improving writerpreneurship

Post Top Ad

Rencana Penulisan Buku Arsitektur

Rencana Penulisan Buku Arsitektur


Gambar
Insya Allah ada 16 kontributor ahli yang terdiri para dosen, doktor, profesor yang akan menulis bersama bunga rampai arsitektur ini.

Berikut salah satu tulisannya.

Lawang Yang Hilang
Oleh Dian Nafi

Ada yang hilang siang itu saat kami datang.
Ia iconic. Menjadi menarik karena warna merahnya yang dominan, bentuk kepala naga melintang dengan gigi-gigi menakutkan bagi anak-anak yang memperhatikannya, setidaknya aku waktu kecil dulu. Cerukan, tonjolan, lengkungan yang terbentuk oleh ukiran, paduan sulur-sulur stilisasi tumbuhan ala jawa dan nusantara yang kaya, bokor jambangan ala gujarat india dan hindu budha, mahkota ala majapahit, kepala naga ala china.
Bersama-sama dengan ciri khas atap tajug tumpang tiga sebagai adaptasi meru hindu, piring campa, gentong khong cina, tiang majapahit, lawang bledheg menjadi simbol inkulturasi. Suatu upaya strategi walisongo dan Raden Fatah dalam memadupadankan berbagai unsur di sekitarnya, menyatukan berbagai perbedaan. Wujud adaptasi dan toleransi. Spiritnya mungkin bisa ditiru arsitek mana saja untuk tujuan serupa. Entah itu apa bentuk dan interpretasinya.
Saat aku akhirnya bisa melihat lagi versi asli lawang bledhegnya di museum Masjid Agung Demak, tiba-tiba justru melintas dalam kepalaku Quran surat Ali imran ayat 133-136 yang menerangkan sifat orang-orang yang bertakwa. Bagi mereka yang segera bertobat, menyesali dosa, balasannya adalah terampuni dan masuk surga. PINTU itu, pintu bledheg itu, pintu menuju sorga.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٣٤) وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٣٥)أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
Terjemah Surat Ali Imran Ayat 133-136:
133. Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,
134. (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit[1], dan orang-orang yang menahan amarahnya[2] dan mema'afkan (kesalahan) orang lain[3]. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan[4].
135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri[5], segera mengingat Allah[6], lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya[7], dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.
136. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.
Mahkota itu gambaran dari orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit. Kepala naga atau apapun makhluk bergigi runcing itu adalah gambaran dari orang-orang yang menahan amarahnya. Jambangan adalah gambaran dari mema'afkan (kesalahan) orang lain. Dan sulur-sulur dedaunan itu gambaran dari orang-orang yang berbuat kebaikan, orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya.
Adakah interpretasi ini mengada-ada? Mungkin iya. Tapi itulah yang terlintas dalam benakku saat raga dan rasaku bersinggungan dengan raga dan rasa pintu bledheg itu. Wallahu a’lam bishshowab.
Ornamen dan detail, bagaimanapun, adalah salah satu komponen pembentuk arsitektur yang signifikan. Seperti halnya dalam cerita. Kita mendapatkan kedalaman, nuansa, tone, warna, aura, ambience, kesan tertentu. Pintu bledheg ini dengan segala ornamen dan detailnya adalah bagian dari Masterpiece.
Kenapa bukan kaligrafi? Bukankah ini masjid? Inilah kekuatan kurator dan kreatornya. Sunan Kalijogo diamini Wali Songo dan Raden Fatah, orang-orang di balik masterpiece ini tentu saja geng kuratornya. Kreatornya, Ki Ageng Selo. Tapi ini versi rekaanku tentu saja. Sedangkan versi lainnya ada banyak sekali.
Cerita rakyat Lawang Bledeg mengisahkan pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Ageng Selo kepada Sultan Trenggana, sebab sebagai keturunan asli Prabu Brawijaya walaupun tidak diakui, Ki Ageng Selo merasa berhak atas tahta Demak. Sunan Kalijaga tidak menggunakan kekerasan untuk melawan Ki Ageng Selo, melainkan menggunakan jalur diplomasi. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa esok yang akan menjadi raja Demak bukanlah Ki Ageng, melainkan keturunannya maupun orang yang sangat dekat dengannya, jika Sunan Kalijaga berbohong, maka keturunannya akan hidup sengsara. Ki Ageng Selo pun takluk dan diampuni oleh Sultan Trenggana. Lalu Ki Ageng Selo membuat pintu bledheg dengan cara menangkap petir kemudian dibuatnya sebuah pintu dan dipersembahkan sebagai permintaan maaf.
Versi lainnya, dalam tradisi lisan di beberapa daerah di Jawa Tengah, Ki Ageng Selo merupakan tokoh yang terkenal bisa menangkap petir. Diceritakan, suatu hari Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawah. Langit mendung lalu turun hujan dan tiba-tiba petir menyambarnya. Namun, dengan kesaktiannya, dia berhasil menangkap petir itu. Petir tersebut berwujud naga. Ki Ageng Selo mengikatnya ke sebuah pohon Gandrik.
Ketika dibawa kepada Sultan Demak, naga tersebut berubah menjadi seorang kakek. Kakek itu kemudian dikerangkeng oleh Sultan dan menjadi tontonan di alun-alun. Kemudian datanglah seorang nenek mendekat, lalu menyiram air dari sebuah kendhi ke arah kakek tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara petir menggelegar dan kakek nenek tersebut menghilang.
Dari kisah tersebut berkembang mitos kalimat, “Gandrik, aku iki putune Ki Ageng Selo” yang artinya, “Gandrik, saya ini cucunya Ki Ageng Selo.” Kalimat itu, bagi sebagian penduduk daerah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu misalnya, dipercaya dapat menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan datang. Sigit Prawoto, dosen Antropologi Sosial dan Etnologi Universitas Brawijaya, dalam bukunya Hegemoni Wacana Politik menyebut, “pernyataan klaim kekeluargaan ini mengandung keyakinan kultural bahwa seseorang yang berasal dari keturunan orang yang memiliki kualitas (kasekten) tertentu akan mewarisi kualitas tersebut.”
Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu petir di Masjid Agung Demak. Ukiran pada daun pintu itu memperlihatkan motif tumbuh-tumbuhan, suluran (lung), jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara, dan dua kepala naga yang menyemburkan api.
Menurut Soetardi dalam Pepali Ki Ageng Selo, Ki Ageng Selo merupakan keturunan Brawijaya, raja terakhir Majapahit, dari istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan atau Pulau Banda Neira.
Dalam kitab Babad Tanah Jawi disebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo.
Hidup di masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16,  Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak. Sebab dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepala saat melihat darah yang menyembur dari kepala banteng setelah pukulannya kena mata sang musuh. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat.
Penolakan itu membuat Ki Ageng Selo berkeinginan mendirikan kerajaan sendiri. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannyalah yang akan mencapainya.
Ki Ageng Selo kemudian pergi ke sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Purwodadi. Dia hidup sebagai petani dan memperdalam ilmu agama, filsafat serta ilmu untuk memperluas pengaruh kepada rakyat.
Riwayat Ki Ageng Selo juga menyebut kalau beliau mempunyai putra bernama Ki Ageng Enis, yang selanjutnya mempunyai putra bernama Ki Ageng Pamanahan. Cucu Ki Ageng Selo ini menikah dengan putri sulung Kiai Ageng Wanasaba, dan dianugerahi putera bernama Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sultan Sutawijaya. Keinginan Ki Ageng Selo  mendirikan kerajaan sendiri terwujud oleh cicitnya ini. Sutawijaya merupakan pendiri Kerajaan Mataram kedua atau Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada 1587-1601 M.
Sebelumnya, Ki Ageng Enis juga sempat berguru pada Sunan Kalijaga—satu angkatan dengan muridnya yang termasyhur yakni Jaka Tingkir. Ki Ageng Enis lalu diminta bertempat tinggal di Dusun Lawiyan guna mengajarkan agama Islam. Maka dari itu, putra terakhir Ki Ageng Selo ini akhirnya lebih dikenal sebagai Ki Ageng Lawiyan.
Itulah salah satu cerita yang membuktikan betapa berpengaruhnya keturunan Ki Ageng Selo dalam persebaran Islam di Pulau Jawa. Garis keturunan Ki Ageng Selo diakui sebagai cikal bakal yang menurunkan raja atau pimpinan. Bukan hanya raja di Kesultanan Demak, Pajang, Mataram, Yogyakarta, atau Surakarta, namun konon katanya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga jadi salah seorang keturunan Ki Ageng Selo. Banyaknya keturunan Ki Ageng Selo yang menjadi orang besar, membuktikan bahwa tirakat yang beliau lakukan demi anak dan cucunya menjelma berkah bagi semesta alam.
Ki Ageng Selo menanamkan pengaruh kepada masyarakat lewat syair yang ditulis sebagai Pepali. Pepali ini kemudian diwariskan kepada keturunannya sebagai kitab yang berisikan didikan kesusilaan, kebatinan dan keagamaan.
Aja sira ngagungkeun akal. Wong akal ilang baguse. (Jangan kamu menyombongkan akalmu. Orang berakal hilang bagusnya.) Itu adalah salah satu ajarannya.
Semasa hidup, beliau dikenal memiliki kemampuan menabuh
alat musik ganjur yang bisa menarik penduduk—dan di saat momen itulah Ki Ageng
Selo melakukan dakwah Islamnya. Selain itu, Ki Ageng Selo juga mendirikan
madrasah untuk mendidik masyarakat agar paham dan taat terhadap ajaran Islam.
Muridnya datang dari berbagai daerah dan macam-macam kalangan. Salah satunya Mas
Karebet—yang kelak menjadi Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya.
Filsafat hidup yang diajarkan Ki Ageng Selo merupakan perpaduan dari unsur-unsur keagamaan Islam dan Hindu. Pengaruh yang disebarkan sang filsuf ini mampu manjadikan desanya bernama Selo. Selow. Slow. Situs makam Ki Ageng Selo yang terletak di belakang Masjid Ageng Selo kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobongan, Jawa Tengah masih ramai dikunjungi peziarah.
Ukiran bergambar naga yang berada di pintu Bledeg merupakan perwujudan petir yang pernah dipersembahkan Ki Ageng Solo kepada Kerajaan Demak pada zaman Sultan Trenggono. Namun, ada juga yang menyatakan bahwa kesaktian Ki Ageng Selo menangkap petir hanyalah kiasan alias metafora.
Versi lainnya mengatakan bahwa pintu bledheg itu menyimpan rajah agar Demak tidak mudah diserang. Versi lainnya lagi menyampaikan pintu bledheg menjadi daya tarik yang sengaja disebarkan kepada rakyat/masyarakat kala itu, agar mereka pergi ke masjid Agung demi bisa melihat pintu ini. Ada pula versi yang mengisahkan bahwa pintu ini simbol bahwa saat masuk ke dalam masjid agung Demak, orang-orang harus melepaskan kebanggaan mahkotanya, menahan emosi amarahnya, kekayaannya (yang biasanya disimpan dalam bokor jambangan) tak lagi ada artinya.
Mau tahu versi lainnya lagi? Ada yang bilang Sultan Trenggono agak salah strategi, karena justru menyuruh Ki Ageng Selo yang menangkap petir. Sehingga justru keturunan ki Ageng Selo-lah yang kemudian menjadi raja-raja yang berjaya di tanah Jawa.

What's next
Batik lawang bledheg dengan segala keindahan kreasinya, baik pilihan dan muasal ornamen, perpaduan juga gradasi warna merah hijau emasnya, legenda dan mitos yang membersamainya, serta tentu saja beribu interpretasinya ini sangat potensial menjadi ciri khas demak.yang bisa dibawa ke kancah internasional.
Nilai-nilai adaptif, inkulturasi, akulturasi, enkulturasi, toleransi dari lawang bledheg semestinya menjadi inspirasi terus menerus demi menjaga kebhinekaan di nusantara, bahkan menyatukan perbedaan dan keragaman di seluruh dunia dan alam semesta.
Ingat film Gundala (2019) garapan sutradara Joko Anwar yang tayang di bioskop beberapa waktu lalu? Penciptaan Gundala oleh komikus Harya Suraminata disebut-sebut terinspirasi oleh Ki Ageng Selo, tokoh legenda yang diceritakan bisa menangkap petir. Nama Gundala sendiri berasal dari kata "gundolo" yang artinya petir. Dan menakjubkan, bahwa film Gundala akhirnya diputar juga di kancah festival internasional. So proud! Ki Ageng Selo memang maestro. Dan pintu bledheg memanglah masterpiece.
Aku tak pernah bisa membayangkan seperti apakah masjid agung Demak tanpa lawang bledeg. Tapi siang itu benar terasa ada yang hilang saat lawang bledhegku tertutup backdrop acara sosialisasi pilkada di serambi masjid yang akan berlangsung malamnya. Semoga bukan perlambang bahwa yang profan menutupi yang sakral. Alangkah eloknya jika lawang bledheg justru tetap ditampilkan saat ada acara-acara di serambi. Ia adalah ciri khas sekaligus sumber inspirasi. Ialah pintu sorga.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad