improving writerpreneurship

Post Top Ad

April 05, 2020

Tips Menulis Novel: PANTSER atau PLOTTER

by , in
Tips Menulis Novel: PANTSER atau PLOTTER





Pertama, apa itu Plotter dan Pantser? Pada dasarnya, tipe penulis terbagi jadi dua bagian besar, yaitu Plotter n Pantser. Namun, harus diingat kalo kategorisasi ini BUKAN kek kelompok Hitam-Putih. Plotter dan Pantser adalah SPEKTRUM metode pendekatan pada proses menulis.


Ada penulis yg plotter murni, ada yang pantser murni, dan sebenarnya (saya hampir yakin) sebagian besar penulis adalah tipe campuran antara keduanya. Mungkin, cuma kadarnya aja yg beda2.

Tipe Plotter adalah penulis yang bikin OUTLINE detail sebelum mulai menulis. Semntara, Tipe Pantser adalah penulis yang langsung terjun ke tulisan bahkan sblm dia tahu ttg ceritanya selain IDE DASAR. Mana yg lebih bagus? Tidak ada yg lebih bagus. Ini cocok2an aja.

Kali ini, gw cuma akan bahas penulis PLOTTER yg bikin outline dulu. Apa yang sebenarnya ditulis dalam outline? Bagian terbesar dari Outline adalah PLOT. Penulis Plotter menyusun serangkaian Plotpoint yang menjadi acuan dalam menulis.


TAPI, PLOT tidak bisa berdiri sendirian. Jadi, dlm outline juga ada informasi karakter, setting, adegan, narator, bahkan POV, data2 hasil riset, jumlah kata, dan perencanaan pembagian bab, dsb ... dsb ... yg dianggap perlu.

Outline adalah KITAB TAKDIR di sebuah dunia FIKSI. Cuma dg baca outline, selesai tuh semua perkara dlm novel (KALAU outline-nya dibuat superlengkap komponennya).

Seluruh komponen dalam Outline fungsinya adalah "serve the plot", karena TUJUAN dari penyusunan outline adalah menghasilkan PLOT yang MASUK AKAL untuk terjadi.

Apa itu Plot yang masuk akal? Plot yang masuk akal adalah plot yang seluruh susunan plotpoint di dalamnya BERHASIL menunjukkan hubungan sebab-akibat yang memenuhi standar LOGIKA.

Menulis novel pada dasarnya adalah Menyusun serangkaian adegan melalui penggunaan informasi secara efektif untuk membangun ARGUMEN atas kemasukakalan cerita.
jadi, outline itu bisa TEBAL

Tulis tangan dulu trus disusun struktural pake MWord (xls jg bole). Biar gampang diikutin.

Kenapa begitu? Karena ada fungsi lain dari Outline buat seorang penulis, yaitu: ALAT untuk menguji pola-pikirnya sendiri. Lewat outline, kita sudah bisa memeriksa apakah jalan cerita yang kita susun MUNGKIN untuk dieksekusi, diperbaiki, atau malah mending dibuang aja.

Jangan pernah sayang membuang atau menghapus tulisan/ide. Keahlian menghapus tulisan adalah ketrampilan terpenting untuk seorang penulis stlh tidak buta huruf.

Lewat outline, seorang penulis menguji dirinya sendiri. Apakah ada argumen bolong? Ada kejadian gak masuk akal? Ada deus-ex-machina? Ada karakter sia-sia? Kurang data? Harus riset lagi? Apakah ketebalannya cukup? Berapa lama pengerjaannya?


Semua perkara2 yg bakal mempengaruhi naskah novel bisa dianalisis lewat Outline (bahkan bisa diujikan ke orang lain yang kita anggap mumpuni). Misal: minta tolong temen utk liat "eh, cerita ini gimana? Masuk akal nggak?"

Apa yang dihindari oleh seorang PLOTTER? MENTOK! Yup! Penulis Plotter sebenrnya sedang mnghindari terjadinya MENTOK di tengah proses penulisan.

Waktu sdg aktual menulis novel, seorang plotter bener2 cuma nulis ngikutin panduan yg sudah dia buat sendiri sblmnya. Nggak ada lg proses riset, ngecek data, mikir mau ke mana, dsb. Doi cuma menulis novelnya dg cara ngecek outline. Sisanya ud dilakukan sblmnya.

Apa kelemahan dari Plotter? Proses Aktual Menulis-nya jadi terasa sangat TEKNIS (dan bisa membosankan). TIDAK ADA lagi kejutan dan petualangan selama proses menulis karena semua kejadian sudah diketahui sejak awal.

Proses Kreatif Penceritaan seorang plotter terjadi saat dia membuat outline. Pas Proses Aktual Menulis, seorang plotter "cuma" menyusun kata-kata untuk membangun DRAMATISASI lewat struktur permukaan tulisan. (Dramatisasi cerita sudah dilakukan di outline).

Buat Penulis Plotter, nggak bakal ada tuh pertanyaan: Apakah tokoh ini akan gw buat mati? No! Dr awal udah ketahuan si tokoh bakal kenapa2 apa nggak. Atau, eh! Atau mati trus idup lagi? Nggak.

Kalo sampe di tengah proses penulisan ada perubahan, Plotter akan berhenti nulis dan balik lagi ke outline-nya utk ngecek apakah perubahan itu menimbulkan akibat pada bagian lain dr novel.


Perubahan itu membuat PLOT berubah signifikan bahkan terhadap Protagonis dan seluruh novel.
Wajah tersenyum dengan mulut terbuka dan keringat dingin


enaknya jadi Plotter. Kita bisa memeriksa apa efek perubahan yg kita buat. Seberapa jauh akibatnya. Cuma berakibat sama satu kejadian, atau malah berentet ke mana2? Bayangkan kalo saya Pantser, perubahan ini bakal bikin proses rewriting yg masif.

Jadi, apakah sy spnuhnya Plotter? Sbnrnya nggak juga. Saya tetep membuka kemungkinan perubahan outline bahkan ketika sedang dalam proses menulis. Outline should serve the story and not the other way around. Outline harus tunduk sama cerita.

Plotter jangan keras kepala sama outline-nya sendiri, klo nggak mau hasil ceritanya kaku n ketebak. Kaku n ketebak adalah salah satu jebakan betmen buat penulis tipe Plotter.

Cara sederhana utk menghindari kesan kaku adalah: CEK SETTING mikro di dalam novel. Apakah terus2an di tempat yg sama? Apakah terus2an indoor? Atau outdoor semua? Setting BUKAN cuma latar cerita "biar bisa dibayangin".

Asli! Gw agak sebel itu sama frasa "biar bisa dibayangin" yg jadinya overrated. Gw sering banget denger "biar bisa dibayangin" pas nanya "kenapa ditulis dg cara ini?" Coba cari alasan lain yg lebih bagus, lah

SETTING adalah salah satu fondasi penting dr semua jenis adegan. Contoh: Adegan dialog antar tokoh. Apa sih dialog? Dialog sbnrnya cuma adegan tanya-jawab.

Setting (bisa) mengubah dialog jadi gak cuma tanya-jawab. Dialog jadi PUNYA nilai. Dialog yg tujuannya sama bs beda klo settingnya beda. Nembak cewek/cowok di kelas ama nembak di atas metromini beda, kan? Bikin adegan nembak cewek di kuburan? Pernah nyoba?

Penulis Plotter sgt mngkn terjebak "kaku", "klise", n "monoton". Js, awalnya, coba ubah2 setting. Pindahin tokoh ke mana, kek. Jgn di sekolah muluk. Klo pun di sekolah, pindahin ke pojok2 aneh. Detik ini, Kantin itu klise. Kecuali di kantin ada portal menuju dimensi lain.

Setting sangat berpengaruh sama perubahan Model Situasi.

Buat Plotter (trmasuk gw sndiri): Jangan lupa utk bisa melakukan self-critics n self-assessment. Tiap titik plot, tiap adegan, tiap karakter, dan semua yg ada di outline harus sempet ditanyain: "Kalau bukan ini, ada cara lain?



Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 05, 2020

Bagaimana Menghidupkan Adegan?

by , in

Bagaimana Menghidupkan Adegan?



Bagaimana Menghidupkan Adegan?

Jawaban sederhana: Apa pun yang membuat tokoh memiliki pergerakan.

Apa sih ciri makhluk hidup? Salah satunya: Mampu bergerak relatif terhadap lingkungannya. Sesuatu yang secara alamiah bergerak akan dipersepsi sebagai "hidup". Bahkan, Pergerakan adalah unsur utama dalam cerita. Sekecil apa pun, dalam cerita HARUS ada pergerakannya.

Apa unsur yg harus digerakkan dalam cerita agar terasa hidup: 1. Ruang 2. Waktu. Artinya urutannya perlu diatur dg pertimbangan ALAT INDRA si tokoh. Tugas penulis BUKAN cuma bikin detail ruang (dg menghambur2kan detail), melainkan detail ruang yg mendukung unsur gerak.

Gerakan tokoh/subjek dalam cerita bukan cuma ttg seberapa detail penggambaran settingnya (gambaran setting cuma akan menghasilkan "foto" yg diam). Untuk membuatnya berkesan gerak, setting ini perlu dipandang dr alat Indra dan tubuh si Tokoh yg sedang bergerak.

Kunci dasarnya: Buat tokoh bergerak di dalam setting (misal: bergerak ke dapur, mengambil gelas di atas rak tingkat 3, menutup pintu rak, meninggalkan dapur, lalu menutup pintu yang bisa menimbulkam derit). Jadi, setting dibangun berdasarkan gerakan tokoh.

Apa yg membuat gerakan tokoh jadi masuk akal? Motif. Tokoh harus punya motif dr gerakan yang dia lakukan. Misal: Mengambil minum ke dapur krn ada tamu. Ketika tokoh sudah akrab dg sebuah ruang, jadi tidak masuk akal jika ia menjelaskan detail ruang itu tanpa motif.

Dalam kasus tokoh sangat akrab dg ruang di mana dia berada, utk menjelaskan setting, buat dia melakukan sesuatu. Misal: bangun tidur, menyiapkan pakaian, & mandi. Bersama gerakannya, jelaskan setting. Lagi2: mendetailkan ruang bisa tidak efektif kalau cuma utk disebut2kan saja.

Unsur gerak yg dilakukan tokoh yg jadi pertimbangan utama seberapa detail ruang perlu dijelaskan. Misal: Ndak perlu menjelaskan kondensor AC ada di mana kalau motif tokoh bergerak menuju kamar mandi adlh bersiap kerja. Kondensor AC perlu dijelaskan klo ada tukang AC mau servis.

Intinya, untuk membuat adegan hidup buatlah tokoh bergerak dalam setting menggunakan alat indra-nya akibat adanya motif tertentu. Laporkan apa yg dilihat tokoh saat dia bergerak; apa yg dia lihat, dengar, sentuh, dan rasakan. Semoga berguna


Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 05, 2020

Judul atau Naskah Dulu?

by , in
Judul atau Naskah Dulu?



Mana yang duluan, judul atau naskah?

Jawaban sederhananya: Keduanya mungkin, tergantung sama kebiasaan penulisnya. Judul adalah bagian penting dr proses kreatif. Apa hubungan judul dg proses kreatif?

Well, tiap penulis punya JALAN kreatif yg beda2. Ada penulis yg datang dari konsep cerita kemudian menentukan judul (ada yg sebaliknya). Saya adlh salah satu yg awalnya cerita. Kapan menentukan judul? Saya menentukan judul langsung setelah merasa satu ide tulisan saya sukai.

