improving writerpreneurship

Post Top Ad

April 09, 2016

Ritual Mengundang Uang

by , in
Ritual Mengundang Uang

Kasak kusuk di sudut warung Mbah Karmi melibatkan empat pemuda tanggung menyita perhatian Ifan. Dua orang di antaranya ia sudah kenal beberapa bulan ini. Maklum sebagai pengangguran tak kentara, Ifan mulai menyukai warung mbah Karmi sebagai tempat kongkow sekaligus pelarian karena ada banyak pemuda dan juga pria sejenis dengannya. Suka bermimpi muluk-muluk tetapi kurang suka bekerja keras.
Malu? Ah kenapa malu? Kan sekarang bahkan menjadi tren bagaimana sedikit bekerja tapi banyak menghasilkan. Buku-buku tentan ini konon juga bertebaran di mana-mana, di toko buku tentu saja. Mengajarkan agar seseorang menjadi pemalas saja tetapi berpenghasilan. Tentu saja Ifan tidak membaca bukunya keseluruhan. Hanya baca judulnya tapi kan sudah cukup bisa ia membayangkan isinya. Malas kok diajarin sih. Sudah pinter banget. Malas mah gampang. Tapi bagaimana menghasikan..hmmm…empat pemuda ini sepertinya punya jawabnya. Lihat saja, matanya melebar dan mulutnya menganga semua. Seperti menemukan sesuatu yang hebih yang berkaitan dengan keuangan dan kemakmuran. Entah, mungkin Ifan sendiri yang terlalu pede menebak-nebak.

Eh, Ifan. Kenapa malu-malu gitu. Sini gabung saja”
Pranoto, cowok berambut gimbal yang mengaku sarjana peternakan itu menggerakkan tangannya, memanggil Ifan untuk mendekat. Ragu-ragu lelaki dua puluh dua tahun itu menyalami keempat lelaki lainnya yang sekarang berada di dekatnya.
Apa yang sedang dibahas? Pikirnya.
Mencurigakan.
Grandong 
Ifan terkejut setengah mati. Seram sekali nama itu. Seseorang yang duduk di tengahlah yang mengeluarkan suara berat dan dalam itu sambilmengulurkan tangan duluan. Wajahnya garang. Senyumnya nanggung. Ada luka di alis kanannya yang tebal. Ifan menerima uluran tangannya dengan sedikit senyum, kuatir berlebihan. Sambil menyebutkan namanya sendiri.
Nama aslinya Udin. Tapi semua orang memanggilnya dengan nama Grandong jelas Pranoto. Ibisa menangkap keterkejutan dan sedikit ketakutan di wajah Ifan.
Oh, hehe komentar Ifan pendek sambil menghela nafas.
Isegera mengalihkan pandangannya. Jatmiko yang duduk di sebelah kanan Udin atau Grandong sudah berkenalan dengan Ifan tiga bulan lalu. Meski tak akrab tetapi mereka berdua biasa saling bertegur sapa dan kadang mengobrol tentang musik atau burung. Bukan burung yang itu lho? Tapi yang benar-benar bisa berkicau.
Satunya lagi berkaca mata, kurus dan sayu menyambut uluran tangannya dengan gontai. Semoga bukan anak junkiesinsting Ifan menyelidik sambil harap - harap cemas.
Edi katanya singkat.
Ifan pun memperkenalkan diri sambil mengambil tempat duduk di dekat mereka. Memesan kopi dan mengambil cemilan.
Kamu mau ikutan nggak?” Tanya Jatmiko tiba-tiba membuat Ifan bengong karena memang tadi sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
Ikut apaan?
Sudah pernah dengar ini belum, Fan?”
Pranoto dengan suara lirih setengah berbisik memaksa Ifan mempertajam pendengarannya. Jatmiko, Grandong dan Edi saling mengerling,membertanda satu sama lain, seperti meragukan sesuatu. Serahasia apakah yang akan kudengar, pikir Ifan.
Grandong baru saja dapat ilmu bagaimana mendapat uang dengan mudah. Biar Grandong yang menjelaskan. Silakan. Ifan bisa kita ajak. Kan kita butuh minimal lima orang
Ifan langsung duduk tegak. Informasi seperti ini yang selalu dicarinya.
Aku dapat informasi dari sumber terpercaya
Grandong membuka narasinya.
Ada jin atau makhluk halus yang suka memungut uang yang jatuh di jalan. Imenyimpannya. Dengan ritual tertentu, kita bisa meminta jin itu memberikan penemuan mereka kepada kita kata Grandong dengan nada serius.
Bulu kuduk Ifan perlahan meremang. Makhluk halus? Haduh!
Tapi apa itu bukan mencuri namanya? Kriminil? Mengambil yang bukan hak kita
Ifan menutupi ketakutannya dengan alibi lain.

Enggak dong. Kan jin itu menyerahkan sukarela kepada kita setelah kita melakukan ritual. Dan lagi dia mengambil sesuatu yang sudah jatuh di jalan. Bukan mencuri di lemari seperti tuyul sergah Grandong membela diri juga membeli jin yang entah siapa namanya dan bagaimana wajahnya.

Tapi ini jin lho, hati Ifan kecut sebenarnya, bagaimana kalau ia pingsan atau bahkan mati terkejut melihat jin itu nanti.
Bagaimana? Mau ikut nggak?  tanya Pranoto.
Ifan termangu-mangu. Belum menjawab.
Ini sudah Rabu sore. Kamis malam kita mau kumpul di rumah GrandongKalau kamu tidak mau ikut, kami terpaksa cari orang lain. Waktunya sudah mepet
Pranoto seperti memojokkan Ifan, memaksanya untuk segera mengambil keputusan.
Didorong oleh keingintahuannya yang tinggi, Ifan akhirnya mengangguk meski masih ragu-ragu. Seperti apa ritualnya? Apa benar menghasilkan uang?
Kita berlima akan memulai ritual ini jam dua belas malam. Duduk melingkar, telanjang, mengitari nampan berisi sesajen yang nanti kusiapkan Grandong melanjutkan petunjuknya.
Tanpa busana gitu? Hiiii….
Ifan bergidik. Keempat pemuda lainnya tertawa-tawa.
Telanjang dada, maksudku. Boleh pakai celana. Tapi kalau kamu mau udo blujut, bugil, juga nggak apa-apa
Goda Grandong membuat semua terbahak-bahak.
Sesajen? Kening Ifan berkerut-kerut.
Mata kita harus terpejam selama ritual itu. Setelah aku baca mantra-mantra yang sudah seminggu ini aku hafalkan, makhluk halus itu akan datang dan meletakkan uang hasil temuannya ke atas nampan di tengah area yang kita lingkari.
Mantra? Ini syirik pikir Ifan.
Isempat berpikir untuk mundur tapi jiwa petualangannya memanggil.
Ah, aku akan ikut dan membuktikan bahwa mereka salahDan aku bukannya ikut ritual syirik, aku hanya ingin ikut sedikit mencicipi pengalaman baruPikirnya mencoba mencari pembenaran atas keputusan yang diambilnya senja itu.

**

Bunyi ponsel yang melengking membangunkan lamunan Ifan di siang bolong itu. Badannya yang sedikit tambun bergerak mengambil ponsel bututnya di atas meja dalam kamarnya yang berantakan.

Jangan lupa nanti malam, Fan”
Pranoto yang menelponnya. Kamis yang akan menjadi sejarah dan legenda dalam jejak petualanganku, Ifan bersorak dalam hati.
Siap. Beres.”
Jawabnya mantap. Imerasa beruntung menjadi bagian dari sekelompok orang gila yang mau mencoba apa saja untuk mendapatkan uang.Mengalahkan ketakutan dan menembus batas.

Sudah, gih sana tidur. Ntar malam biar nggak ngantuk
Pranoto menyarankan sesuatu yang masuk akal. Benar, jangan sampai dia tertidur di tengah ritual nanti.
Oke!”
Mantap sekali dia menjawab.
Aku jemput kamu jam delapan bakda Isya
Pranoto mengingatkan sekali lagi sebelum mengakhiri percakapan mereka.
Ifan bersegera mengambil posisi berbaring di tempat tidur usai menutup telponnya.
Namun meski ia memaksakan diri, siang itu ia tak berhasil tidur. Ngeri membayangkan seperti apa makhluk halus yang akan datang itu.Bagaimana kalau ia lapar dan tidak makan sesajen tetapi malah mengambil korban salah satu dari mereka. Bagaimana kalau korbannya adalah Ifan. Cenatcenut sendiri ia memikirkan beberapa kemungkinan terburuk.

**

Rumah Grandong kecil saja. Sempit bahkan. Hanya ada satu ruang tamu sekaligus ruang makan tanpa meja kursi perabot. Satkamar tidur dan satu kamar mandi. Semuanya berdekatan posisinya. Tipe 21? Ya begitulah kira-kira. Dia tinggal sendiri sepertinya.
Berbagai aksesoris aneh memenuhi dinding-dinding rumah itu. Kebanyakan berwarna hitam, abu-abu dan merah darah yang menyeramkan. Adabeberapa tulisan seperti tulisan arab tapi Ifan ragu tak bisa membacanya dengan jelas. Mungkin itu yang disebut rajah. Sebuah tasbih besar dominanmenggantung di tengah dinding ruangan berseberangan dengan pintu masuk. Kelewang dan samurai tiruan pastinya bertengger di dinding lainnya.Gambar-gambar seram hampir mendominasi seluruh ruangan. Namun ada juga selembar kaligrafi terpajang di dinding. Gambar Kabah meski kecil. Adasetumpukan kitab di meja kecil di pojok ruangan.
Siapakah Grandong sesungguhnya? Pikir Ifan. Dukun? Pemuja setan? Tapi Pranoto tadi bilang Grandong ini dianggap agak kyai oleh teman-temannya. Kyai apa?
Ifan menyesal tak sempat mengenal lebih lama teman barunya ini terlebih dahulu sebelum dia memutuskan bergabung dengannya. Bagaimanakalau ada yang terbunuh malam ini? Bagaimana kalau sebenarnya Grandong membutuhkan dan ingin mengambil tumbal salah satu dari mereka?
Sudah makan semuanya kan? 
Tanya Grandong memecahkan hening yang tercipta di antara perasaan suram mencekam.
Sudah jawab Pranoto, Jatmiko dan Edi hampir bersamaan.
Ifan hanya mengangguk kecil. Apa Grandong sudah makan? Itak mau dimakan Grandong malam ini? Penampilannya menyeramkan. Baru malam ini Ifan memperhatikan bahwa ada gigi -gigi Grandong yang tampak lebih tajam dari gigi pada umumnya yang pernah ia lihat. Bibirnya terlalu merah untuk lelaki. Apakah ia minum darah? Apakah ia keturunan vampire?
Hiiii…..

**
Mereka berbasa - basi sebentar sambil mendengarkan kembali penjelasan Grandong. Tidak ada yang berani bergurau mala mini ternyata.Semuanya tampak tegang. Setidaknya begitulah perasaan Ifan.

Pukul dua belas malam kurang tujuh menit, semua bersiap di dekat nampan berisi sesaji di area lingkaran yang telah ditandai dengan kapur. Ifan bengong ketika keempat kawan lainnya dengan tenang membuka baju, bahkan celananya.
Celananya dilepas, Fan. Kan harus pakai celana dalam saja kata Pranoto.
 Duh. Beneran nih pake celana dalam doang?”
Ifan merasa keberatan sebenarnya. Ini tengah malam di rumah orangApakah Grandong ingin memastikan bahwa tak ada seorang pun di antara mereka yang membawa senjata? Ataukah dia semacam orang yang sakit jiwa dan hendak memperkosa?
Wah, Ifan semakin was was.
Fan?
Tegur Grandong dengan suara agak keras.   Beneran ya?
Gagap-gagap Ifan bertanya kembali. Ingimemastikan dan berharap ada sedikit keringanan untuknya.
Iya, beneran dong. Gimana sih. Bukannya sudah dibilangin kalau pake celana doang”
Jawab Pranoto yakin karena Grandong hanya diam melotot.
Ya iya sih. Tapi kupikir pakai celana tuh ya pakai celana ini. Bukan celana dalam”
Ifan tak ingat sama sekali tentang aturan yang ini. Tampaknya ia melewatkan keterangan Grandong atau Grandong lupa menerangkan ini padanya.
Yo wis lah. Sekarang sudah tahu kan. Cepetan lepas gih ujar Grandong sambil melirik jam dinding. Dia mulai tak sabar. Hampir jam dua belas malam.
Ifan tak punya pilihanDia terjebak dalam situasi ini. Tak bisa menghindar lagi.

**

Aduh. Dingin banget nih. Ini pasti gara-gara lubang atas dan bawah pintu yang terlalu lebar. Angin malam menerobos masuk dan Ifan yang duduk membelakangi pintu menjadi korban utamanya. Tapi untung juga dingin, jadi ia urung ngantuk. Karena menahan dingin, ia jadi tetap terjaga meski prosesi aneh ini mengharuskannya untuk merem, menutup mata.
Grandong yang memimpin upacara mulai mengeluarkan kemenyan, menyalakan dupa. Bau mistis segera menyebar ke seluruh ruangan. Bulu kuduk serasa berdiri atau memang benar-benar  berdiri. Mantra yang dibaca Grandong dengan irama naik turun juga bunyi-bunyian yang seram membawa seluruh penghuni ruangan dicengkram ketakutan dan kengerian. Sepertinya yang dikatakan Grandong bahwa ada makhluk halus yang turut hadir dalam upacara mereka ini akan segera datang.
Jantung semakin berdebar kencang ketika Grandong mulai melemahkan suaranya dan perlahan -lahan semakin rendah nada dan intonasinya. Lalu senyap. Sepi. Semua menunggu. Menunggu dalam diam. Dupa merasuk wangi anehnya ke dalam hidung. Asap mengabut di sekitar mereka. Bahkan menampar ringan wajah-wajah para pemuja duniawi tetapi mengaku spiritual ini.
Ada bau busuk tiba-tiba menerobos di antara wangi aneh kemenyan. Kengerian semakin terasa, horror. Mungkinkah ini artinya jin yang diharapkan datang itu sudah mulai memasuki arena?
Apakah upacara mereka ini akhirnya berhasil. Perasaan takut, ngeri dan juga harap-harap cemas menyelimuti mereka. Bau busuk itu semakinmerasuk.

Ifan curiga sedikit dengan bau busuk yang mencurigakan ini. Sepertinya bau ini sangat dikenalinya. Apa mungkin? Ah, masa sih? Oh. Sekarang ia mulai yakin. Ini….aduh!
Oh, pantesan. Tiba-tiba dirinya menyadari sesuatu. Makanya ia heran kenapa tadi setelah perutnya serasa kembung dan uh mules sekali, bahkan iakebat kebit menahan sakit perutnya, tiba-tiba ia merasa legaRupanya yang membuat perutnya mulas sudah keluar dengan bebasnya dan memenuhi ruangan ini.
Ada perasaan bersalah, tetapi melihat keempat kawannya kelihatannya begitu khusyu', ia tak ingin menggangguIa biarkan teman-temannya tetap menutup mata dalam posisi duduk melingkar. Diam-diam ia beringsut meninggalkan area lingkaran tersebut dan bergegas menuju kamar kecil. Ia sudah tak kuat lagi.
Selepas dari kamar mandi, ternyata teman-temannya masih bergeming. Karena perasaan bersalahnya, ia menaruh empat lembar lima ribuan ke atas nampan kayu di tengah - tengah lingkaran mereka berlima. Mengambil posisi duduk bersila kembali, Ifan melanjutkan tapanya.
Ufh, leganya. Ia berfikir sekarang aku tak berutang dengan siapapun karena telah mengeluarkan bau busuk dan membuat mereka tersiksa. Sudah kubayar.

**

Wah! Beneran! Aku tidak bohong, ris. Kami benar-benar berhasil. Setelah kami membuka mata, kami melihat ada uang dua puluh ribu di nampan bundar itu. Gila! Aku nggak nyangka, ternyata Grandong benar”
Berapi-api Ihsan menceritakan pengalaman tadi malamnya  kepada Aris. Mereka berdua tampak mojok di sudut warung. Kening Aris berkerut -kerut menyiratkan rasa antara percaya dan tidak kepada sahabatnya. Ia mungkin sedikit menyesal karena tidak mau diajak ke pertemuan semalam.
Sementara itu di balik pintu warung, Ifan tersenyum-senyum bahkan nyaris tertawa kecil.


April 08, 2016

Kenapa Kampanye Islam Nusantara Penting

by , in
Kenapa Kampanye Islam Nusantara Penting

Pamanku mendengar dari habib Lutfi: kenapa kebanyakan umat di wilayah kidul seperti boyolali, solo, klaten, jogja dst cenderung gampang radikal dibanding daerah pesisir/utara?

kita tahu semasa 1965, boyolali, klaten, solo dan sekitarnya banyak yang basis pki. lalu masa kemarin2-kemarin ini banyak basis kelompok islam dan semacamnya.

menurutnya karena kalau di pesisir, ng-islam justru ngoyot/mengakar dalam tubuh masyarakat sebab inklusi lewat asilimilatif. adaptif terhadap tradisi-tradisi yang sudah ada.

orang-orang jadi ngumpul karena yasinan, mitung dino, matang puluh, nyewu, haul dst. persaudaraan kuat. dan nggak gampang terpengaruh yang lain karena punya tokoh panutan, wali, kyai dst

sementara di wilayah kidul memang kurang ya (salahkan wali/sunannya tuh knapa waktu itu gak expansi ke sana juga:D) sehingga 'ngoyot'nya beda

ibu sendiri di masa mudanya saat tinggal di Solo pernah beberapa kali mengikuti kajian-kajian yang ibu rasakan sendiri kok beda dengan bekal yang didapat dari kakek

tahun-tahun itu masa pertama kalinya ust baasyir cs datang ke Indonesia. kakek peringatkn ibu untuk back to nahdhiyyah saja. alhmd she's saved by the bell

sebab itulah ketika masa SMA saya ikut rohis dan kajian-kajian, ibu sempat wanti-wanti juga untuk hati-hati. saya tetap aktif, ambil yang positif karena however gerakannya bagus.

tak bisa kita pungkiri sebab haroki inilah akhirnya UU jilbab waktu itu goal. banyak sekali kebaikan-kebaikan produktif. kampus marak kegiatan islami dst

hanya saja beberapa orang yang mungkin merasa telat ng-islamnya terus jadi berlebih-lebihan. seperti shock culture. memaknai kaffah dan tercelup shibghoh sebagai harus ekstrim.

kalau yang bekal pondasi ilmu islamnya sudah ada, bisa screening. kalau yang tadinya blank atau cuma pyunya sedikit akhirnya terima apa saja yg didoktrinkn


saya yang harusnya screening aja sempat hampir kena. waktu itu datang ke pengajian karena diajak kawan. saya terpukau, terkesima dan simpatik pada narsumnya

pulang dari ngaji, bagi-bagi cerita dengan paman-paman dan nenek dengan antusias. they're smiling while looking at my naive: kamu tahu nggak siapa sebenarnya narsumnya tadi?

ust baasyir itu konon begini begini, mereka ceritakan petanya. aku ternganga, nggak mungkin seseorang yang se-alim dan selembut itu adalah subversif.

Aku taat untuk tak lagi datang ke situ. Kali ini I'm saved by the bell. Beberapa waktu kemudian ust baasyir ditangkap lagi. Baru ibu cerita pengalaman dulu

jadi ya memang agak abu-abu kalau menyikapi teman-teman yang kelihatannya perjuangannya 'gigih' ini. untuk prestasi dan pencapaian-pencapaian dalam dakwah progresif, memang jempol


tapi ide2 yang hendak merusak/menjatuhkan NKRI, jelas kita tak sependapat. so kampanye ini memang penting. hubbul wathon minal iman

namun serta merta menjadikan mereka sebagai musuh adalah sikap yang tak bijak. kita semua ini bersaudara, harusnya saling mendukung, menolong, mengisi, sinergi.

orang-orang luar sana jelas takut kalau kita bersatu, kuat. Karenanya dengan segala cara berusaha memecah belah. Melihat segala celah dijadikan pemicu konflik

kecuali ya.....kecuali ternyata permukaannya saja suka 'gelut'/bertengkar. karena buat mengelabui aja. yg sebenarnya sih rukun dan tetap sinergi. hehe

balik ke kidul vs pesisir, mungkin karena orang pesisir sudah cukup panas sebab daerahnya, jadi gak mau lebih panas lagi, so batal deh jadi radikalnya:D

Now we know
bukan mazhab atau aliran, tapi tipologi, khashais. Islam yang santun, berbudaya, ramah, toleran, berakhlaq dan berperadaban. amiin


April 07, 2016

DI TERAS RUMAH YANG SALAH

by , in

DI TERAS RUMAH YANG SALAH

Erwin  sebenarnya bukan seorang yang bodoh. Dia termasuk juara di kampusnya. Tapi entahlah, sejak dia kerja bareng aku di perusahaan baru kami, aku melihat ada banyak hal yang berubah di dirinya.  Seperti tadi siang waktu aku janjian makansiang di mall dengannya sambil membahas desain baru untuk perumahan yang sedang kami kerjakan bersama.
Biasanya aku menemuinya di proyek. Tapi karena jadualku padat siang ini jadi kuputuskan untuk bertemu dengannya sekalian makan siang. Mungkin ini pertama kalinya ia ke mall ini atau tempat makan yang aku sebutkan masih asing baginya, dari suaranya ia terdengar  bingung sekali di telpon.
“Erwin, aku di lantai empat ya. Kamu dari bawah langsung naik escalator. Sampai lantai empat langsung balik kanan ya.. terus lurus sampai pojok. Nhah aku ada di depot  bakso situ. Okey?”, aku memberinya instruksi sekali lagi.
“Iya iya….”, uh dari sepuluh menit yang lalu ia bilang iya iya, tapi gak nyampe – nyampe juga. Aku mulai mengkhawatirkan kecerdasannya.
Tapi aku masih memberinya kepercayaan dan keleluasaan.
Aku berusaha duduk tenang. Tapi sebelas  menit kemudian dia masih tak tampak, aku mulai resah.
“Erwin. Kamu dimana?”, tanyaku gelisah.
“Aku sudah di lantai empat. Sudah ke kanan, terus lurus sampai pojok, tapi gak ketemu depot bakso”, jawabnya linglung.
“Wah, kamu salah arah pasti”, ujarku.
“Salah gimana ya?  Katanya kanan, lurus terus sampai pojok.”, jawabnya dengan nada tak berdosa.
“Jangan kanan langsung lurus, Erwiiin…..dari escalator itu kami balik kanan. Jadi ke arah kanan tapi turn back. Putar haluan. Mbalik kanan, gitu lho”, aku mencak –mencak di telpon gak sabar.
“Halaaaah..mbok ya bilang, mbak..”, katanya malah menyalahkan aku.
Ufh. Aku Cuma menghela nafas. Jengkel.
“Ya sudah, cepetan. Aku tunggu di sini ya? Gak perlu dijemput to?”, tanyaku berusaha tetap kalem.
“Iyaaaaaaaa..”, jawabnya panjang.
Sembilan menit kemudian dia baru nongol.
“Lama nian.”, keluhku.
“Sorry, neng. Aku agak linglung nih tadi. Kanan kiri. Kanan kiri. Bingung juga ya”, sambil cengengesan Erwin meminta maaf.

**

Entahlah, ada kalut apa di otaknya. Beberapa waktu yang lalu dia juga dis-orientasi. Suatu sore ia butuh mengantar beberapa berkas ke aku. Di telpon aku jelaskan kalau aku sedang di proyek rumah tinggal di kompleks perumahan di kota bawah. Kutunggu sampai lebih dari setengah jam, dia tidak menampakkan batang hidungnya.
“Erwin, kamu di mana sih? Ini aku tunggu lama sekali.”, aku menelponnya sambil berusaha menahan marah.
“Mbak Fifi, aku sudah di depan rumah lho. Di teras. Sudah nunggu lama sejak tadi, katanya mbak Fifi mau turun ke teras, jadi aku tidak naik ke atas”, jawabnya dari seberang telpon.
“Teras mana? Aku juga menunggumu di teras!”, aku lama-lama puyeng punya karyawan satu ini.
“Lho, mbak Fifi juga di teras? Kok nggak kelihatan ya?”, Tanya Erwin balik.
“Aku di rumahnya Pak Gunawan lho. Tadi kan aku suruh kamu ke sini! Kamu pasti ada di rumah yang lain deh!”, seruku agak dengan nada tinggi.
“Halaaaah..bukan rumah pak Darmawan ya,mbak. Hadouh…aku ada di sini, mbak”.
Si Erwin ternyata malah ada di proyek kami yang ada di kota atas. Walhasil akan memakan waktu kurang lebih setengah jam lagi untuk dia bisa menemuiku mengantar berkas yang aku butuhkan. Sementara klien-ku sudah tak punya waktu lebih banyak lagi untuk menunggu. Jadi aku membuat appointment baru untuk bertemu dengannya besok pagi.
“Ya sudah, win. Aku pulang ya. Taruh aja berkasnya di kantor”, aku menutup telpon dengan lesu.
“ Ya,mbak. Maaf ya, mbak”, suaranya yang lugu dan polos menghiba.

Oalah, Erwin. Belajar mendengar dengan baik juga merupakan salah satu kecerdasan penting.


April 07, 2016

Amalan Bulan Rajab

by , in

Amalan Bulan Rajab

AMALAN DI BULAN RAJAB "
1.Doa dibaca pagi dan sore bulan Rajab (70x)
ّرب اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَتُبْ عَلَيَّ
2.Doa dibaca antara Dhuhur dan Ashar bulan Rajab(70x) :
اَسْـتَغْفِرُ الله َ الْعَظِيْمَ الَّذِي لآ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ، تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لاَ يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا وَلاَ مَوْتًا وَلاَ حَيَاةً وَلاَ نُشُوْرًا
3.-Dibaca 10 hari yang pertama bulan Rajab(100x) :
سُـبْحَان الله الْحَيِّ الْقَيُّوْمِ-
Dibaca 10 hari yang kedua bulan Rajab(100x) :
سُـبْحَانَ الله ِ اْلأَحَدِ الصَّمَدِ
Dibaca 10 hari yang ketiga bulan Rajab(100x) :
سُـبْحَان الله الرَّؤُوْفِ
4.Membaca “Sayyidul Istighfar”
(3x pagidan sore) :
اَللَّهُم َّ أَنْتَ رَبِّيْ لآ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَااسْـتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّه لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنت
5.Doa ketika masuk bulan Rajab :
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَـعْبَانَ وَبَلِّـغْنَا رَمَضَانَ.
InsyaAllah Tgl 1 rajab bertepatan hari sabtu esok atau (9 April 2016) mudah2an kita bisa mengamalkannya,, aamiin...


Post Top Ad