improving writerpreneurship

Post Top Ad

Malam Berdarah-darah


Malam Berdarah-darah

Astaghfirullah. Astaghfirullah.
Allah Allah..
Aku tak henti hentinya  merapal lafal lafal thoyyibah. Pandanganku kabur, tampak samar suamiku yang berdiri di sebelah bed tempatku berbaring lemah.
“Sakit, nok?”, tanya kak Aris dengan suara yang bergetar.
Kupaksakan sedikit mataku untuk melihatnya lebih jelas. Astaghfirullah.
Kulihat sebagian bagian depan dan lengan bajunya terdapat percikan darah.
“Mas……….”, lemah suaraku dan bergetar bersama degup jantungku yang tak teratur serta perih terasa di sekujur tubuh dan juga wajahku. Kak Aris meraih kepalaku dan mendekatkan tubuhnya merapat kepadaku, tetapi hampir urung ketika menyadari percikan darah di bajunya akan mengenaiku. Karena aku toh sudah berdarah -darah juga, ia melanjutkan pelukannya. Dan tangis kami membuncah di malam yang terasa menggigit menyeramkan.

“Katanya sih orangtua pintar yang disebut sebut Tante Irin bisa membaca masa depan kita”, mama menyiapkan beberapa bungkus gula pasir dan teh, memasukkannya ke dalam kardus sedang.
Aku dan kak Aris saling berpandangan. Agak janggal mendengar keterangan ibu. Hmmm….apakah ini legal, apakah ini syar'I, apakah ini benar? Begitu yang bergulat dalam pikiranku. Mungkin kak Aris sepaham denganku dalam hal ini.
“Tante Irin sukses sekarang. Bisnisnya lancar dan mbah orang tua pintar ini yang memberitahukan jalan kesuksesan tantemu”, mama melanjutkan ceritanya.
“Kalian kan kayaknya belum ketemu jalur rel karir dan usahanya. Daripada ngalor ngidul, tidak ada salahnya kita tanyakan hal ini sama mbah orang tua pintar itu”, mama terus membujukku dan Kak Aris. Kami akhirnya menurut mama dan malam itu bersama beberapa saudara lain yang memiliki tujuan serupa berkendara mobil menuju rumah orangtua pintar itu di luar kota, 25km  dari kota kami.
Duar!
Segalanya gelap gulita. Erang kesakitan lirih kudengar bersahutan dengan teriakan  orang-orang.
“Astaghfirullah. Astaghfirullah. Allah. Allah. Allahu Akbar”, rintihku.
Beberapa tubuh telah berjatuhan di sekitar diriku yang juga terjerembab dengan wajahku menatap jalan raya yang kasar. Uh! Sakit dan perih. Kurasakan dan terlihat samara ada beberapa pasang tangan yang memindahkanku dari jalan ke sebuah pick up terbuka. Kak Aris yang sudah duduk di pojoknya meraih dan mendekap aku. Dingin angin tengah malam menusuk tubuh bersama aroma darah dan kengerian di depan mataku. Astaghfirullah. Seram,nyeri, perih, dingin, takut dan semua rasa tak nyaman mencengkramku dan mungkin semua yang masih terjaga di sini.
Kulihat pamanku terbujur kaku di dekatku.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun”, desis Kak Aris. Ia semakin erat memelukku yang kebingungan. Cuma kami berdua yang sadar dari delapan orang penumpang mobil itu. Dan sepertinya pamanku sudah tak bernyawa lagi. Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun.
Aku terus termangu di kamar tempat aku dipindahkan dari ruang ICU sekitar sejam yang lalu. Aku sendiri.
“Aku mau menengok yang lain dulu”, kata kak Aris berpamitan setelah menemaniku beberapa saat. Hanya dia seorang yang masih kuat berdiri dan berjalan kiranya.
“Rawat saudara lainnya yang lebih parah, kak. Aku tidak apa-apa”, kataku berusaha tegar. Ia menggenggam erat tanganku sebelum meninggalkan aku sendirian di kamar itu. Sendirian tapi tak sendiri.
Aku mulai meraba - raba bagaimana dan mengapa ini terjadi.
“Ya Rabb. Ya Allah. Ampuni kami”, lirih aku berbisik dalam hati. Kiranya Dia menyelamatkan kami dari jalan yang mungkin bisa menjerumuskan kami.
“Mungkin orangtua pintar itu memang diberi anugrah dan kelebihan oleh Allah”, jelas ustadz yang sering mengisi pengajian di masjid dekat rumah kami.
“Namun orang yang datang untuk meminta saran dari orang tua pintar itu bisa saja salah niat dan itikad. Bisa-bisa tauhidnya yang bergeser karena keyakinannya tidak kepada Allah, tetapi meyakini orang tua pintar itu.”, sambungnya.
Kami duduk melingkar di bawah pohon rindang yang ada di pojok pelataran rumah sakit. Berenam, aku,kak Aris, ustadz Irfan, dan tiga santri yang ditugaskan menunggui kami selama dirawat di sini.  Paman sudah dimakamkan kemarin tanpa kehadiran tante yang sengaja tidak diberitahu kejadian ini karena kondisi tante yang masih parah. Hanya kak Aris yang bisa hadir di pemakaman itu diantara kami bertujuh yang masih hidup.
“Saya juga berpikir demikian, ustadz”, kataku pelan sambil menahan perih di wajahku. Sebenarnya aku masih belum pulih tapi memilih untuk bergabung dengan mereka di luar karena jenuh dalam kamar.
“Semisal kemudian kami yang datang kemarin itu sukses dan berhasil dalam karir dan bisnis serta lainnya. Bisa jadi kekaguman terhadap terawangan orangtua pintar itu bisa meracuni akidah dan tauhid kami”, aku melanjutkan buah pikiran semalamanku
di malam berdarah itu, saat di kamar sendirian dan mencium aroma kematian dalam rombongan kami.
Malam berdarah darah itu memang menyeramkan secara fisik dan auranya, namun kesadaran akan hikmah di balik kecelakaan itu tak dapat kuungkap dengan kata manapun. Tuhan jatuh cinta padaku, pada kami. Jadi Dia menyelamatkan kami dari bahaya dan kecelakaan yang lebih besar dibanding kecelakaan mobil kami yang ditabrak mobil container besar dari arah belakang.
“Alhamdulillah”, ucap kak Aris.
Syukur yang berpadu bersama kesakitan dan kengerian yang kami alami.
Betapa berharganya pelajaran ini. Engkau tunjukkan kuasaMu dan pelajaran bagi kami akan ketauhidan. Kan ku genggam hidayah ini erat-erat selamanya, bisik hatiku.

2 komentar:

  1. Ini cerita nyata, Mbak? Aduh, kok syerem sekali. Merinding saya bacanya.
    Beberapa waktu lalu juga ada saudara yang ngasih tahu seorang pintar di Malang, katanya bisa kasih nasihat bagus seputar kehidupan dan karier. Saya dibujuk-bujuk agar mau berkonsultasi, agar jelas masa depannya. Hehehe. Tapi saya ogah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, ini cerita nyata.
      memang berat ujian keimanan dan ketauhidan.
      bagus kalau kamu berani menolak karena takut syirik dan semacamnya:)

      Hapus

Post Top Ad