DI TERAS RUMAH YANG SALAH
Erwin sebenarnya bukan seorang yang bodoh. Dia
termasuk juara di kampusnya. Tapi entahlah, sejak dia kerja bareng aku di
perusahaan baru kami, aku melihat ada banyak hal yang berubah di dirinya. Seperti tadi siang waktu aku janjian makansiang di mall dengannya sambil membahas desain baru untuk perumahan yang sedang
kami kerjakan bersama.
Biasanya aku menemuinya
di proyek. Tapi karena jadualku padat siang ini jadi kuputuskan untuk bertemu
dengannya sekalian makan siang. Mungkin ini pertama kalinya ia ke mall ini atau
tempat makan yang aku sebutkan masih asing baginya, dari suaranya ia
terdengar bingung sekali di telpon.
“Erwin, aku di lantai
empat ya. Kamu dari bawah langsung naik escalator. Sampai lantai empat langsung
balik kanan ya.. terus lurus sampai pojok. Nhah aku ada di depot bakso situ. Okey?”, aku memberinya instruksi
sekali lagi.
“Iya iya….”, uh dari
sepuluh menit yang lalu ia bilang iya iya, tapi gak nyampe – nyampe juga. Aku
mulai mengkhawatirkan kecerdasannya.
Tapi aku masih
memberinya kepercayaan dan keleluasaan.
Aku berusaha duduk
tenang. Tapi sebelas menit kemudian dia
masih tak tampak, aku mulai resah.
“Erwin. Kamu dimana?”,
tanyaku gelisah.
“Aku sudah di lantai
empat. Sudah ke kanan, terus lurus sampai pojok, tapi gak ketemu depot bakso”,
jawabnya linglung.
“Wah, kamu salah arah
pasti”, ujarku.
“Salah gimana ya? Katanya kanan, lurus terus sampai pojok.”,
jawabnya dengan nada tak berdosa.
“Jangan kanan langsung
lurus, Erwiiin…..dari escalator itu kami balik kanan. Jadi ke arah kanan tapi
turn back. Putar haluan. Mbalik kanan, gitu lho”, aku mencak –mencak di telpon
gak sabar.
“Halaaaah..mbok ya
bilang, mbak..”, katanya malah menyalahkan aku.
Ufh. Aku Cuma menghela
nafas. Jengkel.
“Ya sudah, cepetan. Aku
tunggu di sini ya? Gak perlu dijemput to?”, tanyaku berusaha tetap kalem.
“Iyaaaaaaaa..”,
jawabnya panjang.
Sembilan menit kemudian
dia baru nongol.
“Lama nian.”, keluhku.
“Sorry, neng. Aku agak linglung
nih tadi. Kanan kiri. Kanan kiri. Bingung juga ya”, sambil cengengesan Erwin
meminta maaf.
**
Entahlah, ada kalut apa
di otaknya. Beberapa waktu yang lalu dia juga dis-orientasi. Suatu sore ia
butuh mengantar beberapa berkas ke aku. Di telpon aku jelaskan kalau aku sedang
di proyek rumah tinggal di kompleks perumahan di kota bawah. Kutunggu sampai
lebih dari setengah jam, dia tidak menampakkan batang hidungnya.
“Erwin, kamu di mana
sih? Ini aku tunggu lama sekali.”, aku menelponnya sambil berusaha menahan
marah.
“Mbak Fifi, aku sudah
di depan rumah lho. Di teras. Sudah nunggu lama sejak tadi, katanya mbak Fifi
mau turun ke teras, jadi aku tidak naik ke atas”, jawabnya dari seberang
telpon.
“Teras mana? Aku juga
menunggumu di teras!”, aku lama-lama puyeng punya karyawan satu ini.
“Lho, mbak Fifi juga di
teras? Kok nggak kelihatan ya?”, Tanya Erwin balik.
“Aku di rumahnya Pak
Gunawan lho. Tadi kan aku suruh kamu ke sini! Kamu pasti ada di rumah yang lain
deh!”, seruku agak dengan nada tinggi.
“Halaaaah..bukan rumah
pak Darmawan ya,mbak. Hadouh…aku ada di sini, mbak”.
Si Erwin ternyata malah
ada di proyek kami yang ada di kota atas. Walhasil akan memakan waktu kurang
lebih setengah jam lagi untuk dia bisa menemuiku mengantar berkas yang aku
butuhkan. Sementara klien-ku sudah tak punya waktu lebih banyak lagi untuk
menunggu. Jadi aku membuat appointment baru untuk bertemu dengannya besok pagi.
“Ya sudah, win. Aku
pulang ya. Taruh aja berkasnya di kantor”, aku menutup telpon dengan lesu.
“ Ya,mbak. Maaf ya,
mbak”, suaranya yang lugu dan polos menghiba.
Oalah, Erwin. Belajar mendengar dengan
baik juga merupakan salah satu kecerdasan penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar