improving writerpreneurship

Post Top Ad

Tampilkan postingan dengan label Lawang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lawang. Tampilkan semua postingan
Desember 29, 2019

Rencana Penulisan Buku Arsitektur

by , in
Rencana Penulisan Buku Arsitektur


Gambar
Insya Allah ada 16 kontributor ahli yang terdiri para dosen, doktor, profesor yang akan menulis bersama bunga rampai arsitektur ini.

Berikut salah satu tulisannya.

Lawang Yang Hilang
Oleh Dian Nafi

Ada yang hilang siang itu saat kami datang.
Ia iconic. Menjadi menarik karena warna merahnya yang dominan, bentuk kepala naga melintang dengan gigi-gigi menakutkan bagi anak-anak yang memperhatikannya, setidaknya aku waktu kecil dulu. Cerukan, tonjolan, lengkungan yang terbentuk oleh ukiran, paduan sulur-sulur stilisasi tumbuhan ala jawa dan nusantara yang kaya, bokor jambangan ala gujarat india dan hindu budha, mahkota ala majapahit, kepala naga ala china.
Bersama-sama dengan ciri khas atap tajug tumpang tiga sebagai adaptasi meru hindu, piring campa, gentong khong cina, tiang majapahit, lawang bledheg menjadi simbol inkulturasi. Suatu upaya strategi walisongo dan Raden Fatah dalam memadupadankan berbagai unsur di sekitarnya, menyatukan berbagai perbedaan. Wujud adaptasi dan toleransi. Spiritnya mungkin bisa ditiru arsitek mana saja untuk tujuan serupa. Entah itu apa bentuk dan interpretasinya.
Saat aku akhirnya bisa melihat lagi versi asli lawang bledhegnya di museum Masjid Agung Demak, tiba-tiba justru melintas dalam kepalaku Quran surat Ali imran ayat 133-136 yang menerangkan sifat orang-orang yang bertakwa. Bagi mereka yang segera bertobat, menyesali dosa, balasannya adalah terampuni dan masuk surga. PINTU itu, pintu bledheg itu, pintu menuju sorga.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (١٣٣) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٣٤) وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٣٥)أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
Terjemah Surat Ali Imran Ayat 133-136:
133. Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,
134. (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit[1], dan orang-orang yang menahan amarahnya[2] dan mema'afkan (kesalahan) orang lain[3]. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan[4].
135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri[5], segera mengingat Allah[6], lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya[7], dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.
136. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.
Mahkota itu gambaran dari orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit. Kepala naga atau apapun makhluk bergigi runcing itu adalah gambaran dari orang-orang yang menahan amarahnya. Jambangan adalah gambaran dari mema'afkan (kesalahan) orang lain. Dan sulur-sulur dedaunan itu gambaran dari orang-orang yang berbuat kebaikan, orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya.
Adakah interpretasi ini mengada-ada? Mungkin iya. Tapi itulah yang terlintas dalam benakku saat raga dan rasaku bersinggungan dengan raga dan rasa pintu bledheg itu. Wallahu a’lam bishshowab.
Ornamen dan detail, bagaimanapun, adalah salah satu komponen pembentuk arsitektur yang signifikan. Seperti halnya dalam cerita. Kita mendapatkan kedalaman, nuansa, tone, warna, aura, ambience, kesan tertentu. Pintu bledheg ini dengan segala ornamen dan detailnya adalah bagian dari Masterpiece.
Kenapa bukan kaligrafi? Bukankah ini masjid? Inilah kekuatan kurator dan kreatornya. Sunan Kalijogo diamini Wali Songo dan Raden Fatah, orang-orang di balik masterpiece ini tentu saja geng kuratornya. Kreatornya, Ki Ageng Selo. Tapi ini versi rekaanku tentu saja. Sedangkan versi lainnya ada banyak sekali.
Cerita rakyat Lawang Bledeg mengisahkan pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Ageng Selo kepada Sultan Trenggana, sebab sebagai keturunan asli Prabu Brawijaya walaupun tidak diakui, Ki Ageng Selo merasa berhak atas tahta Demak. Sunan Kalijaga tidak menggunakan kekerasan untuk melawan Ki Ageng Selo, melainkan menggunakan jalur diplomasi. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa esok yang akan menjadi raja Demak bukanlah Ki Ageng, melainkan keturunannya maupun orang yang sangat dekat dengannya, jika Sunan Kalijaga berbohong, maka keturunannya akan hidup sengsara. Ki Ageng Selo pun takluk dan diampuni oleh Sultan Trenggana. Lalu Ki Ageng Selo membuat pintu bledheg dengan cara menangkap petir kemudian dibuatnya sebuah pintu dan dipersembahkan sebagai permintaan maaf.
Versi lainnya, dalam tradisi lisan di beberapa daerah di Jawa Tengah, Ki Ageng Selo merupakan tokoh yang terkenal bisa menangkap petir. Diceritakan, suatu hari Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawah. Langit mendung lalu turun hujan dan tiba-tiba petir menyambarnya. Namun, dengan kesaktiannya, dia berhasil menangkap petir itu. Petir tersebut berwujud naga. Ki Ageng Selo mengikatnya ke sebuah pohon Gandrik.
Ketika dibawa kepada Sultan Demak, naga tersebut berubah menjadi seorang kakek. Kakek itu kemudian dikerangkeng oleh Sultan dan menjadi tontonan di alun-alun. Kemudian datanglah seorang nenek mendekat, lalu menyiram air dari sebuah kendhi ke arah kakek tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara petir menggelegar dan kakek nenek tersebut menghilang.
Dari kisah tersebut berkembang mitos kalimat, “Gandrik, aku iki putune Ki Ageng Selo” yang artinya, “Gandrik, saya ini cucunya Ki Ageng Selo.” Kalimat itu, bagi sebagian penduduk daerah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu misalnya, dipercaya dapat menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan datang. Sigit Prawoto, dosen Antropologi Sosial dan Etnologi Universitas Brawijaya, dalam bukunya Hegemoni Wacana Politik menyebut, “pernyataan klaim kekeluargaan ini mengandung keyakinan kultural bahwa seseorang yang berasal dari keturunan orang yang memiliki kualitas (kasekten) tertentu akan mewarisi kualitas tersebut.”
Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu petir di Masjid Agung Demak. Ukiran pada daun pintu itu memperlihatkan motif tumbuh-tumbuhan, suluran (lung), jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara, dan dua kepala naga yang menyemburkan api.
Menurut Soetardi dalam Pepali Ki Ageng Selo, Ki Ageng Selo merupakan keturunan Brawijaya, raja terakhir Majapahit, dari istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan atau Pulau Banda Neira.
Dalam kitab Babad Tanah Jawi disebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo.
Hidup di masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16,  Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak. Sebab dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepala saat melihat darah yang menyembur dari kepala banteng setelah pukulannya kena mata sang musuh. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat.
Penolakan itu membuat Ki Ageng Selo berkeinginan mendirikan kerajaan sendiri. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannyalah yang akan mencapainya.
Ki Ageng Selo kemudian pergi ke sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Purwodadi. Dia hidup sebagai petani dan memperdalam ilmu agama, filsafat serta ilmu untuk memperluas pengaruh kepada rakyat.
Riwayat Ki Ageng Selo juga menyebut kalau beliau mempunyai putra bernama Ki Ageng Enis, yang selanjutnya mempunyai putra bernama Ki Ageng Pamanahan. Cucu Ki Ageng Selo ini menikah dengan putri sulung Kiai Ageng Wanasaba, dan dianugerahi putera bernama Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sultan Sutawijaya. Keinginan Ki Ageng Selo  mendirikan kerajaan sendiri terwujud oleh cicitnya ini. Sutawijaya merupakan pendiri Kerajaan Mataram kedua atau Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada 1587-1601 M.
Sebelumnya, Ki Ageng Enis juga sempat berguru pada Sunan Kalijaga—satu angkatan dengan muridnya yang termasyhur yakni Jaka Tingkir. Ki Ageng Enis lalu diminta bertempat tinggal di Dusun Lawiyan guna mengajarkan agama Islam. Maka dari itu, putra terakhir Ki Ageng Selo ini akhirnya lebih dikenal sebagai Ki Ageng Lawiyan.
Itulah salah satu cerita yang membuktikan betapa berpengaruhnya keturunan Ki Ageng Selo dalam persebaran Islam di Pulau Jawa. Garis keturunan Ki Ageng Selo diakui sebagai cikal bakal yang menurunkan raja atau pimpinan. Bukan hanya raja di Kesultanan Demak, Pajang, Mataram, Yogyakarta, atau Surakarta, namun konon katanya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga jadi salah seorang keturunan Ki Ageng Selo. Banyaknya keturunan Ki Ageng Selo yang menjadi orang besar, membuktikan bahwa tirakat yang beliau lakukan demi anak dan cucunya menjelma berkah bagi semesta alam.
Ki Ageng Selo menanamkan pengaruh kepada masyarakat lewat syair yang ditulis sebagai Pepali. Pepali ini kemudian diwariskan kepada keturunannya sebagai kitab yang berisikan didikan kesusilaan, kebatinan dan keagamaan.
Aja sira ngagungkeun akal. Wong akal ilang baguse. (Jangan kamu menyombongkan akalmu. Orang berakal hilang bagusnya.) Itu adalah salah satu ajarannya.
Semasa hidup, beliau dikenal memiliki kemampuan menabuh
alat musik ganjur yang bisa menarik penduduk—dan di saat momen itulah Ki Ageng
Selo melakukan dakwah Islamnya. Selain itu, Ki Ageng Selo juga mendirikan
madrasah untuk mendidik masyarakat agar paham dan taat terhadap ajaran Islam.
Muridnya datang dari berbagai daerah dan macam-macam kalangan. Salah satunya Mas
Karebet—yang kelak menjadi Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya.
Filsafat hidup yang diajarkan Ki Ageng Selo merupakan perpaduan dari unsur-unsur keagamaan Islam dan Hindu. Pengaruh yang disebarkan sang filsuf ini mampu manjadikan desanya bernama Selo. Selow. Slow. Situs makam Ki Ageng Selo yang terletak di belakang Masjid Ageng Selo kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobongan, Jawa Tengah masih ramai dikunjungi peziarah.
Ukiran bergambar naga yang berada di pintu Bledeg merupakan perwujudan petir yang pernah dipersembahkan Ki Ageng Solo kepada Kerajaan Demak pada zaman Sultan Trenggono. Namun, ada juga yang menyatakan bahwa kesaktian Ki Ageng Selo menangkap petir hanyalah kiasan alias metafora.
Versi lainnya mengatakan bahwa pintu bledheg itu menyimpan rajah agar Demak tidak mudah diserang. Versi lainnya lagi menyampaikan pintu bledheg menjadi daya tarik yang sengaja disebarkan kepada rakyat/masyarakat kala itu, agar mereka pergi ke masjid Agung demi bisa melihat pintu ini. Ada pula versi yang mengisahkan bahwa pintu ini simbol bahwa saat masuk ke dalam masjid agung Demak, orang-orang harus melepaskan kebanggaan mahkotanya, menahan emosi amarahnya, kekayaannya (yang biasanya disimpan dalam bokor jambangan) tak lagi ada artinya.
Mau tahu versi lainnya lagi? Ada yang bilang Sultan Trenggono agak salah strategi, karena justru menyuruh Ki Ageng Selo yang menangkap petir. Sehingga justru keturunan ki Ageng Selo-lah yang kemudian menjadi raja-raja yang berjaya di tanah Jawa.

What's next
Batik lawang bledheg dengan segala keindahan kreasinya, baik pilihan dan muasal ornamen, perpaduan juga gradasi warna merah hijau emasnya, legenda dan mitos yang membersamainya, serta tentu saja beribu interpretasinya ini sangat potensial menjadi ciri khas demak.yang bisa dibawa ke kancah internasional.
Nilai-nilai adaptif, inkulturasi, akulturasi, enkulturasi, toleransi dari lawang bledheg semestinya menjadi inspirasi terus menerus demi menjaga kebhinekaan di nusantara, bahkan menyatukan perbedaan dan keragaman di seluruh dunia dan alam semesta.
Ingat film Gundala (2019) garapan sutradara Joko Anwar yang tayang di bioskop beberapa waktu lalu? Penciptaan Gundala oleh komikus Harya Suraminata disebut-sebut terinspirasi oleh Ki Ageng Selo, tokoh legenda yang diceritakan bisa menangkap petir. Nama Gundala sendiri berasal dari kata "gundolo" yang artinya petir. Dan menakjubkan, bahwa film Gundala akhirnya diputar juga di kancah festival internasional. So proud! Ki Ageng Selo memang maestro. Dan pintu bledheg memanglah masterpiece.
Aku tak pernah bisa membayangkan seperti apakah masjid agung Demak tanpa lawang bledeg. Tapi siang itu benar terasa ada yang hilang saat lawang bledhegku tertutup backdrop acara sosialisasi pilkada di serambi masjid yang akan berlangsung malamnya. Semoga bukan perlambang bahwa yang profan menutupi yang sakral. Alangkah eloknya jika lawang bledheg justru tetap ditampilkan saat ada acara-acara di serambi. Ia adalah ciri khas sekaligus sumber inspirasi. Ialah pintu sorga.




Desember 11, 2015

Kubuka Seribu Pintu Hatiku Di Lawang Sewu

by , in
Kubuka Seribu Pintu Hatiku Di Lawang Sewu

It's a nice privilege,  tepat beberapa saat sebelum aku pergi ke lawang sewu ndilalah aku buka dan baca Majalah desain yang jadi paket goody bag saat Reuni arsitektur undip beberapa waktu lalu.


Dan di sana dijelaskan tentang lawang sewu ini, dari Aspek sejarah dan tentu saja arsitektur nya. 

So ketika akhirnya kaki menginjak pelataran kawasan lawang sewu sehingga menapaki semua bagian ruang nya, sudah ada bekal untuk mengamati bangunan bersejarah ini.


Tak ayal lagi, memang pantas lawang sewu ini menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang dibanggakan.  Setiap detail dan perancangannya menjadikan lawang sewu tidak saja monumental sebagai land mark  tetapi juga punya karakter yang tak kita temukan di bangunan lain.  Oleh karena antisipasinya terhadap tapak dan konsepnya yang kuat.


Saat itu arsitek yang mendapat kepercayaan untuk membuat desain adalah Ir P de Rieau. Ada beberapa cetak biru bangunan itu, antara lain A 387 Ned. Ind. Spooweg Maatschappij yang dibuat Februari 1902, A 388 E Idem Lengtedoorsnede bulan September 1902, dan A 541 NISM Semarang Voorgevel Langevlenel yang dibuat tahun 1903. Ketiga cetak biru tersebut dibuat di Amsterdam. Namun sampai Sloet Van Den Beele meninggal, pembangunan gedung itu belum dimulai. Pemerintah Belanda kemudian menunjuk Prof Jacob K Klinkhamer di Delft dan BJ Oudang untuk membangun gedung NIS di Semarang dengan mengacu arsitektur gaya Belanda. 

TAHUN DIBANGUN : 

Th. 1863-1877 (yang terbangun hanya sebagian saja dan belum resmi digunakan). Th. 1908-1913 (pembangunan secara intensif). Resmi digunakan 1 Juli 1907. 

FUNGSI BANGUNAN : 

Semula Lawang Sewu milik NV Nederlandsch Indische Spoorweg Mastshappij (NIS), yang merupakan cikal bakal perkeretaapian di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka Lawang Sewu dipakai sebagai kantor perkeretaapian milik Indonesia, yaitu Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Lalu pada tahun 1949 Lawang Sewu digunakan sebagai kantor administrasi oleh KODAM IV DIPONEGORO. Pada tahun 1994 Lawang Sewu disewa oleh PT. Binangun Artha Perkasa (BAP) dan Perumka DAOP IV Semarang dalam perjanjian Memorandum of Understanding. Setelah itu Lawang Sewu kemudian ditempati oleh Departemen Perhubungan selama sekitar 2 tahun. Dan oleh karena Pajak Bumi dan Bangunan yang sangat besar, Lawang Sewu dijual ke pihak swasta. 

LATAR BELAKANG SEJARAH : 

Kota Semarang merupakan salah satu kota bekas peninggalan zaman kolonial. Terbukti masih terdapat sejumlah bangunan kolonial yang tersisa. Bangunan tersebut ada yang berada di daerah utara kota Semarang, yaitu kawasan Kota Lama, ada juga yang berada di tengah-tengah kota, salah satunya Lawang Sewu. Dimana dalam perkembangan bentuk bangunannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan bentuk-bentuk bangunan Eropa pada masa lalu, meskipun dalam penerapan gayanya tidak sesempurna di Eropa serta waktu terbangunnya selang beberapa tahun. Nama Lawang Sewu memang tak asing lagi bagi warga Kota Semarang. Bangunan bersejarah tersebut merupakan salah satu “ tetenger “ Kota Semarang yang sangat menonjol pada daerah Tugu Muda dan berperan dalam membentuk citra lingkungan setempat. Dijuluki Lawang Sewu ( pintu seribu ) karena memiliki begitu banyak pintu serta busur-busur yang mengesankan rongga. Juga merupakan salah satu saksi bisu dari sejarah Kota Semarang yang masih berdiri sampai sekarang ini. Namun Lawang Sewu tak hanya terkait dengan peristiwa heroic pertempuran Lima Hari, lebih dari itu bangunan unik tersebut tak bisa lepas dari sejarah perkeretaapian di Indonesia. Menurut rangkuman sejarah yang disusun oleh PT KA, semula Lawang Sewu milik NV Nederlandsch Indische Spoorweg Mastshappij ( NIS ), yang merupakan cikal bakal perkeretaapian di Indonesia. Saat itu ibu kota negeri jajahan ini memang berada di Jakarta. Namun perkembangan kereta api dimulai di Semarang. Jalur pertama yang dilayani saat itu adalah Semarang-Yogyakarta. Pembangunan jalur itu dimulai 17 Juni 1864, ditandai dengan pencangkulan pertama oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Sloet Van Den Beele. Tiga tahun kemudian, yaitu 19 Juli 1868 kereta api yang mengangkut penumpang umum sudah menjalani jalur sejauh 25 km dari Semarang ke Tanggung. Dengan beroperasinya jalur tersebut, NIS membutuhkan kantor untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Lokasi yang dipilih kemudian adalah di ujung jalan Bojong ( kini jalan Pemuda ). Lokasi itu merupakan perempatan Jalan Pandanaran, Jalan Dr Soetomo dan Jalan Siliwangi ( kini jalan Soegijapranata ). Saat itu arsitek yang mendapat kepercayaan untuk membuat desain adalah Ir P de Rieau. Ada beberapa cetak biru bangunan itu, antara lain A 387 Ned. Ind. Spooweg Maatschappij yang dibuat Februari 1902, A 388 E Idem Lengtedoorsnede bulan September 1902, dan A 541 NISM Semarang Voorgevel Langevlenel yang dibuat tahun 1903. Ketiga cetak biru tersebut dibuat di Amsterdam. Namun sampai Sloet Van de Beele meninggal, pembangunan gedung itu belum dimulai. Pemerintah Belanda kemudian menunjuk Prof Jacob K Klinkhamer di Delft dan Bj Oudang untuk membangun Gedung NIS yang mengacu arsitektur gaya Belanda. Lokasi yang dipilih adalah lahan seluas 18.232 m² di ujung Jalan Bojong berdekatan dengan Jalan Pandanaran dan Jalan Dr Soetomo. Tampaknya posisi itu kemudian mengilhami dua arsitektur dari Belanda tersebut untuk membuat gedung bersayap, terdiri atas gedung induk , sayap kiri, dan sayap kanan. Lawang sewu resmi digunakan pada tanggal 1 Juli 1907. 

KONSEP PERANCANGAN : 

Lawang Sewu, satu diantara sedikit bangunan yang mempunyai integritas arsitektur yang kuat perpaduan antara pengaruh luar ( indische ) dengan keunikan lokal yang kental dan tanggap terhadap iklim maupun lingkungan sekitar yang masih tersisa. Dari segi tampilan bangunannya gedung Lawang Sewu menganut gaya Romanesque Revival dengan ciri yang dominan yaitu memiliki elemen-elemen arsitektural yang berbentuk lengkung sederhana dan dirancang dengan pendekatan iklim setempat. Penyelesaian bangunan sudut dengan adanya dua fasade serta penggunaan menara pada gedung Lawang Sewu sedikit banyak diilhami oleh bentuk bangunan sudut kota-kota Eropa zaman abad pertengahan yang masih berkembang sampai saat ini. Secara umum gedung Lawang Sewu tidak memiliki simbol yang penting namun bila ditinjau dari skala kota atau wilayah keberadaan gedung yang terletak di tengah-tengah Kota Semarang ini, keberadaannya sangat berarti bagi pembentukan citra lingkungan dan mampu tampil sebagai “landmark” bagi Kota Semarang. Keseluruhan gedung ini merupakan karya yang sangat indah sehingga dijuluki “ Mutiara dari Semarang “. 

LANSEKAP & TATA BANGUNAN : 

Kompleks gedung Lawang Sewu terdiri atas dua massa bangunan utama. Yang di sebelah barat berbentuk “I” dengan pertemuan kakinya menghadap Tugu Muda, dan di sebelah timur merupakan massa linier membujur dari barat ke timur. Semua bangunan pada Lawang Sewu berlantai dua. Gedung Lawang Sewu terletak pada tanah relatif datar dengan view utama bundaran Simpang Lima pada sisi luarnya dan lapangan upacara di bagian dalamnya. Mengingat keberadaannya yang terletak di tengah Kota Semarang maka faktor kebisingan, debu dan polusi yang diakibatkan oleh aktivitas jalan raya sangat potensial mengganggu. Penggunaan vegetasi-vegetasi yang ada berfungsi untuk mereduksi beberapa gangguan tersebut. Dari pola tata massa yang ada dapat dilihat bahwa orientasi terhadap ruang luar diarahkan ke lapangan di bagian dalam site. Hal ini ditandai dengan dimensi yang diberikan pada lapangan memiliki porsi yang jauh lebih besar daripada ruang luar di bagian depan. Mengingat keberadaan dari gedung Lawang Sewu yang dahulu difungsikan sebagai kantor maka aktivitas pada ruang luar bukan merupakan sesuatu yang dominan dimana ruang luar tampaknya hanya difungsikan sebagai lapangan upacara terbukti dengan masih adanya tiang bendera yang masih kokoh. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa dalam proses perancangannya arsitek gedung Lawang Sewu mengadakan pendekatan terhadap iklim setempat, baik dari pemakaian bahan maupun juga rancang bangun yang kontekstual terhadap lingkungan. Hingga sampai saat ini pun kehadirannya masih relevan dan layak untuk daerah yang memiliki iklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Akibat dari musim hujan tersebut maka bentuk atap yang digunakan adalah atap perisai dengan sudut kemiringan atap 45 ° sehingga air hujan dengan cepat jatuh kebawah. Penggunaan tritisan (over stack) terlihat pula pada gedung ini untuk menghindari percikan air masuk ke ruangan. Begitu juga di bagian bawah (kaki) terjadi peninggian peil lantai dari peil tanah dasar setinggi 50 cm. Sehingga banjir dapat terhindar disamping halamannya yang dibiarkan alami tanpa perkerasan sehingga air hujan dapat meresap dengan cepat kedalam tanah. Jalur pedestrian pada ruang luar gedung ini tampak kurang dominan. Hal ini disebabkan ruang-ruang yang ada telah dihubungkan melalui koridor-koridor yang ada yang juga berfungsi sebagai teras pada bagian dalam atau sisi dalam gedung ini. INTERIOR & TATA RUANG DALAM : • Pada daerah pintu masuk diapit oleh dua menara yang pada bagian atasnya membentuk “topola” persegi delapan berbentuk kubah. Bukaan pada pintu masuk merupakan pintu berdaun ganda dengan panel tebal dan kedap yang terbuat dari kayu. 

Di atas pintu terdapat bukaan untuk boventlicht. Jendela dengan ambang atas berbentuk lengkung dan ambang bawahnya tidak disanggah. Tipe jendela yang digunakan adalah jendela ganda dengan krepyak dengan ukuran skala yang demikian tinggi ± 3 meter dengan ukuran lebar ± 2,5 meter yang berfungsi untuk memaksimalkan udara yang masuk ke dalam ruangan. Selain itu ukuran seperti ini juga dapat memberi kesan megah dan monumental. 
• Untuk lantai bangunan dilapisi marmer cokelat dan hitam, serta keramik putih kusam berukuran 30 x 30cm baik pada ruangan dalam maupun selasar dengan lebar selasar 1,5 meter yang menghubungkan ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. 
• Pola sirkulasi di dalam ruangan adalah sirkulasi linier serta hubungan antar ruang adalah langsung yaitu dihubungkan dengan pintu-pintu berdimensi lebar. Sedangkan pola sirkulasi antara ruang satu dengan ruang lain dihubungkan dengan pintu berukuran sedang dengan tinggi 2 meter dan lebar 1 meter dengan penataan ruang berpola grid. 
• Besaran ruang yang ada pada bangunan Lawang Sewu berkisar antara 12m² sampai 30 m². Ruang-ruang tersebut berfungsi sebagai ruang kantor dan ruang pertemuan, sedangkan pada bangunan sebelah kiri pada lantai bawah terdapat sebuah ruangan dengan lebar ruang 6 x 10 meter yang dilengkapi pintu pada ujung sebelah barat yang menghubungkan dengan ruang lain dan basement. 
• Di bagian tengah ruangan (lobby) terdapat tangga naik menuju lantai dua dengan ukuran lebar tangga 6 meter yang terbuat dari beton dan dilapisi tegel warna abu-abu. Pada bagian bordes terdapat jendela kaca patri berukuran 2 x 3 meter yang dihiasi dengan hiasan bunga-bungaan berwarna hijau, kuning dan merah. 
• Sedangkan untuk elemen ruang seperti perabotan sangat jarang dijumpai mengingat gedung ini sudah lama tidak digunakan.

SISTEM STRUKTUR :

• PONDASI : Pondasi yang digunakan pada gedung ini adalah pondasi setempat yang terbuat dari beton yang ditanam sedalam 125 cm dari muka tanah asli. Sedangkan di sekeliling bangunan diberi pondasi batu kali. Di bawah pondasi diberi lantai kerja setebal 50 cm. Pondasi beton yang digunakan diprediksikan masih belum menggunakan tulangan karena dimensi lantai kerja yang digunakan hampir di seluruh luasan bangunan relatif sangat tebal. Tetapi bila dilihat dari konstruksi kuda-kuda yang digunakan pada gedung ini sudah diterapkan bahan dari baja. 
• KOLOM : Dilihat dari dimensi kolom yang digunakan pada gedung ini yang relatif tebal, maka dapat diprediksikan masih belum menggunakan tulangan melainkan hanya terbuat dari batu bata yang disusun dalam sistem pasangan dua bata dengan ukuran 60x80 cm. 
• BALOK : Menggunakan baja profil tipe “I” yang dipasang melintang, sedangkan pada arah memanjang terdapat pula balok yang terbuat dari kayu. 
• DINDING : Ada 2 jenis dinding yang digunakan yaitu dinding pemikul dan dinding masif. Pada dinding bagian luar yang berhubungan langsung dengan beban kuda-kuda dimensinya lebih besar daripada dinding yang ada di bagian dalam yang hanya berfungsi sebagai dinding pemisah antar ruangan. 
• KUDA- KUDA : Kuda-kuda yang digunakan terbagi menjadi 2 jenis yaitu kuda-kuda baja dan kuda-kuda kayu. Secara garis besar gedung ini terbagi atas dua bentuk massa bangunan yaitu massa bangunan yang berbentuk “L” dan massa bangunan yang berbentuk “I”. Pada massa bangunan yang berbentuk “L” sudah menggunakan kuda-kuda dari baja. Sedangkan pada massa bangunan yang berbentuk ‘I” masih menggunakan kuda-kuda dari kayu model kuda-kuda gantung, tipe kuda-kuda Belanda. Atap yang digunakan adalah limasan dengan majemuk yang ditutup dengan genteng, dengan sudut kemiringan atap kurang lebih 45º. 

SISTEM UTILITAS :

• AIR BERSIH : Air bersih diperoleh / diambil dari sumur besar di luar site yang langsung di pompa menuju tandon yang berada di atas bangunan menara kembar kemudian baru disalurkan ke seluruh bangunan (sistem down feet). 
• AIR KOTOR : Air kotor langsung disalurkan keselokan yang ada di sekitar site sehingga tidak menggunakan tempat penampungan atau bak kontrol dimana air tersebut dialirkan melalui pipa yang ditanam di dalam tanah. 
• AIR HUJAN : Saluran air hujan dari atap di tampung pada talang terbuka dengan ukuran lebar ± 40 cm kemudian disalurkan melalui pipa tertutup ke bawah tanah yang berada di basement yang kemudian air tersebut dipergunakan kembali setelah diproses. Sedangkan pada tiap-tiap lantai di bagian selasar diberikan aliran-aliran dari beton untuk menampung air hujan yang kemudian dibuang ke bawah tanah melalui selokan terbuka dari beton dengan ukuran lebar 40 cm. Untuk drainase air hujan pada bagian ruang luar umumnya menggunakan peresapan setempat walaupun ada juga selokan-selokan kecil terbuka yang digunakan untuk mengumpulkan dan mengalirkan air hujan yang jatuh dari atap melalui talang yang ada. Salah satu hal yang menarik dari gedung ini ialah adanya saluran penangkal banjir yang dapat terlihat dengan jelas. 
• MEKANIKAL : Instalasi listrik diperoleh dari PLN yang disalurkan melalui gardu induk kemudian selanjutnya disalurkan ke masing-masing massa bangunan. Jaringan kabel dibiarkan kelihatan atau tidak ditanam ke dalam tembok melainkan di tempel di balok dan kolom bangunan. FISIKA BANGUNAN Pada musim kemarau pada daerah yang beriklim tropis, panas matahari kadang berlebihan sehingga menimbulkan hawa panas pada suatu ruangan. Bukaan-bukaan pada gedung Lawang Sewu dibuat cukup lebar dikarenakan ruangan-ruangan yang ada di dalamnya cukup luas. Sistem pencahayaan yang digunakan pada gedung ini terdapat 2 macam, yaitu pencahayaan alami dari jendela-jendela dan boventlicht yang terdapat pada setiap ruangan sedangkan yang kedua adalah pencahayaan buatan yaitu instalasi listrik dari PLN. Pemanfaatan pencahayaan alami pada gedung ini sangat maksimal terbukti dengan banyaknya terdapat bukaan-bukaan (pintu, jendela, dan ventilasi) yang berukuran luas. Sedangkan untuk pencahayaan buatan digunakan lampu bohlam dan lampu neon dengan warna cahaya lampu putih sesuai dengan warna bangunan yang hampir semua berwarna putih untuk mengesankan formal sebagai bangunan perkantoran dan juga merupakan ciri khas bangunan arsitektur Belanda. Dalam hal pengaturan sirkulasi udara, sangat diperhatikan kondisi iklim setempat yaitu iklim tropis yang diwujudkan melalui penerapan prinsip ventilasi silang dan peninggian langit-langit. Pada beberapa tempat pada bubungan bangunan ini terdapat menara kecil yang berfungsi sebagai ventilasi sekaligus berfungsi sebagai estetika yang dapat menambah kesan keanggunan dari bangunan ini

Post Top Ad