Beberapa waktu lalu, salah seorang dosen arsitektur yang juga sama-sama sharing menjadi pemateri workshop kepenulisan arsitektur, mengpmentari personal brandingku. Kata beliau, aku jadi lebih tampil sebagai traveler tinimbang writer di sosmedku, mungkin maksud beliau adalah instagram. Karena memang meskipun sesekali aku tampil dengan memegang buku dalam acara atau event talk show radio maupun bedah buku, tetap saja postingan jalan-jalannya lebih dominan. Lha bayangkan saja, kayak waktu itu road show buku Socioteenpreneur terbitan Erlangga saja, sharingnya di satu tempat kampus saat Oktober lalu satu sekolah menengah atas alias SMA Yayasan di November, eh aku posting jalan-jalan di istana Maimoen, masjid Raya Medan, City Walknya Medan, area kulinerannya Medan, tempat nongkrong dan menikmati durian terkenalnya Medan, hotelku tempat menginap maupun hotel seberangnya tempat menginapnya Rizaldisandi aka Rizal vokalis Band Armada, juga kediaman Tjong A Fie dan beberapa tempat belanja oleh-oleh. Lebih banyak mana hayo jalan-jalannya ama tugas utama sebagai penulis yang bedah buku he he he.
Tapi tentu saja benar bahwa Perjalanan Sebagai Inspirasi Menulis. Karena diakui atau tidak, kebanyakan tulisan kita tuh dapatnya ya dari banyak pengalaman dan peristiwa yang terjadi selama perjalanan. Terutama tentu saja perjalanan hidup.Yang sering luput adalah kalau kita tidak segera menuliskan pengalaman-pengalaman serta perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran berikut pemaknaan-pemaknaannya sepanjang perjalanan tersebut. Karena kita tahu ingatan ini sesungguhnya pendek. Apalagi jika ditumpuki oleh pengalaman-pengalaman laimnya yang lebih baru.
Bisa saja sih memori kita menyimpan pengalaman berikut kesannya dalam benak. Dan sesekali kita bisa menggalinya di kemudian hari, bahkan setelah berpuluh tahun mengendap, tapi tetap saja akan ada detail-detail yang tidak sempat terangkum dengan tepat, jelas. Padahal kekayaan tulisan itu sesungguhnya ada dalam detail-detail tersebut. Emosi yang terbawa langsung saat kejadian juga menambah kedalaman tulisan.
Itulah sejatinya bedanya penulis dengan yang bukan penulis. Dia tidak saja merekam, tapi mencerap, memaknai ulang lalu menuangkannya kembali dalam bentuk masakan tulisan yang di dalamnya sudah memengandung persepsi, pesan terselubung, dan lain-lainnya tergantung seperti apa dan bagaimana penulis mengemas serta conveying the message.
Salah satu cara untuk mengikat pengalaman, pemaknaan dan kesan termasuk emosional juga energinya adalah dengan membawa notebook ke mana-mana. Atau jurnal itu sekarang bisa kita catat di note gadget kita. Bisa dalam berbagai aplikasi. Semua tergantung preference penulis.
Dari note di handphone kita ini bisa angkut ke word untuk kita kembangkan menjadi tulisan yang lebih panjang. Atau juga diunggah menjadi postingan di blog. Kalau bisa berseri dan ada benang merahnya bisa dikompilasi menjadi satu buah buku yang bisa diterbitkan.Jadi semakin banyak perjalanan yang kita lalukan, akà n semakin banyak juga bahan tulisan yang bisa kita olah.
Yuk makin rajin jalan-jalan, dan jangan lupa tulis ke jurnal.
Note to my self juga ini.. he he he
Dus, jangan malas untuk mengembangkan bahan itu menjadi tulisan yang lebih pannag dan apik supaya bisa terbaca debgan baik oleh orang lain.
Terus gimana nih kalau sudah kadung nggak sempat bikin jurnal waktu jalan-jalannya dulu. Kita bisa bangkitkan memorimya dengan melihat-lihat kembali foto-foto juga video-video selama perjalanan tersebut.
Dari situ, mudah-mudahan memori berilut emosi, pemaknaan juga energinya bisa kita cerap lagi. Meski mungkjn sebagian persepsi sudah agak berbeda dengan saat pertama kita mengalaminya dalam realita.
Bismillah, yuk bisa yuk.
Selamat jalan-jalan, selamat membaca ayat-ayat kauniyah dan selamat menulis!
Keep on going!
Keep walking!
Keep traveling!
Keep writing!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar