improving writerpreneurship

Post Top Ad

Tampilkan postingan dengan label horor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label horor. Tampilkan semua postingan
April 09, 2016

Malam Berdarah-darah

by , in

Malam Berdarah-darah

Astaghfirullah. Astaghfirullah.
Allah Allah..
Aku tak henti hentinya  merapal lafal lafal thoyyibah. Pandanganku kabur, tampak samar suamiku yang berdiri di sebelah bed tempatku berbaring lemah.
“Sakit, nok?”, tanya kak Aris dengan suara yang bergetar.
Kupaksakan sedikit mataku untuk melihatnya lebih jelas. Astaghfirullah.
Kulihat sebagian bagian depan dan lengan bajunya terdapat percikan darah.
“Mas……….”, lemah suaraku dan bergetar bersama degup jantungku yang tak teratur serta perih terasa di sekujur tubuh dan juga wajahku. Kak Aris meraih kepalaku dan mendekatkan tubuhnya merapat kepadaku, tetapi hampir urung ketika menyadari percikan darah di bajunya akan mengenaiku. Karena aku toh sudah berdarah -darah juga, ia melanjutkan pelukannya. Dan tangis kami membuncah di malam yang terasa menggigit menyeramkan.

“Katanya sih orangtua pintar yang disebut sebut Tante Irin bisa membaca masa depan kita”, mama menyiapkan beberapa bungkus gula pasir dan teh, memasukkannya ke dalam kardus sedang.
Aku dan kak Aris saling berpandangan. Agak janggal mendengar keterangan ibu. Hmmm….apakah ini legal, apakah ini syar'I, apakah ini benar? Begitu yang bergulat dalam pikiranku. Mungkin kak Aris sepaham denganku dalam hal ini.
“Tante Irin sukses sekarang. Bisnisnya lancar dan mbah orang tua pintar ini yang memberitahukan jalan kesuksesan tantemu”, mama melanjutkan ceritanya.
“Kalian kan kayaknya belum ketemu jalur rel karir dan usahanya. Daripada ngalor ngidul, tidak ada salahnya kita tanyakan hal ini sama mbah orang tua pintar itu”, mama terus membujukku dan Kak Aris. Kami akhirnya menurut mama dan malam itu bersama beberapa saudara lain yang memiliki tujuan serupa berkendara mobil menuju rumah orangtua pintar itu di luar kota, 25km  dari kota kami.
Duar!
Segalanya gelap gulita. Erang kesakitan lirih kudengar bersahutan dengan teriakan  orang-orang.
“Astaghfirullah. Astaghfirullah. Allah. Allah. Allahu Akbar”, rintihku.
Beberapa tubuh telah berjatuhan di sekitar diriku yang juga terjerembab dengan wajahku menatap jalan raya yang kasar. Uh! Sakit dan perih. Kurasakan dan terlihat samara ada beberapa pasang tangan yang memindahkanku dari jalan ke sebuah pick up terbuka. Kak Aris yang sudah duduk di pojoknya meraih dan mendekap aku. Dingin angin tengah malam menusuk tubuh bersama aroma darah dan kengerian di depan mataku. Astaghfirullah. Seram,nyeri, perih, dingin, takut dan semua rasa tak nyaman mencengkramku dan mungkin semua yang masih terjaga di sini.
Kulihat pamanku terbujur kaku di dekatku.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun”, desis Kak Aris. Ia semakin erat memelukku yang kebingungan. Cuma kami berdua yang sadar dari delapan orang penumpang mobil itu. Dan sepertinya pamanku sudah tak bernyawa lagi. Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun.
Aku terus termangu di kamar tempat aku dipindahkan dari ruang ICU sekitar sejam yang lalu. Aku sendiri.
“Aku mau menengok yang lain dulu”, kata kak Aris berpamitan setelah menemaniku beberapa saat. Hanya dia seorang yang masih kuat berdiri dan berjalan kiranya.
“Rawat saudara lainnya yang lebih parah, kak. Aku tidak apa-apa”, kataku berusaha tegar. Ia menggenggam erat tanganku sebelum meninggalkan aku sendirian di kamar itu. Sendirian tapi tak sendiri.
Aku mulai meraba - raba bagaimana dan mengapa ini terjadi.
“Ya Rabb. Ya Allah. Ampuni kami”, lirih aku berbisik dalam hati. Kiranya Dia menyelamatkan kami dari jalan yang mungkin bisa menjerumuskan kami.
“Mungkin orangtua pintar itu memang diberi anugrah dan kelebihan oleh Allah”, jelas ustadz yang sering mengisi pengajian di masjid dekat rumah kami.
“Namun orang yang datang untuk meminta saran dari orang tua pintar itu bisa saja salah niat dan itikad. Bisa-bisa tauhidnya yang bergeser karena keyakinannya tidak kepada Allah, tetapi meyakini orang tua pintar itu.”, sambungnya.
Kami duduk melingkar di bawah pohon rindang yang ada di pojok pelataran rumah sakit. Berenam, aku,kak Aris, ustadz Irfan, dan tiga santri yang ditugaskan menunggui kami selama dirawat di sini.  Paman sudah dimakamkan kemarin tanpa kehadiran tante yang sengaja tidak diberitahu kejadian ini karena kondisi tante yang masih parah. Hanya kak Aris yang bisa hadir di pemakaman itu diantara kami bertujuh yang masih hidup.
“Saya juga berpikir demikian, ustadz”, kataku pelan sambil menahan perih di wajahku. Sebenarnya aku masih belum pulih tapi memilih untuk bergabung dengan mereka di luar karena jenuh dalam kamar.
“Semisal kemudian kami yang datang kemarin itu sukses dan berhasil dalam karir dan bisnis serta lainnya. Bisa jadi kekaguman terhadap terawangan orangtua pintar itu bisa meracuni akidah dan tauhid kami”, aku melanjutkan buah pikiran semalamanku
di malam berdarah itu, saat di kamar sendirian dan mencium aroma kematian dalam rombongan kami.
Malam berdarah darah itu memang menyeramkan secara fisik dan auranya, namun kesadaran akan hikmah di balik kecelakaan itu tak dapat kuungkap dengan kata manapun. Tuhan jatuh cinta padaku, pada kami. Jadi Dia menyelamatkan kami dari bahaya dan kecelakaan yang lebih besar dibanding kecelakaan mobil kami yang ditabrak mobil container besar dari arah belakang.
“Alhamdulillah”, ucap kak Aris.
Syukur yang berpadu bersama kesakitan dan kengerian yang kami alami.
Betapa berharganya pelajaran ini. Engkau tunjukkan kuasaMu dan pelajaran bagi kami akan ketauhidan. Kan ku genggam hidayah ini erat-erat selamanya, bisik hatiku.

April 09, 2016

Hawnah Pi

by , in
Hawnah PI

Keempat anak muda itu telah selesai mendirikan dua tenda mereka. Bersebelahan di bawah pohon-pohon rindang di tengah hutan. Tadinya mereka kira tak akan kemalaman dan sampai di ujung hutan sebelum senja. Tetapi perkiraan bisa meleset. Daripada memaksakan diri untuk menembus gelapnya malam dan ganasnya hutan yang tak mereka kenali, Nero mengusulkan agar mereka tinggal. Untuk sementara. Dan yang lain sepakat dengannya.
Malam merangkak cepat. Nero, Mayana, Laras dan Sarva duduk berdekatan di depan api unggun. Dari kejauhan terdengar lolongan entah anjing atau serigala yang bersahutan. Membuat bulu kuduk berdiri.
Mayana mengangkat wajahnya dan menatap langit. Laras mengikuti aksi sahabatnya. Purnama yang semestinya terang tertutupi awan, menjadikan gelap hutan makin pekat. Semakin merindingkan bulu kuduk. Tidak ada satupun dari mereka yang bergelagat hendak mengistirahatkan diri di dalam tenda.

“Kita mau gini terus sampai pagi?” Laras membuka suara.

“Kamu aja yang tidur di tenda. Aku mending duduk bareng cowok-cowok ini di sini. Ngeri tahu!” Mayana menyahut setengah berbisik. Wajahnya pias. Ketakutan.

“Duh aku nggak tahan dinginnya,” Laras beringsut dari duduknya. berdiri dan melangkah menuju tendanya.
Tapi baru dua tapak kakinya melangkah, suara Nero melengking membelah malam.

“Awas!”

Membuat semua terkejut dan spontan menoleh pada arah telunjuknya. Menyusul Nero yang mulutnya menganga, ketiga sahabatnya tak kuasa berkata-kata.

“Hawhna pi…” desis Sarva.

Di balik bayangan dedaunan deretan pohon seperti jemari yang menari, tersembul sesuatu itu. Sebuah kepala saja. Sebuah sosok yang tak berbadan. Rambut panjangnya membuat kepala itu semakin tampak mengerikan.
Laras mundur cepat. Nero dengan cepat pula menangkap punggungnya dan menundukkan tubuh sahabatnya itu demi melihat sosok kepala tak bertubuh melayang ke arah mereka.
Mayana hampir saja terkena tapi dia beruntung karena Sarva sempat mendorong tubuhnya. Hingga jatuh tersungkur mencium tanah. Sakit. Tapi itu lebih baik daripada..

“Aaarggh..” jeritan Sarva menyayat hati.
“Oh my God! Oh my God!” suara Mayana tercekat di tenggorokan.

Kepala tanpa tubuh yang melayang cepat itu berhasil menggigit leher Sarva.  Lelaki yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang kedua puluh empat beberapa hari lalu itu berteriak-teriak. Tangannya berusaha mencekal kepala tanpa tubuh itu. Melakukan perlawanan dengan sisa tenaganya. Namun dia jelas kewalahan. Usahanya tampaknya akan sia-sia. Gigi-gigi kepala itu makin amblas ke dalam urat-urat leher Sarva.
Dua pasang mata memandanginya iba. Nero sempat ragu untuk maju memberikan pertolongan. Tapi dia sempat melihat dan menyambar sebatang kayu di antara onggokan dalam api unggun.
Tangannya mengayun hendak menombak Hawnah pi keparat itu. Hantu kepala ini adalah makhluk jadi-jadian. Orang-orang Ayutthaya memiliki ilmu hitam yang menciptakannya.

“Aaaah!!!!!”

Teriakan Mayana dan Laras berbarengan ayunan tombak kayunya Nero membuat Hawnah pi itu melepaskan gigitannya. Sarva tampak sekarat. Lelaki naas itu melotot matanya seakan telah mendekati masa sekarat. Darah segarnya mengalir dari leher yang terkena gigitan. Hawnah pi melayang terbang kembali ke pepohonan setelah memuaskan dahaganya. Mayana mundur ketakutan. Ngeri melihat mulut dan gigi Hawnah pi merah oleh darah segar.
Nero melemparkan tombak kayunya kea rah Hawnah pi tapi tidak kena. Laras yang ingat mereka punya lembing sebagai peralatan mencari ikan di sungai, segera berlari mengambil lembing-lembing itu. Menyerahkannya pada Nero yang menerima satu lembing tanpa menatapnya. Perhatiannya sepenuhnya tertuju pada Hawnah Pi yang melotot galak.
Setelah tak berhasil dengan tombak kayunya, Nero mengerahkan kekuatannya lebih besar lagi kali ini. Ketakutannya kalah oleh hasrat membalaskan dendam bagi Sarva yang terkapar tak berdaya.

“Rasakan ini!” teriaknya seperti siraman bensin yang dia tumpahkan untuk membakar apinya sendiri, selagi tangannya melempar lembing pertama.

Tampak hawnah pi melotot dengan matanya yang mengerikan. Dia sama sekali bergeming. Tapi lembing itu tak mengenainya sama sekali. Nero buru-buru mengacungkan tangan pada Laras yang langsung paham, dan menyerahkan lembing kedua.

“Mati kau!” seru Nero kalap.

Hawnah pi bergerak menghindar. Dia menyeringai. Sesaat kemudian kepala tanpa tubuh itu melayang hendak menyambar Nero. Mayana berteriak ketakutan tapi sempat mendorong tubuh Nero sehingga lelaki itu bisa berkelit dan terhindar dari gigitan Hawnah pi. Dia sempat bergulingan di tanah. Hampir saja pundaknyakena. Tapi kemudian dia sadar dan memanfaatkan kesempatan dekat kepala tanpa badan itu dengan melemparkan lembing berikutnya. Saat hawnah pi melintas dekat sekali dengan kepalanya tadi ada hawa panas aneh yang menyambarnya. 

“Hati-hati, Nero!” teriakan Mayana justru membuat hawnah pi itu menyadari serangan yang dilakukan musuhnya.

Kepala tanpa tubuh itu  berhasil menghindar lagi kali ini. Bahkan dia berhasil menukik ke bawah dan sempat menggigit lengan Nero. Sebelum akhirnya kembali melayang terbang ke pepohonan.

“Aaarrgggh!!!” jeritan dan lengkingan Nero yang panjang membelah senyap hutan dan pekatnya malam.

“Sialan! Hawnah pi sialan!” Mayana dan Laras turut mengumpat dan marah pada makhluk jadi-jadian itu.

Teriakan Nero dan keributan dua gadis remaja itu akhirnya juga membangunkan Sarva yang sempat sekarat. Lelaki yang punya daya tahan tubuh luar biasa tersebut menyeret tubuhnya mendekat ke arah Nero yang masih memegangi lengannya yang tergigit.

“Awwh!” jeritnya kesakitan saat kepala Sarva justru terantuk lengan Nero ketika dia berhasil mendekat.

“Sorry. Kamu harus menghabisinya, Nero,” bisik Sarva, “ atau dia akan menghabisi kita semua sekarang.”

“Aku tahu, aku tahu!’ bentak Nero kesal.

Bukannya dia sudah mencobanya berkali-kali. Sarva saja yang tidak melihatnya karena dia sibuk pingsan atau entah berjalan-jalan ke mana ruhnya tadi.

“Kamu harus pakai mantra tertentu selain mengenai bagian kepalanya yang paling mematikan,” Sarva memberi petunjuk.

Membuat Nero sedikit kesal, tapi tak mungkin juga menyerah dan membiarkan Sarva menghadapi sendiri hawnah pi kejam itu. Dia tak mau sekejam musuh mereka.

“Berikan padaku mantranya!” Nero meminta Sarva melakukan sesuatu.

Sahabatnya sejak kecil itu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah patung kecil. Mulut Sarva komat kamit mengucap mantra. Lalu dia menggosok lembing yang masih tertinggal dengan patung itu.

“Apa? Aku tak dengar,” Nero berusaha keras mencerna kalimat-kalimat mantra itu tapi tak berhasil.

Dia hanya menangkap sepotong-sepotong. Dia kira dengan memberi isyarat pada Sarva, mantra itu akan bisa ditirukannya. Tapi suara Sarva terlalu lirih. Mungkin dia terlalu lemas. Dari belakang mereka,  Mayana dan Laras juga melantunkan doa-doa dan surat-surat pendek yang mereka bisa.

“Lemparkan sekarang, Nero! Lempar yang keras!” Sarva sudah menyerahkan lembing itu kembali pada Nero.

Semua berdebar menunggu perburuannya kali ini. Sarva makin kencang mengucapkan mantranya sehingga seolah seisi hutan turut bergetar mendengarnya.

“Oh yes!” sekuat tenaga Nero melemparkan lembingnya.

Dan lembing itu melesat kea rah hawnah pi. Tepat! Ujungnya menancap pada jidatnya. Begitu lembing menancap, mendadak terdengar ledakan dahsyat yang diiringi dengan percikan api. Semua bertiarap menyelamatkan diri dari bahaya apapun yang bisa terjadi.

“Minggir!” teriak Sarva.

Dia yang tak puas dan masih  takut kalau-kalau hawnah pi itu hidup lagi, menyambar satu lembing yang tadi sempat lusut. Dirinya mengucap mantra sekali lagi dan doa-doa sembari melemparkannya.

“Semua berlari! Cepat!” teriaknya lagi memberi aba-aba.

Semuanya tak terkecuali dirinya lari tunggang langgang meninggalkan arena api unggun dan tenda-tenda mereka. Meski sebenarnya hawnah pi itu akhirnya hancur meledak.

Kepala tanpa tubuh itu terburai. Kepingan-kepingannya jatuh ke tanah. Mengerikan.

“Cukup! Aku capek,” Mayana jatuh tersungkur.

Laras tiarap di sisinya. Sarva yang berlari menyeret badannya turut berhenti.

“Kita nggak mungkin lari lagi. Kita butuh tenda dan perlengkapan yang kita tinggal di sana,” telunjuk Mayana mengarah pada tempat mengerikan yang baru saja mereka tinggalkan.

“Kita pasti akan kembali ke sana, May. Kita akan ambil lagi barang-barang kita,” sergah Nero sembari mengatur napas.

Untuk sesaat keempat manusia itu bertiarap tak berdaya. Suara hutan telah kembali seperti sedia kala. Tapi hawa menakutkan dan mengerikan itu masih mengambang di udara.

“Aku yang akan mengambilnya sendiri,” usul Nero.

Semua kepala terkejut dan mendongak padanya.

“Sarva tak akan cukup kuat. Dia terluka parah. Aku tak akan tega membiarkan kalian melihat hawnah pi yang hancur itu,” sambung Nero.

Pijaran api yang berasal dari ledakan kepala tanpa tubuh tadi sekarang perlahan telah reda. Bahkan liukan api unggun mereka turut mengecil pancarannya.

“Hati-hati,” bisik Mayana dan pesan Laras hampir bersamaan.

“Kalian tunggu sini ya. Aku akan cepat kembali,” Nero berlari dengan kaki-kaki panjangnya menerjang rerumputan dan tetumbuhan perdu.

Ketiga sahabatnya seolah menahan napas dengan tak sabar menunggu. Sarva terperanjat saat melihat sesuatu terjatuh dari saku Nero ketika sahabatnya itu berlari. Patung kecil itu.

“Aaargggh!!!!” jeritan Nero membahana.

Hanya sekejap. Lalu sunyi.
“Apa yang terjadi?” Sarva, Mayana dan Laras saling berpandangan.

Dari arah jeritan Nero, serombongan hawnah pi yang lain melayang berkejaran menuju ke arah mereka.

April 09, 2016

Ritual Mengundang Uang

by , in
Ritual Mengundang Uang

Kasak kusuk di sudut warung Mbah Karmi melibatkan empat pemuda tanggung menyita perhatian Ifan. Dua orang di antaranya ia sudah kenal beberapa bulan ini. Maklum sebagai pengangguran tak kentara, Ifan mulai menyukai warung mbah Karmi sebagai tempat kongkow sekaligus pelarian karena ada banyak pemuda dan juga pria sejenis dengannya. Suka bermimpi muluk-muluk tetapi kurang suka bekerja keras.
Malu? Ah kenapa malu? Kan sekarang bahkan menjadi tren bagaimana sedikit bekerja tapi banyak menghasilkan. Buku-buku tentan ini konon juga bertebaran di mana-mana, di toko buku tentu saja. Mengajarkan agar seseorang menjadi pemalas saja tetapi berpenghasilan. Tentu saja Ifan tidak membaca bukunya keseluruhan. Hanya baca judulnya tapi kan sudah cukup bisa ia membayangkan isinya. Malas kok diajarin sih. Sudah pinter banget. Malas mah gampang. Tapi bagaimana menghasikan..hmmm…empat pemuda ini sepertinya punya jawabnya. Lihat saja, matanya melebar dan mulutnya menganga semua. Seperti menemukan sesuatu yang hebih yang berkaitan dengan keuangan dan kemakmuran. Entah, mungkin Ifan sendiri yang terlalu pede menebak-nebak.

Eh, Ifan. Kenapa malu-malu gitu. Sini gabung saja”
Pranoto, cowok berambut gimbal yang mengaku sarjana peternakan itu menggerakkan tangannya, memanggil Ifan untuk mendekat. Ragu-ragu lelaki dua puluh dua tahun itu menyalami keempat lelaki lainnya yang sekarang berada di dekatnya.
Apa yang sedang dibahas? Pikirnya.
Mencurigakan.
Grandong 
Ifan terkejut setengah mati. Seram sekali nama itu. Seseorang yang duduk di tengahlah yang mengeluarkan suara berat dan dalam itu sambilmengulurkan tangan duluan. Wajahnya garang. Senyumnya nanggung. Ada luka di alis kanannya yang tebal. Ifan menerima uluran tangannya dengan sedikit senyum, kuatir berlebihan. Sambil menyebutkan namanya sendiri.
Nama aslinya Udin. Tapi semua orang memanggilnya dengan nama Grandong jelas Pranoto. Ibisa menangkap keterkejutan dan sedikit ketakutan di wajah Ifan.
Oh, hehe komentar Ifan pendek sambil menghela nafas.
Isegera mengalihkan pandangannya. Jatmiko yang duduk di sebelah kanan Udin atau Grandong sudah berkenalan dengan Ifan tiga bulan lalu. Meski tak akrab tetapi mereka berdua biasa saling bertegur sapa dan kadang mengobrol tentang musik atau burung. Bukan burung yang itu lho? Tapi yang benar-benar bisa berkicau.
Satunya lagi berkaca mata, kurus dan sayu menyambut uluran tangannya dengan gontai. Semoga bukan anak junkiesinsting Ifan menyelidik sambil harap - harap cemas.
Edi katanya singkat.
Ifan pun memperkenalkan diri sambil mengambil tempat duduk di dekat mereka. Memesan kopi dan mengambil cemilan.
Kamu mau ikutan nggak?” Tanya Jatmiko tiba-tiba membuat Ifan bengong karena memang tadi sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
Ikut apaan?
Sudah pernah dengar ini belum, Fan?”
Pranoto dengan suara lirih setengah berbisik memaksa Ifan mempertajam pendengarannya. Jatmiko, Grandong dan Edi saling mengerling,membertanda satu sama lain, seperti meragukan sesuatu. Serahasia apakah yang akan kudengar, pikir Ifan.
Grandong baru saja dapat ilmu bagaimana mendapat uang dengan mudah. Biar Grandong yang menjelaskan. Silakan. Ifan bisa kita ajak. Kan kita butuh minimal lima orang
Ifan langsung duduk tegak. Informasi seperti ini yang selalu dicarinya.
Aku dapat informasi dari sumber terpercaya
Grandong membuka narasinya.
Ada jin atau makhluk halus yang suka memungut uang yang jatuh di jalan. Imenyimpannya. Dengan ritual tertentu, kita bisa meminta jin itu memberikan penemuan mereka kepada kita kata Grandong dengan nada serius.
Bulu kuduk Ifan perlahan meremang. Makhluk halus? Haduh!
Tapi apa itu bukan mencuri namanya? Kriminil? Mengambil yang bukan hak kita
Ifan menutupi ketakutannya dengan alibi lain.

Enggak dong. Kan jin itu menyerahkan sukarela kepada kita setelah kita melakukan ritual. Dan lagi dia mengambil sesuatu yang sudah jatuh di jalan. Bukan mencuri di lemari seperti tuyul sergah Grandong membela diri juga membeli jin yang entah siapa namanya dan bagaimana wajahnya.

Tapi ini jin lho, hati Ifan kecut sebenarnya, bagaimana kalau ia pingsan atau bahkan mati terkejut melihat jin itu nanti.
Bagaimana? Mau ikut nggak?  tanya Pranoto.
Ifan termangu-mangu. Belum menjawab.
Ini sudah Rabu sore. Kamis malam kita mau kumpul di rumah GrandongKalau kamu tidak mau ikut, kami terpaksa cari orang lain. Waktunya sudah mepet
Pranoto seperti memojokkan Ifan, memaksanya untuk segera mengambil keputusan.
Didorong oleh keingintahuannya yang tinggi, Ifan akhirnya mengangguk meski masih ragu-ragu. Seperti apa ritualnya? Apa benar menghasilkan uang?
Kita berlima akan memulai ritual ini jam dua belas malam. Duduk melingkar, telanjang, mengitari nampan berisi sesajen yang nanti kusiapkan Grandong melanjutkan petunjuknya.
Tanpa busana gitu? Hiiii….
Ifan bergidik. Keempat pemuda lainnya tertawa-tawa.
Telanjang dada, maksudku. Boleh pakai celana. Tapi kalau kamu mau udo blujut, bugil, juga nggak apa-apa
Goda Grandong membuat semua terbahak-bahak.
Sesajen? Kening Ifan berkerut-kerut.
Mata kita harus terpejam selama ritual itu. Setelah aku baca mantra-mantra yang sudah seminggu ini aku hafalkan, makhluk halus itu akan datang dan meletakkan uang hasil temuannya ke atas nampan di tengah area yang kita lingkari.
Mantra? Ini syirik pikir Ifan.
Isempat berpikir untuk mundur tapi jiwa petualangannya memanggil.
Ah, aku akan ikut dan membuktikan bahwa mereka salahDan aku bukannya ikut ritual syirik, aku hanya ingin ikut sedikit mencicipi pengalaman baruPikirnya mencoba mencari pembenaran atas keputusan yang diambilnya senja itu.

**

Bunyi ponsel yang melengking membangunkan lamunan Ifan di siang bolong itu. Badannya yang sedikit tambun bergerak mengambil ponsel bututnya di atas meja dalam kamarnya yang berantakan.

Jangan lupa nanti malam, Fan”
Pranoto yang menelponnya. Kamis yang akan menjadi sejarah dan legenda dalam jejak petualanganku, Ifan bersorak dalam hati.
Siap. Beres.”
Jawabnya mantap. Imerasa beruntung menjadi bagian dari sekelompok orang gila yang mau mencoba apa saja untuk mendapatkan uang.Mengalahkan ketakutan dan menembus batas.

Sudah, gih sana tidur. Ntar malam biar nggak ngantuk
Pranoto menyarankan sesuatu yang masuk akal. Benar, jangan sampai dia tertidur di tengah ritual nanti.
Oke!”
Mantap sekali dia menjawab.
Aku jemput kamu jam delapan bakda Isya
Pranoto mengingatkan sekali lagi sebelum mengakhiri percakapan mereka.
Ifan bersegera mengambil posisi berbaring di tempat tidur usai menutup telponnya.
Namun meski ia memaksakan diri, siang itu ia tak berhasil tidur. Ngeri membayangkan seperti apa makhluk halus yang akan datang itu.Bagaimana kalau ia lapar dan tidak makan sesajen tetapi malah mengambil korban salah satu dari mereka. Bagaimana kalau korbannya adalah Ifan. Cenatcenut sendiri ia memikirkan beberapa kemungkinan terburuk.

**

Rumah Grandong kecil saja. Sempit bahkan. Hanya ada satu ruang tamu sekaligus ruang makan tanpa meja kursi perabot. Satkamar tidur dan satu kamar mandi. Semuanya berdekatan posisinya. Tipe 21? Ya begitulah kira-kira. Dia tinggal sendiri sepertinya.
Berbagai aksesoris aneh memenuhi dinding-dinding rumah itu. Kebanyakan berwarna hitam, abu-abu dan merah darah yang menyeramkan. Adabeberapa tulisan seperti tulisan arab tapi Ifan ragu tak bisa membacanya dengan jelas. Mungkin itu yang disebut rajah. Sebuah tasbih besar dominanmenggantung di tengah dinding ruangan berseberangan dengan pintu masuk. Kelewang dan samurai tiruan pastinya bertengger di dinding lainnya.Gambar-gambar seram hampir mendominasi seluruh ruangan. Namun ada juga selembar kaligrafi terpajang di dinding. Gambar Kabah meski kecil. Adasetumpukan kitab di meja kecil di pojok ruangan.
Siapakah Grandong sesungguhnya? Pikir Ifan. Dukun? Pemuja setan? Tapi Pranoto tadi bilang Grandong ini dianggap agak kyai oleh teman-temannya. Kyai apa?
Ifan menyesal tak sempat mengenal lebih lama teman barunya ini terlebih dahulu sebelum dia memutuskan bergabung dengannya. Bagaimanakalau ada yang terbunuh malam ini? Bagaimana kalau sebenarnya Grandong membutuhkan dan ingin mengambil tumbal salah satu dari mereka?
Sudah makan semuanya kan? 
Tanya Grandong memecahkan hening yang tercipta di antara perasaan suram mencekam.
Sudah jawab Pranoto, Jatmiko dan Edi hampir bersamaan.
Ifan hanya mengangguk kecil. Apa Grandong sudah makan? Itak mau dimakan Grandong malam ini? Penampilannya menyeramkan. Baru malam ini Ifan memperhatikan bahwa ada gigi -gigi Grandong yang tampak lebih tajam dari gigi pada umumnya yang pernah ia lihat. Bibirnya terlalu merah untuk lelaki. Apakah ia minum darah? Apakah ia keturunan vampire?
Hiiii…..

**
Mereka berbasa - basi sebentar sambil mendengarkan kembali penjelasan Grandong. Tidak ada yang berani bergurau mala mini ternyata.Semuanya tampak tegang. Setidaknya begitulah perasaan Ifan.

Pukul dua belas malam kurang tujuh menit, semua bersiap di dekat nampan berisi sesaji di area lingkaran yang telah ditandai dengan kapur. Ifan bengong ketika keempat kawan lainnya dengan tenang membuka baju, bahkan celananya.
Celananya dilepas, Fan. Kan harus pakai celana dalam saja kata Pranoto.
 Duh. Beneran nih pake celana dalam doang?”
Ifan merasa keberatan sebenarnya. Ini tengah malam di rumah orangApakah Grandong ingin memastikan bahwa tak ada seorang pun di antara mereka yang membawa senjata? Ataukah dia semacam orang yang sakit jiwa dan hendak memperkosa?
Wah, Ifan semakin was was.
Fan?
Tegur Grandong dengan suara agak keras.   Beneran ya?
Gagap-gagap Ifan bertanya kembali. Ingimemastikan dan berharap ada sedikit keringanan untuknya.
Iya, beneran dong. Gimana sih. Bukannya sudah dibilangin kalau pake celana doang”
Jawab Pranoto yakin karena Grandong hanya diam melotot.
Ya iya sih. Tapi kupikir pakai celana tuh ya pakai celana ini. Bukan celana dalam”
Ifan tak ingat sama sekali tentang aturan yang ini. Tampaknya ia melewatkan keterangan Grandong atau Grandong lupa menerangkan ini padanya.
Yo wis lah. Sekarang sudah tahu kan. Cepetan lepas gih ujar Grandong sambil melirik jam dinding. Dia mulai tak sabar. Hampir jam dua belas malam.
Ifan tak punya pilihanDia terjebak dalam situasi ini. Tak bisa menghindar lagi.

**

Aduh. Dingin banget nih. Ini pasti gara-gara lubang atas dan bawah pintu yang terlalu lebar. Angin malam menerobos masuk dan Ifan yang duduk membelakangi pintu menjadi korban utamanya. Tapi untung juga dingin, jadi ia urung ngantuk. Karena menahan dingin, ia jadi tetap terjaga meski prosesi aneh ini mengharuskannya untuk merem, menutup mata.
Grandong yang memimpin upacara mulai mengeluarkan kemenyan, menyalakan dupa. Bau mistis segera menyebar ke seluruh ruangan. Bulu kuduk serasa berdiri atau memang benar-benar  berdiri. Mantra yang dibaca Grandong dengan irama naik turun juga bunyi-bunyian yang seram membawa seluruh penghuni ruangan dicengkram ketakutan dan kengerian. Sepertinya yang dikatakan Grandong bahwa ada makhluk halus yang turut hadir dalam upacara mereka ini akan segera datang.
Jantung semakin berdebar kencang ketika Grandong mulai melemahkan suaranya dan perlahan -lahan semakin rendah nada dan intonasinya. Lalu senyap. Sepi. Semua menunggu. Menunggu dalam diam. Dupa merasuk wangi anehnya ke dalam hidung. Asap mengabut di sekitar mereka. Bahkan menampar ringan wajah-wajah para pemuja duniawi tetapi mengaku spiritual ini.
Ada bau busuk tiba-tiba menerobos di antara wangi aneh kemenyan. Kengerian semakin terasa, horror. Mungkinkah ini artinya jin yang diharapkan datang itu sudah mulai memasuki arena?
Apakah upacara mereka ini akhirnya berhasil. Perasaan takut, ngeri dan juga harap-harap cemas menyelimuti mereka. Bau busuk itu semakinmerasuk.

Ifan curiga sedikit dengan bau busuk yang mencurigakan ini. Sepertinya bau ini sangat dikenalinya. Apa mungkin? Ah, masa sih? Oh. Sekarang ia mulai yakin. Ini….aduh!
Oh, pantesan. Tiba-tiba dirinya menyadari sesuatu. Makanya ia heran kenapa tadi setelah perutnya serasa kembung dan uh mules sekali, bahkan iakebat kebit menahan sakit perutnya, tiba-tiba ia merasa legaRupanya yang membuat perutnya mulas sudah keluar dengan bebasnya dan memenuhi ruangan ini.
Ada perasaan bersalah, tetapi melihat keempat kawannya kelihatannya begitu khusyu', ia tak ingin menggangguIa biarkan teman-temannya tetap menutup mata dalam posisi duduk melingkar. Diam-diam ia beringsut meninggalkan area lingkaran tersebut dan bergegas menuju kamar kecil. Ia sudah tak kuat lagi.
Selepas dari kamar mandi, ternyata teman-temannya masih bergeming. Karena perasaan bersalahnya, ia menaruh empat lembar lima ribuan ke atas nampan kayu di tengah - tengah lingkaran mereka berlima. Mengambil posisi duduk bersila kembali, Ifan melanjutkan tapanya.
Ufh, leganya. Ia berfikir sekarang aku tak berutang dengan siapapun karena telah mengeluarkan bau busuk dan membuat mereka tersiksa. Sudah kubayar.

**

Wah! Beneran! Aku tidak bohong, ris. Kami benar-benar berhasil. Setelah kami membuka mata, kami melihat ada uang dua puluh ribu di nampan bundar itu. Gila! Aku nggak nyangka, ternyata Grandong benar”
Berapi-api Ihsan menceritakan pengalaman tadi malamnya  kepada Aris. Mereka berdua tampak mojok di sudut warung. Kening Aris berkerut -kerut menyiratkan rasa antara percaya dan tidak kepada sahabatnya. Ia mungkin sedikit menyesal karena tidak mau diajak ke pertemuan semalam.
Sementara itu di balik pintu warung, Ifan tersenyum-senyum bahkan nyaris tertawa kecil.


Post Top Ad