengah laut kepulauan Natuna kemarin lusa, hanya tidur makan dalam tempat persinggahan sementara di Matak ini yang mereka bisa lakukan.
“Tapi siapa yang berani minta ijin sama atasan?” Slem angkat bicara. Nama aslinya Slamet.
Sekawanan pekerja off-shore tambang minyak internasional itu saling menelisik, saling menunggu.
“Yach, bareng-bareng ayuk lah minta ijinnya,” Faisal bangkit dari tempat duduknya.
Langkah kakinya yang mantap menuju arah ruangan petugas traffic membuat ketiga temannya segera mengikuti. Sudah lama sekali mereka ingin pergi ke Tarempa, pulau Anambas. Olim kebetulan orang lokal Tarempa. Dialah biangnya yang mengompori gerombolan ini untuk punya mimpi ke tanah yang konon katanya salah satu surga di Indonesia. Tapi kesempatannya tak pernah ada. Setiap dua minggu mereka harus tinggal di tengah laut, di atas platform rig off-shore. Dua minggu sisa bulan itu harus kembali berada di rumah tinggal masing-masing, bersama, anak istri. Mau tak mau. Karena kalau yang jatah dua minggu untuk keluarga itupun mereka ambil buat jalan-jalan, bukan saja mereka akan kena complain dan marah, tetapi juga menghabiskan uang yang tidak sedikit.
Dan tiba-tiba kini mereka terdampar di Matak karena cuaca buruk, seperti membuka peluang bagi terwujudnya impian itu. Ya kan?
**
“Sialan nih orang traffic,” keluh Olim.
Teman-temannya yang lain hanya mengangkat bahu. Apa mau dikata, mimpi mungkin tinggal mimpi belaka. Ternyata permohonan ijin mereka tidak diterima.
“Ayolah, ngopi saja di ruang makan,” ajak Etra sambil memberi isyarat dengan tangannya.
“Ya yuk, ngopi ngopi biar nggak bete. Siapa tahu cuaca akan membaik, sehingga kita bisa segera ke Halim,” sahut Faisal, namun suara lemahnya menunjukkan kalau sebenarnya ia tak begitu bersemangat dengan ajakannya sendiri.
“Kalian nggak denger pengumumannya tadi. Menurut perkiraan, cuaca buruk ini akan berlangsung setidaknya tiga hari. Bisa lebih. Aku sih nggak mau lumutan di sini,” Olim mendengus kesal.
“Aku juga mau ngopi saja,” Slem menyahut, menghentikan omelan Olim.
Sesaat hening..
“......tapi ngopi di Tarempa,” lanjutan kalimat Slem membuat mata teman-temannya membelalak. Mereka semestinya tahu kepada siapa sesungguhnya Slem berpihak. Dua orang yang sekilas sangat berbeda itu sama-sama putra daerah Tarempa.
“So.....” Etra berusaha menebak jalan pikiran yang lainnya.
“Kabur lah. Ayo cepat, selagi masih pagi dan belum banyak yang bangun,” sahut Olim.
“Sekarang? Belum mandi, sarapan, packing....” cerocos Faisal terhenti karena mulutnya keburu dibekap dengan cepat oleh Slem.
Dengan pakaian apa adanya di badan, mereka mengendap-endap keluar dari mess. Olim berjalan paling depan memimpin rombongan pelarian.
“Yang penting padha bawa dompet dan ATM. Kalau nggak bawa, ntar aku traktir lah,” Olim memberi petunjuk perjalanan yang pertama dan utama.
Otomatis masing-masing mengecek dompet di celana. Namun dengan tekad tetap akan menagih traktiran. Semua masih dalam keadaan tegang dan baru cair ketika tubuh-tubuh bergelora oleh kenekatan itu duduk di dalam taksi. Bukan taksi juga sebenarnya. Angkutan umum yang dicarter menuju pantai.
“Apa tadi kata orang Traffic?” Olim memancing perbincangan dengan nada terdengar mengolok-olok orang traffic.
“Kalau mau ke sana ya resiko ditanggung sendiri, kalau ada kecelakaan atau apa company ndak tanggung jawab,” Etra menirukan kembali apa yang mereka sama-sama dengar tadi.
Olim tergelak-gelak. Yang lain ikut tertawa.
“Lha wong dipamitin baik-baik kok nggak kasih ijin.  Ya udah akhirnya main kabur saja,” timpal Slem.
Di antara keriuhan tawa, Olim dan Slem gantian merancang apa yang mereka akan lakukan selama beberapa hari di Tarempa nanti. Sehingga tak terasa mereka akhirnya sampai ke bibir pantai.
Untunglah saat itu sedang ada boat yang  siap untuk segera berangkat. Menggunakan  boat, mereka menempuh satu jam perjalanan menyeberang menuju pulau Tarempa. Biaya tujuh ratus lima puluh ribu rupiah pun  dibagi berempat. Nanti akan ada waktunya tersendiri untuk minta traktiran Si Olim yang sudah siap sedia jadi bos penraktir kali ini.
Pemandangan kepulauan Anambas dari kejauhan, laut dan langitnya benar-benar memukau mereka. Bahkan Olim dan Slem yang asli anak sana juga tak bisa menyembunyikan kekagumannya akan lukisan Sang Maha Pencipta keindahan ini.

Sesampai daratan pulau yang dituju, kaki-kaki yang terbiasa menapaki lantai-lantai dingin platform di tengah lautan itu menikmati pasir dan tanah Tarempa. Mereka sama-sama menggulung lengan baju seragam merah menyala andalan. Juga menggulung celana merahnya sampai ke lutut. Langit dan laut yang membiru, pepohonan hijau yang rapat, coklatnya warna tanah dan pasir berpadu dengan rumah-rumah sederhana yang sebagian besar menggunakan bahan alami.
“Nah! Itu dia orangnya,” seru Olim saat sebuah motor datang dengan dua orang berboncengan di atasnya. Dia mengenalkan keduanya kepada kelima rekan pelariannya.
“Kita akan butuh koki dalam hari-hari di Tarempa. Kenalin ini orang-orang yang masakannya bikin ketagihan,” seloroh Olim.
“Pinter ngaduk kopi juga mereka?” selidik Etra.
“Ntar rasain sendiri ya,” jawab Slem.
“Gila nih bawa sepeda motor plat nomernya sudah lewat masanya,” celetuk Faisal sembari memperhatikan kendaraan yang baru datang itu.
“Di Tarempa itu motor gak ada yang plat nomernya masih berlaku.  Gak ada plat nomernya juga banyak. Karena ya dipakai di situ-situ aja.  Motor hilang ya paling besoknya ketemu karena ndak bisa dibawa keluar pulau,” jelas Olim.
Dua koki lokal itu pun, Harun dan Rudi namanya, membawa mereka belanja ikan untuk dibakar di lokasi air terjun yang akan mereka datangi nanti. Tak lupa masing-masing merogoh dompet untuk belanja baju ganti karena mereka tidak mungkin memakai seragam merah itu selama tiga hari di sini. Untung ada ATM sehingga mereka yang uang cash-nya sedikit bisa mengambil uang sesuai kebutuhan.
Selepas belanja, mereka naik boat satu jam lamanya menuju air terjun. Benar kata orang maupun artikel-artikel di web-web maupun blog itu, ternyata pemandangan air terjun itu benar-benar mengagumkan. Surga di depan mata.
Selagi dua teman baru dari lokal yang ditunjuk sebagai koki itu memasak dan membakar ikan, mereka berangkat untuk mandi dan bermain air di seputaran air terjun.
“Argghh!!”  Teriakan Etra mengalihkan perhatian teman-temannya dari keasyikannya masing-masing. Karena itu lebih terdengar sebagai teriakan kesakitan.
“Ada apa, Tra?” Olim mencemaskan laki-laki yang perawakannya paling kecil dibandingkan mereka semua.
Etra meringis, mengaduh sembari mengangkat bagian tubuhnya dari dalam air. Tampak darah mengalir dari kakinya. Teman-teman langsung mengerubunginya.
“Kayaknya kena batu,” duga Etra. Wajahnya cemas karena darah yang keluar lumayan banyak.
Olim dengan cepat berlari mengambil sesuatu dari balik semak-semak dekat air terjun dan kembali menghampiri Etra. Dengan cekatan sebagaimana ia biasanya menangani mesin-mesin di rig off-shore, tangannya bergerak melakukan penanganan pada kaki Etra yang berdarah. Ia membalut kaki Etra dengan dedaunan tanaman. Wajah-wajah di sana melihat dengan penuh perhatian dan keingintahuan. Ajaib memang karena entah bagaimana, darah yang tadinya mengalir banyak lambat laun berhenti dan mampet. Decak kagum ditengahi penjelasan Olim dan rintihan Etra pun bersambung dengan acara bermain air yang sempat tertunda. Dan tentu saja berfoto dengan latar pemandangan air terjun yang seperti tampak dalam kalender-kalender.  Hari itu ditutup dengan acara makan-makan dan ngopi. Aroma kopi yang sangat menggoda membuat mereka sejenak melupakan peristiwa kaki Etra yang berdarah. Bahkan Etra sendiri pun mengabaikan kesakitannya. Mulut-mulut itupun sibuk menyeruput.
**

Malam itu selepas dari bermain air dan mandi di air terjun, mereka kembali naik boat menyeberang untuk menginap di Tarempa. Tubuh-tubuh yang lelah itu pun ambruk dalam penginapan, sudah tak terbalut seragam merah-merah sebab sudah berganti kaos dan celana yang baru saja mereka beli hari ini.
Pagi-pagi sekali bakda subuh, tubuh-tubuh yang kemarin letih itu telah bugar kembali dan duduk di kursi-kursi warung dekat penginapan. Akhirnya momen yang mereka idam-idamkan sejak lama itu terwujud juga. Ngopi di Tarempa. Hidung kembang kempis menghidu harum aroma kopi yang tersaji dalam cangkir-cangkir bergambar sulur dedaunan.  Bibir menyesap dan menyeruput kopi hitam nikmat itu bahkan sampai ke ampas-ampasnya. Berbagai penganan, jajanan juga menemani sarapan mereka di situ. Nasi lemak seperti yang biasa tersaji di Malaysia menjadi salah satu hidangan istimewa pagi ini.
Usai ngopi, sarapan dan mandi, mereka bergegas menuju destinasi selanjutnya. Memanjat, naik ke gunungnya juga. Kepayahan yang mereka harus tempuhi sepadan dengan pemandangan yang mereka bisa lihat dari atas. Keseluruhan pulau Tarempa  tampak semuanya.
Dan ada pula  air terjun yang sangat tinggi. Etra dan teman-teman asal Jakarta tidak berani naik ke batu-batuannya dari bawah. Ada satu temen yang dari Batak. Sepertinya dia sedari  kecilnya memang sudah terbiasa.  Dia naik ke atas sendiri sampai ke hulunya air. Jadi  sampai ke ujung.
Kalau orang lokal jangan ditanya, jelas saja mereka sangat berani. Termasuk Olim dan Slem.
Malamnya mereka kembali menikmati lezatnya ngopi di Tarempa dan makan ikan bakar yang sangat sedap. Tempat makannya ramai dan enak di pinggir pantai. Mereka takkan mungkin melupakan salah satu malam yang indah dan menyenangkan itu.

**
Sayangnya suasana menyenangkan semalam jadi agak rusak pas mereka mau pulang. Pagi itu  jam  tujuh sesuai kesepakatan dan janjian semalam, seharusnya mereka sudah berkumpul di pantai bersama dua teman lokal. Sebab siang itu mereka serombongan harus  balik ke halim dan dua orang lokal ini akan turut serta sebab hendak mengikuti training.
Namun ditunggu sampai jam tujuh lebih, Rudi tak juga nampak. Telponnya  mati. Dicari ke rumahnya tidak tampak batang hidungnya. Dari orang rumahnya, mereka dapat info kalau Rudi  ke rumah orang tuanya ternyata dan agak jauh. Etra mengajak Harun untuk menjemput Rudi dengan naik ojek. Tapi Harun tidak mau.
“Bagaimana ini. Saat ini  susah lho di sini bahan bakarnya. Lagi mimim stock jadi nggak ada boat yang bisa jalan,” kejar Olim.
Infonya barusan membuat teman-teman yang ada di depannya yang tadinya sudah stress karena bisa kena warning, menjadi semakin stress saja.  
“Sekarang cuman ada satu boat akhirnya yang bisa,” lapor Harun.
Mereka kasak kusuk, takut terlambat juga di Mataknya. Akhirnya Rudi pun ditinggal, padahal dia yang sebenarnya guide mereka jalan-jalan dan banyak yang membayar-bayarkan ongkosnya.
Saat sudah mau sampai boatnya di Matak, Rudi  baru telpon dan marah-marah besar. Dia minta boatnya balik karena tidak ada boat lain yang bisa jalan. Dia bilang, “kalian ini tidak terima kasih ya. Aku gak kenal lagi sama kalian ya. Dia terus menyerocos lewat telpon.
Mereka tetap bersikeras sampai Matak karena takut habis juga solarnya nanti kalau balik lagi ke Tarempa. Sampai Matak mereka cari-cari boat yang menganggur.. Untungnya masih ada satu yang bisa. Itupun minim solar dan mereka pakai untuk menjemput. Uangnya dibayarkan dulu.
Mereka pun menunggu Rudi dijemput.
Begitu sampai Matak dia langsung marah-marah besar. Mereka berempat hanya diam aja dan berusaha menenangkannya dengan memberi tahu kisahnya tadi.
Rudi memukul  Harun, temennya yang  sama-sama dari Tarempa itu.  Dia tentu tidak berani memukul teman-teman yang dari Jakarta. Dengan mereka, dia cuma berani mengomel dan marah.
Etra mencoba memisahkan Rudi dan Harun, tapi malah dia dibentak-bentak. Lalu rombongan itu menyodorkan Olim yang paling senior siapa tahu dia bisa luluh. Eh dia tetap marah, sambil bilang,”gak kenal lagi sama bapak, karena bapak nggak tahu terima kasih.”
Akhirnya mereka membawa dua mobil ke bandara Matak. Rudi tidak mau ikut mobil sewaan teman-temannya.  Smenjak itu ramailah berita di off-shore. Sekitar dua bulanan dia tidak mau menyapa gerombolan itu. Tapi lama kelamaan mulai reda. Malahan marahannya dia jadi bahan ledekan di offshore. Kalau lagi padha ketemuan atau guyon, tahu-tahu ada yang  menyeletuk, “eh aku nggak kenal bapak ya. Siapa bapak. Aku gak kenal.” Dan gerrr semua jadi tertawa-tawa ingat kejadian itu. Jadi guyonan akhirnya. Rudi beruntung karena akhirnya dia lolos jadi anggota dewan daerahnya dan resign dari offshore.  
“Kalian beruntung lho bisa ngopi di Tarempa,” ujarnya suatu ketika saat ketemu lagi sama gerombolan pelarian itu.
“Iya, teman-teman yang sudah puluhan tahun kerja di offshore saja belum tentu bisa jalan-jalan kayak kita lho,” aku Etra.
“Yach memang rejeki,” sahut Olim.
“Dan butuh berani untuk nanggung risiko,” imbuh Slem.
“Kalau ketahuan  ada risiko siap-siap ditendang he he,” Faisal terkekeh.
“Kayaknya orang traffic tahu sih tapi kita cuek saja jadi tidak masalah,” kenang Olim.
“Haha, tapi kita tetap kena marahnya Harun,” Etra meringis.
“Eh yang jadi sasaran marah sebenarnya Harun kan, karena mereka sama-sama anak Tarempa yang  mau training bareng ke Jakarta waktu itu,” Faisal meraba-raba.
“Iya,” Rudi menyambar cepat.
“Eh bapak siapa. Saya tidak kenal bapak ya,” celetuk Etra.
Dan semua terbahak-bahak ingat kejadian itu.
“Oh, untungnya ngopinya enak banget ya di Tarempa. Aku sih nggak kapok. Masih ingin ke tanah surga itu,” Faisal menimpali.
Teman-temannya manggut-manggut setuju sembari pikiran mereka menerawang kembali keasyikan saat-saat ngopi di tepi pantai, di tanah Surga, Tarempa kepulauan Anambas.






**

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan
Nulisbuku.com
Agustus 11, 2016

Breakfast And Morning Coffee At Chancellor Orchard Singapore

by , in
Breakfast And Morning Coffee At Chancellor Orchard Singapore





Cahaya mentari pagi dari langit Singapura lamat-lamat memasuki jendela kamar hotel Chancellor @ Orchard, menelisip lewat korden panjang yang menutupi full height window. Membuat tubuh yang tadinya masih mau berbaring lagi setelah sholat subuh pun jadi terbangun lagi.




Ingat kalau hari ini musti memaksimalkan waktu untuk bisa jalan-jalan menikmati kota Singa ini lagi, diri pun bergegas mandi dan bersiap untuk jalan. Biar kuat jalannya karena semua lokasi akan ditempuhi dengan jalan kaki setelah naik MRT yang pemberhentiannya pasti cuma sampai stasiun saja, maka wajib deh sarapan pagi.


Untunglah sebagaimana hotel lainnya, sarapan di hotel Chancellor Orchard ini sudah include. Jadi kita bisa mengenyangkan diri dan menge-charge energi dengan makanan dan kopi di sini. Ruang makannya memanjang. Kaca-kaca tinggi full height memasukkan banyak cahaya yang berasal dari void/vide yang ada di antara blok-blok bangunan hotel.

Jangan kaget ada rak khusus yang isnya brandy dan semacamnya. Maklum, kan ini Singapura.








Sayangnya nggak ada menu nasi, bro. Hiks. Maklum orang Indonesia terbiasa makan dengan jenis karbohidrat yang sekarang bahkan terpaksa kita impor itu. Ngeri ya?

Alhamdulillah, syukurlah masakannya benar-benar enak. Ladziiiiz alias mammamia lezatos. Jadi semuanya meski demi kesopanan, aku cuma ambil sedikit-sedikit (padahal aslinya pengen banyak karena saking enaknya haha) tapi semuanya enak. Enyyyyyaaaak bangetssss.







Dari olahan jagungnya, kentangnya, kacangnya, strawberrinya, dagingnya dan lain-lainnya itu, meskipun nggak tahu nama masakannya apa aja, tapi rasanya lezaaaat bangets. 

Eh ada ding nama-nama menunya ditulis pada label yang terletak dekat wadah makanan yang terjajar rapi dan cantik di meja penyajian. 


Pagi itu kayaknya karena masih banyak orang yang terlelap di kamarnya masing-masing, jadi ruang makan aka resto tidak begitu ramai. So, jadi asyik dan leluasa kalau mau ambil lagi makanan atau minuman. Hohoho...



Sebagian tamu hotel bahkan masih santai memakai baju tidur atau baju santainya untuk sarapan pagi itu. Dan banyak juga yang nambah gitu makan atau minumnya. Hehehe...

Good food, good morning for good day.
Dan kaki bersiap melangkah menjelajahi bumi Singapura :)


Juni 26, 2016

Air Putih Untuk Kopi

by , in
Air Putih Untuk Kopi




Menyambut ajakan Koalisi Online Pesona Indonesia aka KOPI untuk mengkampanyekan 'Serunya menjadi bloggers kabar baik', jadi teringat akan pro kontra tentang menceritakan pencapaian-pencapaian kita melalui social media maupun blog. Ada yang menganggapnya sebagai sikap sombong lah, atau pamer lah, atau apalah apalah.  

Padahal kalau kita mau melihat dari sudut pandang positif, hal tersebut sebenarnya banyak kebaikannya juga lho. Antara lain jadi menyemangati diri sendiri untuk terus menjaga prestasi dan terdorong menggapai pencapaian dan kesuksesan berikutnya. Kemudian dari sisi pembaca, postingan kabar baik tentang pencapaian ini bisa menginspirasi dan memotivasi. Iya kan? Karena daripada sekedar iri dan cemburu, alangkah baiknya ini menjadi pemacu dan pemicu untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan pencapaian kesuksesan. 

Apalagi jika kabar baik ini lebih luas lagi sifat dan bentuknya. Semua kabar baik dan positif yang terus kita alirkan dari berbagai sudut dan sisi, akan lama-lama dengan sendirinya mengcounter berbagai berita buruk dan busuk yang saat ini makin banyak tersebar di mana-mana. Berbagai fitnah,  kekerasan dan kriminal seolah menjadi makanan sehari-hari yang sulit ditolak, saking sering dan banyak di mana-mana.  Kabar dan berita baik seperti air putih yang dituangkan ke dalam cangkir berisi kopi, sehingga lama-lama kopi itu meluap keluar cangkir, air putih dan kopi bercampur, lalu warna hitam atau keruh lama-lama menjadi bening dan semakin jernih karena air putih yang kita tuangkan terus ke dalam kopi. 

So, kita sambut baik ajakan KOPI ini.  Adapun deklarasi KOPI sendiri terdiri dari tiga poin penting. Pertama, peduli merah putih dengan turut serta berperan aktif menginformasikan dunia pariwisata, perfilman, budaya, musik, fashion, dan kuliner Indonesia yang berbasis good news. Kedua, mengedepankan informasi positif mengenai pesona Indonesia untuk dunia. Ketiga, berupaya jadi saksi pertama kreativitas anak negeri dan akan mengapreasinya dalam bentuk tulisan persembahan untuk bangsa dan dunia.



Desember 05, 2015

Cara terbaik menikmati kopi

by , in
Cara terbaik menikmati kopi

cara seduh kopi yang nikmat untuk satu cangkir kecil:
kopi 1sdm,
air matang 200ml panaskan 90degree,
jangan sampai mendidih ntar kopinya bau gosong.
terus  panaskan susu cair 90degree juga sepertiga cangkir.
kopi seduh dengan air sampai  2/3 cangkir.
isi 1/3nya lagi dengan susu cair.
yang enak greenfields full cream susunya.

udah

Tidak  usah pake gula lagi.
siiap nikmatin secangkir kopi deh.

kalau masih belum  biasa, tambahkan gula merah bubuk di atasnya.

jangan diaduk,
langsung diseruput
cara nikmatinnya :
hirup kopi,
seruput sedikit sedikit,
jangan  langsung ditelen,
biarkan agak lama di lidah biar sensasi kopinya terasa...
coffee by gum

Post Top Ad