Jadi, tiap ide yg saya catat sudah berikut judul. Apa tujuannya? Agar saya punya Sense of Writing. Judul membuat saya punya sense sedang menyelesaikan sesuatu. Otak kita akan sulit utk mendefinisikan sesuatu yg tidak ada istilahnya. Menentukan judul adalah bagian dr proses itu.

Judul awal itu BELUM TENTU akn dipakai utk publish. Judul bisa berubah.

tujuannya agar OTAK sy sadar ttg apa yg sdg dia lakukan.

Mungkin kesannya remeh, tp penting. Otak jd bisa mendefinisikan diri ttg apa yg sedang dilakukan: A: Sedang nulis apa? Saya: Sedang nulis cerpen Serigala. Kata "Serigala" langsung mengacu ke konsep ceritanya. Ini kek ngasih nama hewan peliharaan. Nama membuatnya bisa ditunjuk.

Bayangkan nulis cerita yg ndak ada judulnya: A: Sedang nulis apa? Saya: Sedang nulis ... hmmm apa yaaa.. nulis cerpen tentang serigala yg begini begitu begini begitu. Otak sy jd terbeban lebih berat utk mengingat konsep cerita yg rumit. Percaya, otak ndak suka kerumitan.

Contoh: Jane Austen - First Impressions
Punggung tangan dengan jari telunjuk mengarah ke kanan
"Pride and Prejudice" John Steinbeck - Something That Happened
Punggung tangan dengan jari telunjuk mengarah ke kanan
"Of Mice and Men" Margaret Mitchell - Tomorrow is Another Day
Punggung tangan dengan jari telunjuk mengarah ke kanan
"Gone with the Wind" Leo Tolstoy - All’s Well that Ends Well
Punggung tangan dengan jari telunjuk mengarah ke kanan
"War and Peace". Berubah ndak salah.

Jadi, saya selalu menulis cerita yang sudah ada judulnya. Sering saya memberi judul asal2an di awal. Yg penting, ADA judulnya. Judul tidak boleh kosong kecuali mau otak kita kebingungan utk menyebut apa yg sedang ditulis. Masalah judul kemudian berubah, itu lain perkara.

NAH! Sebaliknya, ada penulis yg justru mulai dr judul TANPA CERITA. Mereka tiba2 terpikir ttg judul yg bagus sebelum tahu akan menulis cerita apa. Proses kreatif mereka justru mulai dr judul. Ini juga bagus. Cara ini membuat otak bikin batasan konseptual dan ndak melantur.

Misal: tiba2 terpikir judul "Jalan Sempit di Langit". Dengan sudah punya judul duluan, otak jadi tidak wandering around. Otak secara otomatis akan membentuk asosiasi2 dg judul itu. Otak membuat batasan kreatif ttg ceritanya dg menggunakan kata "Jalan", "Sempit", dan "Langit".

Cara ini jelas jauh lbh mudah dibanding mulai cari ide dr udara kosong. Bandingkan: 1. "Nulis cerita apa, yaaaa?" lalu otak mikir ke sana kemari ndak tentu arah; dengan 2. "Cerita apa yaaa yg cocok dg kata jalan, sempit, & langit?"
Wajah berpikir
Smoga terbayang



Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 05, 2020

Tips Menulis Novel: DIALOG

by , in
Tips Menulis Novel: DIALOG

Kunci pertama gw dlm bikin dialog: Nggak membiarkan ada tokoh menggunakan satu kalimat dialog panjang-lebar dg tokoh lain. Gw mengutamakan proses pertukaran ide antar tokoh dibanding bikin satu tokoh berpidato. Tentu aja, ada pengecualian.


Satu yg jadi rel dialog adalah: rasa ingin tahu salah satu tokoh atas isi informasi yg disampaikan tokoh lain. Selalu ada tokoh yg mempertanyakan isi informasi. Jadi, informasi dalam satu rangkaian dialog ditampilkan dalam potongan-potongan yg lebih kecil

Contoh. Daripada pake model dialog ini: "Mau ke mana?" tanyaku. "Pulang. Aku capek dan mau tidur. Nanti malam harus mengerjakan tugas menumpuk yg belum dikerjakan. Kalau nanti malam nggak selesai, besok aku nggak bisa pergi jalan-jalan.

Gw lebih suka: "Mau ke mana?" tanyaku. "Pulang." "Ngapain?" "Capek. Mau tidur." "Tumben." "Iya. Ntar malem mau ngerjain tugas." "Dih? Kemaren gak jadi ngerjain?" Dia menggeleng, "Daripada besok gue gak bisa jalan ama elo." "Hmm, iya juga, ya," aku mengangguk.

Nah! Dialog di atas adalah tulang punggungnya. Biar natural. Obrolan itu gw masukin ke konteks. Dua tokoh digerakkan dalam sebuah konteks kejadian. Misal: mereka ngobrol sambil jalan keluar sekolah. Baru tuh di sela-selanya gw masukin gestur n lingkungan tokoh. Biar "hidup".

Cara ini akan membantu pembaca memahami apa sebenarnya inti dari dialog yang terjadi karena informasi tidak ditumpahkan secara sekaligus. Alias, memberi ruang dan waktu buat pembaca utk mengolah informasi satu per satu SESUAI dg train-of-thought tokoh yg berdialog.

Dialog berhenti, saat: 1. Tokoh yg mempertanyakan sudah mendapat kejelasan isi informasi. 2. Tokoh yg bertanya mnyimpulkan bahwa tokoh pemberi informasi tidak akan memberi jawaban memuaskan alias percuma bertanya lebih lanjut; atau 3. Muncul adegan yg memaksa dialog berhenti.

pengecualian (dialog dimunculkan dlm kalimat panjang):
1. Kalimat dialog berisi cerita di dalam cerita. Misal: tokoh detektif menyampaikan analisis kejadian 2. Tokoh mengalami kondisi khusus yg mengharuskannya pake dialog panjang, misal: tokoh sdg mengalami euforia.


Pun, klo cerita dlm dialog terasa trllu panjang, bisa diakalin: ubah jd pragraf eksposisi. Cth: "Jadi, apa yang terjadi?" tanyaku. Ia berpikir sebentar, lalu menjawab bahwa ia tidak sengaja melakukan hal itu. Sebenarnya, yang dia inginkan adalah ingin menolongnya, tetapi dst.

Alias: gw mengubah POVnya. Jawaban Tokoh diputar ke POV Tokoh Pendengar. Cara ini memungkinkan munculnya pernyataan BENAK. Cth: "Kok, elo gak dateng?" tanyaku. Ia menjawab kalau kemarin dilarang pergi oleh pacarnya dan ia juga sedang capek. NAMUN, kukira dia berbohong.

Tujuan: menjaga kelancaran arus informasi dg menghilangkan gaya bicara tokoh. Dg pakai paragraf eksposisi, gw bisa kembali pake gaya bahasa narator yg strukturnya bisa lebih rapih, runut, runtut, & struktural. Sering, ragam cakapan dialog mnyulitkan pbaca ngerti isi informasi.

Contoh dialog2 panjang yg produktif dlm membangun efek cerita adalah dialog tokoh LEO di Novel Penyap Leo punya kondisi kejiwaan tertentu yg bikin dia "nyerocos" panjang lebar. Leo mengalami sejenis euforia. Ini menarik. Model dialognya jd kontekstual.

Dalam #NovelPenyap, tokoh Leo bisa bicara panjang kali lebar kali tinggi dan mencelat ke sana kemari. Tapi, bisa dipahami knp dialog2 kek itu keluar dr mulutnya. Dia adalah tokoh dg mental disorder—bagian dr karakterisasinya. Bisa tebak, kira2 LEO kenapa?

Semua cerita bisa inspiratif utk pembaca. Mnrt saya, penulis cukup konsentrasi pada bangunan cerita


Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 05, 2020

Karakter Yang Tidak Hitam Putih

by , in
Karakter Yang Tidak Hitam Putih



Bagaimana membuat tokoh yang tidak hitam putih?

Jawaban sederhana: Berhenti melihat tokoh (dan umumnya manusia) secara hitam putih. Manusia bertindak karena memiliki KEPENTINGAN-nya sendiri dan (apa pun itu) WAJAR.

Asal muasal tokoh yg terlihat hitam putih adlh penulisnya sendiri yang cenderung melihat manusia secara hitam putih. Pd dasarnya, manusia tidak bertindak berdasarkan kebaikan/keburukan. Suka/tidak, manusia bertindak dg asas kepentingan—manfaat & pengorbanan utk mndapat manfaat.

Bahkan saat manusia berbuat baik, di satu titik, bukan karena kebaikan itu sendiri, melainkan krn merasa nyaman/tenang saat melakukannya, atau paling tidak berharap bgitu. Ia ttp mndapat manfaat dr kebaikan yg ia lakukan: (walau sesimpel) Rasa nyaman. Apa hubungannya dg fiksi?

Dalam psikologi, tiap manusia selalu mencari kondisi konsonan (selaras) dan menghindar disonan (tidak selaras). Apa itu konsonan? Konsonan kurleb adalah kondisi ketika seseorang memiliki kepercayaan, nilai2, ide2, dan tindakan yang tidak saling bertentangan

Di luar nilai/kepercayaan/ide/tindakan seseorang dianggap baik/buruk secara moral masyarakat, pilihan tindakan yg bisa membuat seorang konsonan diukur dr dirinya sendiri. Ada orang yg konsonan krn mengalah, tapi ada yg malah jadi disonan (merasa harus menang). Keduanya: WAJAR.

Ketika penulis bersikap naif bhw keputusan manusia dipandu oleh prinsip2 dualisme kebaikan/keburukan, di sanalah ia mulai membangun tokoh2 hitam putih. Seakan2 satu tokoh hanya bisa berbuat/merasa baik saja atau sebaliknya berbuat/merasa buruk saja. Padahal manusia tdk begitu.

Apa sih orang baik? Apa sih orang jahat? Buat saya, orang baik adalah orang yg merasa nyaman ketika melakukan tindakan altruis. Sebaliknya, orang jahat merasa nyaman ketika melakukan tindakan egois. Pun, setiap org punya komposisi. Altruis di satu sisi, & egois di lainnya.

Jadi, sebuah tindakan yg "berkesan" jahat tidak secara langsung menunjukkan bahwa dia orang jahat, pun sebaliknya. Buat saya salah satu indikatornya adalah kemunculan rasa bersalah. Kalau seseorang merasa bersalah setelah melakukan satu tindakan jahat, maka ia sebenarnya baik.

Pun, ini masih terus relatif. Ada org yg merasa bersalah ketika mencontek di kelas, tapi tidak merasa bersalah ketika memaki2 dg kata2 kasar. Artinya: Di satu sisi dia 'baik', di sisi lain dia "jahat'. Ini yg bikin kepribadian manusia jd kompleks n gak sesederhana baik/jahat.

Orang baik juga sama kompleksnya. Ada orang yg rela mengajari temannya utk belajar sampai malam, tapi tidak rela buku catatannya dipinjam utk belajar. Titik keseimbangan tiap orang berbeda2 dan bisa berubah.

Apa yg mengubah sikap manusia? 1. Perubahan Kepentingan 2. Tekanan dari luar. Contoh: Tokoh yg suka memaki2 akan menahan diri saat orang di hadapannya membawa kepentingannya. Misal: Ia tidak mungkin memaki2 Bos krn ada kepentingan. Harganya: dia merasa tidak nyaman (disonan).

Gmn menentukan respon tokoh? Prinsip tindakan minimal ada 2: 1. Besarnya Manfaat 2. Besarnya pengorbanan utk mendapat manfaat. Kalau besar manfaat tidak sebanding dg pengorbanan, tokoh cenderung mempertahankan sikap. Kalau manfaatnya besar, dia akan mengubah strategi.

Contoh: Tokoh baik yg suka membantu orang akan menghentikan tindakannya JIKA ada persepsi ttg risiko yg mengancam hidupnya. KALAU dia tetap melakukan kebaikan itu artinya ada faktor lain dg kekuatan setara yg mendorongnya.

Contoh: Pahlawan yg pasukannya mulai habis. Pilihan: meneruskan atau menyerah. 1. Jika risiko tampak terlalu besar, dia akan menyerah. Misal: Anaknya disandera musuh. 2. Jika ada daya dorong lain, dia akan meneruskan. Misal: Orangtuanya ud dibunuh oleh musuh dan dia dendam.

Jadi, untuk membuat tokoh tidak hitam-putih tidak sesederhana melabeli tokoh dg sifat2. Melainkan: membuat skema2 pilihan respon berdasarkan situasi2 yg menimpanya, dg mempertimbangkan: Kepentingan/Tujuan Tokoh, Besar Manfaat, Besar Pengorbanan, dan prinsip2 moral PRIBADI-nya.

Tiap kejadian yg membuat tokoh mengambil sikap/keputusan sesungguhnya adalah pertaruhan. Ada yg harus dia korbankan utk sesuatu yg ingin dia dapatkan. Dalam hal ini dia akan berhadapan dengan nilai2 yg dia percaya dan tekanan dr luar dirinya.

Tugas penulis adalah membuat pertaruhan2 itu untuk tokoh2nya. Pertaruhan inilah yang terus membuat sikap tokoh atas suatu masalah berubah dan tersesuaikan dengan dorongan pribadi dan tekanan di luar dirinya. Tarik menarik ini yg membuat tokoh terasa wajar sbg manusia.

Jadi, yg disebut dg membuat tokoh yg KONSISTEN tidak sama dengan membuat tokoh selalu mengambil keputusan serupa di setiap masalah (selalu bersikap baik, atau selalu bersikap jahat). Yg harus konsisten adlh strategi tokoh utk mnyeimbangkan tekanan2 itu & mengambil keputusan.

Ada dua dorongan utama dari tiap tindakan manusia: 1. Menghindari rasa sakit 2. Mendapat kesenangan. Keduanya menentukan apa yg kelak bersedia dia korbankan. Keputusan dia terdikte oleh dua dorongan itu Tiap org memiliki ukuran sendiri ttg apa yg disebut "sakit" & "senang".

Menghindar rasa sakit & mendapat kesenangan itulah yg disebut KEPENTINGAN—yg mjadi dasar alias motif umum dr keputusan2 yg dibuat berikutnya. Btw, ini cuma sekilas. Saran saya, baca buku2 psikologi utk memahami pembentukan motif & hubungannya dg kepribadian.

Tokoh baru terlihat tidak hitam-putih (sebaliknya hitam putih) SETELAH dia berhadapan dg suatu masalah yg harus dia putuskan, memaksanya merespon. Di mana respon/keputusan tokoh bisa dilihat? Dalam PLOT dan ADEGAN

Jadi, sbnrnya dg merencanakan plot dan serangkaian adegan, kita akan mendapatkan karakterisasi dari tokoh yg kita buat. Kehitam-putih-abu2an satu tokoh sudah bisa dinilai saat kita sudah punya plot dan beberapa adegan tempat tokoh merespon masalahnya.
Selamat Menulis.


Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit

Post Top Ad