Di samping
rumahku ada sepetak halaman yang menjadi tempat favoritku di masa kecil. Karena
aku bisa memanjat pohon mangga dan bertengger lama-lama di sana. Di atasnya aku
menggambar apa saja yang aku lihat. Orang–orang yang berjalan di alun-alun
depan rumahku, atau para bocah dan pemuda yang bermain bola disana. Dari atas
pohon mangga ini pula,aku kadang mengintip film yang diputar di layer tancap
yang hanya diputar untuk satu musim dalam setahun sekali, di grebeg besar. Dan
kebetulan lokasinya di taman parkir di sebelah rumahku.
Di
samping pohon mangga dan tanaman bunga, di sini juga ada sebuah pohon kelapa
hibrida. Pohonnya tidak terlalu tinggi seperti umumnya pohon kelapa, sehingga
aku bisa dengan mudah menarik dan mengambil daun kelapa maupun batang kelapanya
yang sudah tua atau biasa disebut blarak
. Yang selalu aku ingat dan tak terlupakan olehku adalah bermain di atas
selembar bagian batang kelapa atau yang
disebut dengan blarak. Ukurannya yang besar, panjang dan lebar, menjadikan aku dan adikku laki-laki dapat menaikinya
seolah–olah kami menaiki perahu. Ada –
ada saja peran yang kami mainkan di atas ‘perahu’ tersebut. Kadang kami
berperan seolah menjadi nelayan dan memancing ikan-ikan yang kami buat dari
dedaunan. Kadang kala aku menggunakan blarak sendiri, dan adikku menggunakan
blarak yang lain. kadangkala kami menumpang dalam satu blarak besar. Sedangkan
daun kelapanya kami gunakan sebagai dayung.
Bagai bajak laut dan putri yang diculik pernah pula kami lakoni. Senang
sekali bermain pura-pura, bermain peran. Kadangkala kami seperti pencari mutiara dengan mengumpulkan biji-biji
buah kelapa yang berwarna kuning putih
cerah.
‘Hei…kita dapat banyak mutiara. Lihat!.”
teriakku.
“Ayo …kita kumpulkan!” adikl
laki-lakiku satu-satunya menyahut.
Kami mengumpulkan semua mutiara itu
dalam wadah batok kelapa dan menghitungnya bersama-sama.
“Satu..dua..tiga..empat…”
Secara tidak sadar ternyata kami
bermain tapi sambil belajar matematika. Kami mengelompokkannya sepuluh–
sepuluh. Lalu menyimpannya dalam perahu
kami yang terbuat dari daun kelapa itu. Seru sekali karena kami yang masih
kecil, aku masih duduk di TK besar
dan adikku di TK kecil, kemudian berkhayal dan bermimpi keliling dunia.
“Aku akan ke Australia,” ujarku
“Aku akan ke Amerika,” adikku tak
mau kalah.
“Ke Afrika!”
“Ke Singapura!”
“Kita akan keliling dunia!”
Bahkan mimpi- mimpi kami itu sampai
sekarang menjadi seloroh di antara kami. Karena jangankan keliling dunia Negara
luar yang kami kunjungi baru SaudiArabia waktu kami naik haji bersama beberapatahun
lalu. Subhanallah Walhamdulillah, itu saja merupakan anugerah dan karunia yang
sangat kami syukuri. Namun bagaimanapun, cita-cita sekolah ataupun melakukan
perjalanan keluar negeri sampai dengan keliling dunia masih merupakan impian
kami.
Masih
dengan blarak yang itu, aku kadang berpose seperti seorang Cleopatra yang
sedang menaiki perahu kerajaan menyusuri sungai Nil.
Kami menciptakan alur cerita drama
kami sendiri dengan gaya
bahasa kami sendiri.
Kadangkala
pamanku yang rumahnya dekat dengan rumah kami datang dan membuatkan kami mainan
senapan dari tangkai pohon pisang yang
ada di halaman belakang rumah kami. Daun pisangnya di hilangkan sehingga
tinggal tangkainya kemudian dipisau diagonal diagonal sepanjang sisinya dengan
jarak tertentu. Pada waktu dikibaskan berbunyilah tangkai itu mirip dengan
suara senapan. Plethak plethak ! Ramai sekali dan kami menikmati selama
pembuatannya dan juga permainan perang-perangan memakai senapan buatan itu. Lagi- lagi blarak perahu kami gunakan
juga sebagai kendaraan kami dalam berperang ini. Adikku menggunakan batok
kelapa sebagai penutup kepalanya
layaknya seorang pejuang kemerdekaan di tahun empat lima .
“Dar!
Duar!”
Pamanku mengarahkan senapannya kepada kami berdua
yang beraksi di atas perahu blarak kebanggaan kami.
“Duar! Dar!” Plethak ! Plethak!
Aku dan adikku bekerjasama membalas
serangan paman.
“Awas…..perahunya
bocor kena tembakan senapan!” pamanku meneriaki. Dia seolah-olah jadi tentara
Belanda yang menyerang kami.
Aku dan adikku action, perahu
blarak yang kami tumpangi kami gerak-gerakkan sendiri seolah oleng karena
bocor.
“Awas…perahunya hampir tenggelam.
Sebaiknya kita meloncat!” aku memberi aba-aba.
Adikku dan aku pura –pura meloncat
ke air, yang kami buat dengan menggunakan sabut kelapa yang kami serakkan ke
mana–mana di sekitar perahu blarak kami.
Sampai sekarang kami masih suka
tertawa dan tersenyum geli jika mengingat ;permainan yang menyenangkan ini.
Betapa imajinasi kami berkembang liar
hanya dengan benda – benda yang terbatas dan apa adanya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar