DUNYA DUNYA
“Hebat
sekali orang-orang ini! Apa mereka pikir mereka punya nyawa serep?” ibu
terus-terusan uring-uringan sejak tadi pagi. Ada tukang ojek yang hampir
menyerempetnya di jalanan.
Terpaksa
Irsyad mengurungkan niat untuk menyampaikan rencananya pada beliau siang ini.
Atau mungkin aku musti sembunyi-sembunyi saja dari beliau, pikirnya. Yang penting
dia bisa dapat tambahan uang saku.
“Orang-orang
yang nggak punya etika. Tidak bisa mengambil pelajaran dari musibah sebelumnya.
Kamu dengar kan kalau mbahYai Fadhol itu meninggalnya gara-gara ditabrak tukang
ojek yang ugal-ugalan?” ibu mengangkat alisnya, menoleh kea rah Irsyad yang
tampak bengong.
“Eh
iya, bu. Saya dengar juga, tapi tidak begitu detail,” sahut Irsyad sekenanya.
“Pokoknya
kalau di jalan itu harus hati-hati, entah tukang ojek yang mengejar setoran
ataupun bukan,” imbuh sang ibu.
Peringatan
beliau jadi mengingatkan Irsyad akan peristiwa yang dialaminya bertahun lalu
saat masih di bangku kuliah. Saking
bersemangatnya berkiprah dalam berbagai komunitas dan korps, Irsyad
sampai-sampai tidak memperhatikan kondisi fisiknya sehingga kejadian pagi itu
tidak terhindarkan.
Tergesa-gesa Irsyad melarikan motor dari rapat majalah
kampus menuju basecamp tempatnya menyelenggarakan
Muhasabah Nite satu Muharram. Salahnya juga
punya empat acara sekaligus dalam satu pagi. Ada rapat majalah buletin di masjid perumahan dekat kampus, kajian
satu Muharram di masjid kampus, Muhasabah di basecamp alias kos-kosan, rapat di ruang ROHIS kampus. Empat agenda!
Allahu Akbar!
Duar!!!
Setengah
ngantuk dan lelah ini ternyata harus dibayar mahal. Gelap. Irsyad hampir tak
melihat apapun kecuali lamat dia dengar orang-orang berteriak dan menyebutkan
asma-Nya.
Tertangkap sedikit oleh mata yang sulit dia buka,
ada dua pasang tangan menggendongnya. Lalu tak dia rasakan apa-apa lagi. Hanya
kepasrahan dan asma-asma-Nya yang
dia rapal dengan tenggorokannya yang kering.
Irsyad berusaha keras menjaga kesadarannya.
Seketika
perih dia rasakan di wajah, lengan dan seluruh tubuh.
Laa haula wa laa quwwata illa billahil aliyyil
‘adziim... terus
menerus dia ucap, selang seling dengan Allah... Allah….
**
“Kamu
sih sok jagoan juga,” kata Rijal sahabat kentalnya.
“Haha…,”
Irsyad tertawa sambil meringis
kesakitan.
Alhamdulillah, dia masih selamat dan hidup. Meski ada luka lumayan banyak di
wajah, pipi sebelah kiri bahkan bengkak dan agak melepuh. Sekujur tubuh rasanya
ngilu. Kaki beset-beset.
Tangannya terpaksa digips karena parah.
Irsyad
masih bersyukur karena masih komplit. Ya Allah, terimakasih telah memberi
kesempatan untuk berbenah dan bertaubat serta mudah-mudahan memperbanyak amal,
bisiknya dalam hati.
“Nanti
luka di wajahmu bisa hilang pelan-pelan...,”
hibur seorang gadis teman satu organisasi yang turut besuk Irsyad siang itu di rumah sakit.
Namanya
Silvi. Asalnya dari Jakarta.
“Ibuku
tahu ramuan dan obat tradisional yang bisa mempercepat pulihnya luka seperti
ini. Semoga tanpa bekas pulih seperti sedia kala.” Silvi mencoba membesarkan hati Irsyad.
Irsyad
tercengang dengan perhatian dan kebaikan gadis itu.
Sebelumnya
Silvi tampak biasa-biasa saja di matanya. Akan tetapi, menjadi istimewa sejak hari itu. Gadis itu tak
tampak marah atau tersinggung sedikit pun
ketika tadi tanpa sengaja Irsyad muntah di kala Silvi
dan rombongan sedang berada dekat pembaringannya. Mungkin akibat kecelakaan
itu, isi perut Irsyad bergulat sedemikian rupa, sehingga termuntahkan begitu
saja. Silvi yang posisinya kebetulan dekat dengan Irsyad, spontan mengelopakkan
kedua telapak tangannya, terbuka ke atas, dengan sigap menadah muntahan Irsyad.
Pemuda itu
sampai terperangah. Terkejut karena tidak menyangka akan muntah, dan lebih terkejut lagi karena tindakan heroik Silvi yang tidak
pernah disangkanya. Atau mungkin oleh siapa pun
dalam ruangan itu.
“Maaf..., maaf...,” Irsyad
dengan raut merasa bersalah dan tidak enak hati menangkupkan kedua telapak
tangan ke depan dadanya, meski lengan kirinya terpancang oleh jarum, selang dan
tiang infus.
“Nggak
apa-apa,” penuh senyum penuh ketulusan. Lalu Silvi dengan tenang berjalan
menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Kemudian
kembali lagi bergabung dengan teman-temannya di dekat pembaringan Irsyad, masih
dengan senyumannya yang manis. Dan bahkan memberikan perhatian pada luka
menganga pipi Irsyad yang tadi pagi mencium aspal dengan suksesnya.
**
Irsyad
mengira Silvi akan menjadi bagian dari hidupnya kemudian. Tapi yang terjadi
jauh panggang dari api. Tentu saja cewek manis itu lebih memilih seseorang yang
lebih mapan, yang berasal dari keluarga berada dan berkecukupan.
Dan
Irsyad sekarang di sini, mengadu nasib bersama puluhan tukang ojek lainnya yang
berbaris rapi dalam antrian menunggu penumpang. Irsyad membenamkan kepala dan
wajahnya dalam jaket panco lusuh yang dia dapat dari Bandar-nya para tukang
ojek. Jangan sampai ketahuan ibu, tekadnya.
Fokus.
Irsyad berusaha konsentrasi penuh. Dia tak mau kecelakaan yang dulu dialaminya
saat kuliah terulang lagi. Apalagi dengan reputasi para tukang ojek di sekitar
kawasan wisata masjid Agung ini yang terkenal ugal-ugalan. Tujuannya jelas,
supaya cepat mengantar penumpang dari arah kawasan masjid menuju arah terminal
wisata, dan cepat balik dari terminal wisata ke kawasan masjid untuk bisa
mengangkut penumpang lagi. Makin sering bolak balik, makin besar peluang dapat
penumpang, makin banyak pemasukan. Begitu.
Irsyad
tidak butuh banyak. Di hari pertamanya ini dia mungkin Cuma butuh satu
penumpang saja. Sebagai bahan adu nyali, untuk permulaan. Kalau nantinya dapat
lebih dari satu, tentu saja dia tidak akan menolak.
Irsyad
mendorong maju motornya. Antrian semakin menipis. Akan segera tiba gilirannya
mendapatkan penumpang. Dia menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir jauh-jauh
suara-suara yang bergelut dalam pikirannya.
Tidak
ada yang salah dengan pilihan menjadi tukang ojek sementara menunggu pengumuman
panggilan penerimaan pegawai negeri atau karyawan, pikirnya menentramkan hati.
Dia toh sudah mengirimkan banyak lamaran ke instansi. Dan karenanya sekarang
Irsyad kehabisan uang, padahal kebutuhannya terus bertambah. Dia tak mau lagi
bergantung dan meminta-minta terus pada ibunya. Tapi ibunya pasti tidak setuju
Irsyad jadi tukang ojek wisata. Profesi yang tidak bonafide dan mentereng sama
sekali untuk seorang sarjana lulusan fakultas teknik. Jadi terpaksa dia
menyimpan sendiri aksinya ini. Berharap tidak ketahuan sang ibu ataupun ada
orang yang kenal dan melaporkannya pada beliau.
“Kamu
siapa? Anak baru ya?” suara menggelegar menampar pendengaran Irsyad yang baru
saja akan menerima pelanggan pertamanya.
“Eh
saya…”
“Kamu
lihat saja dulu caranya baru ntar main. Ayo, bu. Naik sini, itu anak baru. Dia
masih mau belajar,” tukang ojek yang badannya tinggi besar itu merangsek dan
merebut penumpang perempuan yang sekarang tampak kebingungan. Sekilas wajahnya
mengingatkan Irsyad pada Silvi. Membuatnya seakan patah hati dua kali.
“Ayo,
mbak. Buruan!” sentak si tinggi besar seperti preman.
Si
mirip Silvi itu bergegas naik ke boncengan motor si tinggi besar. Irsyad
memandangi punggung mereka yang berjalan menjauh.
Sesuatu
mendorongnya melajukan kendaraan mengikuti mereka. Rasa yang campur aduk
menderanya. Luka yang belum kering, marah yang tersulut karena tirani
senioritas, cemburu tak bernama, kantong tepes yang menekak leher,
bayangan ijazah dengan IPK tiga koma
yang entah laku atau tidak, ketakutan akan ketahuan ibunda, dan macam-macam lainnya.
Tapi terutama karena marah dan penasarannya.
Si
tinggi besar melaju dalam kecepatan sangat tinggi, sehingga Irsyad mau tak mau
juga harus mengebut agar bisa menjajari atau melampauinya. Pandangannya fokus, konsentrasi
penuh. Pada punggung si tinggi besar dan si mirip Silvi. Dia sadar kalau si tinggi
besar ini melawan arus kendaraan yang seharusnya. Banyak tukang ojek melakukan ini
untuk bisa mencapai terminal wisata dengan jarak yang lebih pendek, tidak perlu
memutar. Lebih cepat dan tentu lebih irit bensin. Hampir terkejar, nafas Irsyad
makin menggebu. Motor si tinggi besar telah berada di seberang jalan kini, dan Irsyad
tiba-tiba bernafsu menabraknya dari arah belakangnya.
Brak!!!
Si
tinggi besar dan si mirip Silvi terhenti.
Motor
jatuh dan terlindas. Orang-orang terdengar berteriak. Darah mengalir. Fokus. Konsentrasi.
Gelap. Suara-suara hilang.
Si
tinggi besar dan si mirip Silvi menoleh ke belakang .
Sebuah
bis besar tak sanggup mengerem dan kecelakaan itu tak terhindarkan. Irsyad terpelanting
dari motornya dan terkapar di jalanan.
“Nah.
Lagi-lagi tukang ojek yang tidak mengambil pelajaran dari musibah yang lalu. Rasain!”
sumpah serapah perempuan setengah baya yang naik becak dan terpaksa berhenti karena
jalanan macet sebab kecelakaan itu.
Fokus.
Konsentrasi. Dunya dunya. Lagu itu mengalir di kepala. Kejarlah daku, kau kutangkap,
kata malaikat maut. Dunya dunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar