improving writerpreneurship

Post Top Ad

April 06, 2020

Tips Menulis Novel: EMPATI dan GESTUR

by , in
Tips Menulis Novel: EMPATI dan GESTUR





Empati pada dasarnya adalah mengamati gestur yg sedang dilakukan oleh orang lain, dan mereka-ulang gestur itu dalam kepala, lalu muncul emosi yg polanya serupa (cuma serupa, bukan sama). Pada bbrp orang emosi itu tidak muncul.

Menulis fiksi pada dasarnya adalah kegiatan mereka-ulang urutan gestur ke dalam urutan kata2 dengan ditambahi pernyataan dlm benak tokoh. Gak lebih dr itu.

Buat gw: penghayatan penulis, kata2 indah, dan sejenis ini adlh omong kosong. Gw sesederhana mereplika gestur2 manusia pake alat linguistik, trus jelasin dikit apa maksudnya. Sisanya: biarin pembaca aja yg berusaha.

Jadi, gw gak perlu tahu apa itu "kesedihan" utk bisa nulis apa adegan sedih. Gak perlu merasa sedih juga.
Cukup pelajari gmn gestur manusia merespon sebuah kejadian sedih dan bagaimana otak manusia merespon itu. Trus, tulis deh gmn gestur tubuh menjadi cermin dr pikiran.


Secara gak sengaja, karena gw sering dicurhatin temen2, gw jadi belajar gmn tubuh menjadi cermin bagi apa yg ada di otak Gw selalu bilang: Gw gak tau apa rasanya jadi elu. Ini bikin mereka menjelaskan. Di saat yg sama, gw jdi compare antara kata2 mrk n gestur yg ditunjukkan


Dan, justru krn gw gak pernah tau apa rasanya jadi temen2 gw yg curhat itu, keknya, itu yg bikin mereka malah cerita ke gw. Kek,gw harus paham.

Wajah tersenyum dengan mulut terbuka dan keringat dingin
Ya, gw dengerin aja. Abis itu gw cocokin tuh urutan perilaku mereka sama jurnal2 ilmiah. Koheren atau nggak.

Writing is an act of empathy.

Jadi, kegiatan empati itu bukan cuma perkara kemampuan seseorang utk empati, tapi juga masalah keterlihatan gestur. Kita gak akn bisa empati sama orang sedih yg kesedihannya tidak muncul ke dalam gesturnya (krn berbagai hal, termasuk sensitivitas org dlm melihat gestur2 tipis).

Dan adanya gestur utk sampai bisa memancing empati, nggak cukup akibat satu kejadian. Otak kita selalu memperbandingkan antara kejadian yg muncul di depan kita dg pola2 yg tersimpan dlm ingatan.

Prnh ngalamin: temen keliatan gembira, kita tau dia sedih, dia: "Kok, elu tau kalo gw sedih?" Itu gak terjadi merely krn so-called "intuisi". Itu terjadi krn mata kita ga punya filter, otak yg memfilter. Krn akrab, otak jadi bisa 'liat' perbedaan tipis yg ga diliat org lain.

Ini yg bikin "intuisi" kita pada satu hal tidak membuat kita bisa berintuisi dg hal lain. Kita bisa tau temen kita sedih just "sekali lihat" (yg sbnrnya gak sekali, krn sbnrnya kita memperbandingkan dg ingatan kita sblmnya, walau gasadar), belum tentu berlaku ke org lain.

Entah gmn, mungkin karena kebiasaan mencatat dan mengingat, banyak penulis yg sangat sensitif sama pola2 gestur ORANG LAIN. Ini modal mereka nulis sekaligus curse buat mereka karena kepala mereka jadi selalu 'ribut'.


Proses menulis "persis" banget kek proses manusia berempati. Tugas penulis adalah meninggalkan Clue n Cue yg bisa ditangkap pembaca mengenai gestur2 dari tokoh dlm cerita. DAN tidak perlu terus2an dimakna2i dan dijelas2kan.

contoh: Kita tau, temen yg keliatan gembira sbnrnya sdg sedih. Kapan kita tanya; "Elu kenapa?"
Jelas: klo kita nggak tahu dia kenapa. Kalau tau, kita ga akan nanya. Membaca sama. Klo infonya terlalu jelas, pembaca ga akan nanya. Ini yg bikin pembaca bosen dn berhenti baca.

Kasi unjuk gestur2nya aja. Sampe cukup informasi sehingga pembaca sendiri yg nanya: Dia kenapa? Jangan malah penulisnya sendiri yg nanya bolak-balik ke pembaca. Apa yg terjadi padanya? Apakah aku harus mencari tahu? Blablabla. Yg penulis sangka bakal bikin penasaran pembaca.

Seringkali, penegasan2 pertanyaan tokoh tentang "kemisteriusan" sesuatu yg sedang dibahas dlm fiksi, kalo terus2an dilakukan, malah bikin lelah pembaca. Like: Iyaaaa. Gw tau.... Ngapain diulang2 mulu, dah!

Mau genrenya apapun, unsur misteri adalah komponen penting dalam fiksi. Tapi, gak usah dijelasin apa misterinya. Biarin aja pembaca yg mereka2 sendiri. Karena, di situlah letak kesenangan membaca. Pembaca menemukan sendiri misterinya dan mengikuti cerita utk tahu jawabannya.

Klo diliat dr sudut pandang gestur, badan cerita adalah 1. Eksposisi: Gestur normal, sblm ada inciting incident. 2. Rising Action: Gestur responsif atas inciting incident (melalui banyak konflik sampai ke klimaks) 3. Falling Action: gestur baru tokoh setelah masalahnya selesai.

Fiksi adalah pengulangan pola yg muncul di dunia nyata secara tidak sempurna. Pola yg buat gw menjadi dasar cerita fiksi adalah gestur, alias cara manusia bergerak di dunianya. Fiksi selalu ttg pergerakan2 itu

Dengan melihat dan mengamati pergerakan manusia (bahkan di level mikro: getaran kelopak mata, pupil dilation, dsb) dan memperhatikan bagaimana respon manusia sama kejadian (termasuk gestur orang lain) akan sngat membantu penulisan fiksi.

Jadi: kalo temen curhat, JANGAN sibuk ngasih nasihat. Dengerin. Komentar secukupnya. Perhatikan gesturnya. Penulis lebih butuh keahlian mendengar n mengamati, dibanding keahlian menasihati (kecuali mau jadi mario teguh). Pun, tmn kita keknya gabutuh nasihat. Dia butuh EMPATI.

Klo kbtulan denger curhat dlm kelompok, misal: se-gank, Jangan cuma perhatiin org yg curhat, perhatiin juga org yg denger curhat. InsyaaaAllah, kita juga akan nemu gestur2 yg berbeda. TIDAK ADA yg salah dg respon2 itu krn latar belakang tiap org beda. Isi ingatannya jg beda.

Klo kita gembira, kita cenderung senyum. Emosi mempengaruhi perilaku. Tapi, sebaliknya, perilaku jg bisa mempengaruhi emosi. Silakan coba aja: Kalau sedang buru2, kita cenderung berjalan cepat2. Coba dibalik: berjalanlah cepat2. Tiba2 kita jg merasa sedang terburu2.

Otak kita mengingat pola yg bisa bolak-balik. Kalau sedang sedih, paksa utk senyum. Tidak akan bikin gembira. TAPI, minimal, bisa menahan agar kita tidak sedih lebih dalam SAMPAI kita bisa menyelesaikan masalahnya. Selesaikan masalahnya juga. Jangan cuma senyum



Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 05, 2020

Tips Menulis Novel: Manajemen Kepenulisan

by , in
Tips Menulis Novel: Manajemen Kepenulisan



Tidak ada cara menulis yg bisa berlaku buat semua orang. Tiap penulis selalu punya cara sendiri yg semuanya benar.

Pertama. Kita prlu menyadari dulu apa sih "menulis fiksi". Menulis fiksi adlh kegiatan seni menggunakan alat2 linguistik dan nonlinguistik yaang SARAT perkara teknik. Buat gw, lebih dari 90% pekerjaan menulis fiksi adalah teknis. Hal nonteknis (apalagi baper2an) nyaris ga ada.

Buat gw perkara nonteknis di fiksi cuma terkait satu hal: IDE. Dan, di sinilah semua masalah mampet berasal, gakbisa selesai dg manggil tukang sedot WC. Walaupun, IDE cuma faktor "kecil" tapi punya peran besar.

IDE adlh sesuatu yang tidak tampak di struktur permukaan cerita. Bahkan, seiring pengerjaaalnnya, IDE awal seringkali berubah ke dalam bentuk lain. Yg muncul: STRUKTUR PERMUKAAN cerita. Sederhananya adalah semua hal yg muncul secara empiris (bisa diindrai) di atas medium tulis.
Faktor yg sulit dimanajemeni justru si IDE. Soalnya, IDE ada di level mental si penulis, alias lebih banyak dipengaruhi sama faktor internal psikologis si penulis sendiri. Malas, bete, gak mood, capek, dsb, adlh bbrp hal yg pengaruh, selain: tujuan si penulis menulis.

Proses PENG-IDE-AN ini tidak berhenti saat kita dapat IDE CERITA. Proses ber-ide terus berjalan SAMPAI kita sendiri menganggap proses menulis sudah selesai. Jadi, NGGAK usah kegeeran dg menganggap bahwa setelah dpt IDE CERITA maka nulisnya pasti lancar jaya.

Nah! IDE di dalam fiksi secara teknis terdiri dari 2 lapis. 1. IDE CERITA 2. IDE PENCERITAAN Yg pertama terkait yaaa ceritanya. Yg kedua terkait CARA cerita itu diceritakan Pisahkah keduanya.


Walaupun, pas proses nulis IDE CERITA muncul duluan (dlm benak penulis), TAPI yg kelak pertama ditangkap oleh pembaca adalah IDE PENCERITAAN-nya. Mostly Pembaca berhenti membaca BUKAN karena IDE CERITA-nya buruk, tapi karena cerita itu DICERITAKAN dengan cara yg buruk.


kemampetan2 menulis sering terjadi karena proses IDE CERITA dan IDE PENCERITAAN dilakukan secara berbarengan.
Alias, dicampur jadi satu. Sambil mikirin ide cerita, riset, nulis, mikir apa yg ditulis, dsb. Klo sambil ngejar deadline lomba ya bisa amsyong. Otak bisa ngambek.

Kalau CARA penulis bercerita tidak bisa ditangkap oleh pembaca, jangan mimpi pembaca akan bisa menangkap IDE CERITA-nya. IDE CERITA baru bisa ditangkap dan dianalisis oleh pembaca setelah IDE PENCERITAAN-nya bisa dipahami.


IDE CERITA harus & pasti KRONOLOGIS sesuai hukum absolut waktu yg sllu jalan ke masa depan Protagonis (kalaupun si Protogonis pindah ke masa lalu kek Film Back To The Future). IDE PENCERITAAN yg bikin ide cerita bisa punya naratif yg pindah2 waktu

IDE CERITA sulit diatur krn sangat tergantung faktor personal ketika si penulis sedang menulis. Tapi, JUSTRU ITU maka HARUS diatur, jauuuh2 sebelum ikut kompetisi

Prinsip dasar semua seni (termasuk seni kepenulisan) adalah IMAJINASI. TAPI, ini tidak sama dengan KEBEBASAN dan seenak2nya karena imajinasi kita dibatasi minimal oleh dua hal: PENGETAHUAN dan KEMAMPUAN kita sendiri.

Karena menyangkut pengetahuan dan kemampuan si Penulis sendiri, maka menulis BUKAN kegiatan yang bisa dilakukan secara dadakan. Kita akan kesulitan kalau: hari ini ada pengumuman kompetisi nulis lalu gitu aja ikut dengan modal nol kosong (tanpa pengetahuan dan kemampuan).


Menulis adalah kegiatan yang mempersyaratkan perubahan gaya hidup dan pola pikir. Bukan kegiatan yang bisa dilakukan secara murni impulsif.

Nggak gara2 kita mau nulis maka kita bisa menulis. Iya. Kalau mau nulis "Ini Budi. Ini bapak Budi" memang gampang TAPI, menulis fiksi gak cukup bermodal nggak buta huruf dan punya cerita. Nggak gitu cara kerjannya. Fiksi berdiri di atas CRAFTING sebagai fondasi

Kecuali mau bikin karya asal2an. Dan, supaya hasilnya gak terlihat asal2an perlu direncanakan alias dimanajemeni.

Langkah pertama utk melakukan manajemen kepenulisan adalah MEMISAHKAN proses menghasilkan IDE CERITA, IDE PENCERITAAN dan PROSES AKTUAL menulis.

Klo ikut kompetisi menulis SEBISA-BISA-nya, proses yg perlu dilakukan slma periode lomba blangsung HANYA: Proses Aktual Menulis. KECUALI: durasi lomba itu sgt panjang; 6 bln atau setahun misalnya. Kita akan terbirit2 klo durasi lomba sebulan n semua proses dilakukan sekaligus

Btw, saat Proses Aktual Menulis, BUKAN BERARTI proses pengidean berhenti, yaaaa. Proses Beride tetep jalan. CUMA, saat Proses Aktual Menulis ide yang diperlukan (seharusnya) hanya ide MIKRO—ide ttg bagaimana struktur kalimat n paragraf.

Bisa kebayang, kan, betapa pusingnya kalau saat aktual menulis (alias: ngetik) otak kita juga masih harus mikir: Habis ini ke mana??? Otak gak boleh diperas sampai pol. Kalau diperas sampe pol, hasilnya: OTAK MINTA ISTIRAHAT. Kita malah di-hack sama otak kita sendiri.

Untuk bisa mengerjakan sesuatu dg lancar, Otak butuh petunjuk2. Otak gak bakal mau diajak kerja kalo gak jelas apa yg sedang dikerjakan. Menulis itu hampir murni kerja otak, secara terus menerus. Beda sama nyetir mobil yg di satu titik bisa kerja gak sadar, tau2 sampe rumah.

Kita bisa makan, minum, bhkn nyetir sepeda sambil mengenang2 mantan. Menulis fiksi gak memungkinkan itu. Kita cuma bisa memikirkan: Habis ini kata n kalimat apa yg kita tulis. Begitu ada pikiran lain: Tulisan bisa bubar. Bhkn, mikir: Abis ini cerita kmna, bisa bikin bubar!

Menulis butuh kesadaran penuh. Manajemen menulis (fiksi) = manajemen kesadaran. Kalo kita gak bisa ngatur apa yg boleh masuk ke kesadaran, menulis akan terasa berat sekali.

Artinya: saat menulis, kita tidak boleh memikirkan hal apapun SELAIN setelah ini kalimat apa yang kita tulis. Segitunya? Iya, segitunya. Siapa bilang menulis gak segitunya? Menulis itu berat dan memang segitunya.

Balik lagi ke IDE. IDE itu hewan liar yang susah dikendalikan. Punya ide bisa jadi hal baik, tapi bisa sangaaaat buruk. Berapa banyak penulis yg gagal menulis malah gara2 kebanyakan ide? Ide2 bisa menganggu kalau gak diatur.

adi, Ide JUGA harus diatur. Jangan kemakan MITOS bahwa menulis butuh beride LIAR dan BEBAS. SEBALIKNYA, menulis adalah proses MENGERANGKENG IDE agar hanya ide yang produktif pada cerita yang kita tulis. Writing is an act of giving an order to the chaotic mind.

Cara paling sederhana utk mengatur IDE adalah memisahkannya dari memori dalam otak kita. Caranya: BIASAKAN membawa BUKU IDE. Bisa berupa buku catatan, atau lewat gadget aja. Intinya: Ide TIDAK BOLEH disimpan sbg ingatan dalam kepala. IDE HARUS DITULIS.

Jangan pernah membiasakan diri mencari ide dadakan pas ada kompetisi nulis. Ini penyebab awal kemacetan cerita, karena yg kita butuh BUKAN cuma ide cerita, tapi juga: ide plot, karakter, kata, kalimat, dan sebagainya.

apakah IDE cerita harus diwujudkan jadi naskah novel atau cerpen beneran? TIDAK. Bahkan, ide juga boleh dibuang.

Kedua: Biasakan membuat ide secara utuh. Bukan cuma Ide cerita yang masih sangat konseptual. IDE CERITA harus tercatat mininimal sebagai sebuah PREMIS. Lebih bagus lagi kalo langsung dijadiin LANDMARK CERITA. Tulis dlm BUKU IDE sbg tabungan






Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 05, 2020

Tips Menulis Novel: ENDING

by , in
Tips Menulis Novel: ENDING




Buat gw ending adalah bagian PALING PERTAMA yg dibuat (Setelah gw tau premisnya apa)

Bahkan, gw bisa membuat ending sblm gw tau awalnya apa. Gw memulai semua cerita dr bagian akhirnya. Justru Plot dan semua komponen cerita TUNDUK sama ending. Semua komponen cerita mmng sejak awal didesain utk mencapai ending yg gw rencanakan.

Logikanya sederhana. Apa syarat utk bisa sampai ke suatu tempat? Syarat utamanya adalah kita udh menentukan tempat tujuan. Kita NGGAK akan sampai ke mana2 klo tujuannya "ke mana aja, deh".
Wajah tersenyum dengan mulut terbuka dan keringat dingin
Klo ud punya tujuan, mau muter2 dulu, seterah situ. Situ yg nulis, kok.

Misal: Gw mau ke blok M. Rumah gw di Bojiong Kenyot. Trus, mau kek apa? Jalan2 santai? Buru2? Superburu2? Alias, ini akan jadi apa? Cerpen? Novela? Novel? Berapa panjang? 1500 kata? 7000 kata? 40ribu? 100ribu? Based bentuk, gw pikirin, sbrp rumit plot yg diperlukan.

Jadi, hal kedua yang gue tentuin setelah tau mau nulis cerita apa adalah ketebalannya. Bagaimana gw tau pdhl blm ditulis? Dari Premis. Premis sbnrnya nunjukin apakah suatu cerita akan rumit atau nggak. Semakin jauh tujuan tokoh sama resolusinya, makin tebal ceritanya

Halangan tokoh juga menentukan ketebalan cerita. Makin kuat halangannya, makin butuh plot panjang. Gw sering nemu premis2 yg kelewat ambisius. Premisnya kek utk novel, si penulis bilang itu cerpen. 1500 kata pulak. Ya, pasti keteteran. Atau sebaliknya.

Klo jd novel, karakter bisa gw bawa muter2. Bojong Kenyot - Bandung - Ujung Genteng - Tanjung Priok - Blok M. Klo Cerpen jgn jauh2 jalannya. Klo mau jauh, harus buru2. Jgn sharian jalan2 di Bandung, lima menit aja di Setapsiun. Alias: pendekin plot, adegan, kalimat, dsb.
Ke mana aja tokoh dibawa? Ke .... mana pun yang dibutuhin ending. Mis, Ending: tokoh—dokter yg dikirim jd pasukan perdamaian—tewas meninggalkan 1 anak. Maka, dia: Kuliah, koas, daftar tentara sipil, nikah, bikin anak, baru berangkat. Biar tewas? Jgn bikin doi ahli nembak.

Misal lagi: Gw ogah bikin dia mati di perang, gw mau buat dia cuma kehilangan satu kaki, ah. Artinya dia selamat sblm dibawa balik ke rumahnya. Baru deh gw buat plot kehilangan kaki n gmn diselamatkan. Enak, kan? Kagak ada tuh ngecek2 jalan cerita. Kan dr awal ud diklop-in.

Kecil kmungkinan gw mulai nulis cerita yg gw gak tau endingnya. Bukannya mulai tujuannya selesai? Muter2 tanpa tujuan, gak akan bikin naskah selesai. Di tengah jalan baru nentuin tujuan? Bisa2 bingung krn bnyk plotpoint n tokoh2 yg entah tujuannya apa sampai bisa ada di sana

Lagian, apa bedanya sih dg nentuin ending dr awal? Sama aja, malah lebih enak. Toh, buntut2nya bikin ending juga. Lagian, klo berubah pikiran, ya tinggal diubah. Malah, kita bisa jadi antisipatif sama perubahan.

Apa sih komponen Ending? Pada dasarnya Ending adalah adegan penutup yang menjawab 2 (pertanyaan) dasar: 1. Apakah protagonis berhasil mencapai tujuannya? Ya/Tidak. Cek premis. 2. Dalam keadaan apa? Situasi yg dialami Protagonis saat dia berhasil/gagal di akhir cerita.

Pertanyaan Ending yg pertama gampang jawabnya: Kalo gak berhasil ya gagal. Yg agak sulit yg kedua, krn perlu dijawab: 1. Settingnya di mana? 2. Sama siapa doi di sana? 3. Menang total/tidak: Misal: Menang, tapi sahabatnya tewas. Mati tapi dipuja2. 4. Kondisi Emosional. 5. Dsb.

Jangan lupa juga. Yg punya ending bukan cuma protagonis. Tapi, semua tokoh yg ada. Semua Tokoh punya Entrance dan Exit. Kapan dan bagaimana masuk ke dalam cerita, dan kapan/gmn keluarnya. Tokoh2 yg TIDAK muncul di Ending, akan dikeluarkan dr cerita ketika cerita berjalan.

Misal Premis: Seorang dokter relawan perang ingin pulang dengan selamat tapi terjebak dalam pertempuran dua kubu, akhirnya berhasil lolos namun kehilangan satu kaki. Ending: 1. Di rumah pacarnya. 2. Bersama teman 3. Berhasil pulang, tapi pacarnya menikahi orang lain. 4. Kecewa.

Berdasarkan komponen itu, kita bangun dulu adegan dalam ending. Caranya: Sama seperti nulis adegan biasa. Ada entrance dan exit. Entrance: Berangkat ke rumah pacar sama temennya sehabis upacara pelepasan dr markas. Exit: Meninggalkan rumah pacar menuju rumah temannya.

Pas menulis ini prinsipnya adalah bebas. Silakan ubah2 aja sesuai imajinasi. Misal: Ah, gw mau dia kehilangan satu kaki dan pakai kruk. Ah, gw mau dia datang masih pakai seragam. Ah, gw mau sebenarnya dia merencanakan kejutan krn sblmnya dianggap hilang. Dsb.

Berdasarkan ending itu, baru disiapkan KEY MOMENTS: 1. Kapan dia berangkat ke perang. Gmn keputusan ini diambil. 2. Gmn dia akrab sama temennya. Bisa jd krn dia menyelamatkan temennya itu sblmnya. 4. Gmn dia smpt hilang dlm perang. 3. Gmn dia kehilangan kaki. 4. Dsb.

Key moments dan seluruh komponen cerita TUNDUK pada ending. Apapun yang kita mau muncul di ending, dipersiapkan alur kejadiannya dalam plot (dan kelak subplot), dan dijadikan landmark cerita. Berubahnya Ending adalah perubahan semuanya, bahkan termasuk openingnya.

Misal: Krn endingnya adalah dia ditinggal kawin sama pacarnya, maka openingnya adalah pacarnya nggak rela dia jadi tentara dan si Protagonis ngotot. Nah! Siapkan argumennya. Kenapa dia ngotot? Misal: krn ingin memenuhi keinginan ayahnya yg veteran perang juga. Gampang, kan?

Kelemahan cara ini apa? Kelemahannya adalah proses ini sulit dipake kalau akan diposting sebelum naskah selesai. Cara ini sering bikin penulis perlu nulis dg cara gak linear. Ke depan, ke belakang, ke depan ke belakang, ke tengh, ke belakang lagi, dst.

Keuntungannya apa? Kekukuhan argumen2 dlm cerita jd lebih terjamin. Pernah baca novel (terutama daring) yg seperti cuma muter2 gak jelas? Ya sbnrnya krn ini. Dia mmng pas nulis gak tau mau ke mana. Trus, gimana biar bisa langsung posting? Ada solusinya? Ada. >>> Bikin outline

Berdasarkan ketebalan, rencanakan Bab-nya. Misal 40ribu kata dalam 40 bab. Artinya: per bab berisi 1000 kata. Lalu, letakkan LANDMARK di tempatnya dulu.

Kalau landmark ud diletakkan, buat subplot2 & adegan transisi di antaranya. Isi semua bab dg adegan2 transisi & subplot. Kalau trnyata ada Bab yg KOSONG, pertimbangan utk mengurangi Bab. Jangan maksa kalau ceritanya mmng gak support. Kecuali, mau ceritanya muter2 gak jelas.

Next, cek ulang semua Key Moment. Apkh semua sudah ada argumennya? Kalau ada yg belum, siapkan, dan rencanakan akan masuk di bab mana. Kalibrasi semua adegan dg periksa sebab-akibat. Diemin bntr, perika lagi. Klo ud sreg, baru deh nulis n aplot satu per satu.


Saat meng-outline cerita, jangan bayangkan diri kita protagonis atau narator. Bayangkan, kita duduk di depan sebuah panggung sbg sutradara pertunjukan drama. Pemeran2 kita ada di belakang panggung. Tugas penulis mengatur gmn mereka masuk & keluar dr panggung itu.




Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 05, 2020

Tips Menulis Novel: NARATOR

by , in
Tips Menulis Novel: NARATOR



sebelum menghidupkan karakter di naskah, karakter perlu dihidupkan dulu di dalam kepala. Sampai, "seakan2" sedang menulis ingatan kita sendiri.
Walau, sbnrnya itu bukan ingatan kita. Itu ingatannya narator. Penulis tidak hidup dlm dunia fiksi. Narator yg hidup di sana.

Narator adalah alat penulis untuk masuk ke dunia fiksi. Jadi, sama sprt tokoh fiksi, narator juga perlu "ditemukan" lewat proses penemuan, semacam eksperimen coba2. Pertanyaan dasarnya: Siapa yg akan menceritakan cerita itu? Narator jg punya karakterisasi, sm seperti tokoh.

Penulis BUKAN Narator. Penulis adalah pembuat cerita, Narator adalah alat yg dipakai penulis utk bercerita. Posisi Narator dlm ceritalah yg kelak menjadi POV.

Apa yang dipercaya Penulis BISA berbeda dengan apa yang dipercaya Narator. Narator juga perlu punya value ttg hidupnya. Ini cara Narator menilai kejadian yg sedang dia ceritakan. Narator bisa sosok bebas, atau terlibat dalam cerita.

Penulis yg maksa masuk ke dlm cara pandang Narator bisa menimbulkan kejanggalan—sering sy temukan di Teenlit Populer. Naratornya Aku remaja. N, akibat penulisnya gak bisa mbatasi diri. Si Narator Remaja itu berubah jd Filsuf dadakan yg sibuk menasehati pembaca ttg arti cinta.

Penulis harus menjaga kesolidan Narator-nya. Walau, kadang2 bertentangan sama kepercayaannya sendiri. Yg penting dlm fiksi BUKAN kepercayaan si Penulis, tapi kepercayaan si Narator. Dalam naskah fiksi, penulis harus MATI dan Narator yg HIDUP.

Kalau Naratornya adalah anak remaja, ya dia akan melihat, menilai, dan menginternalisasi kejadian2 yg dia saksikan (atau alami, jika Narator jg berfungsi sbg tokoh) selaiknya anak remaja. Kalo Naratornya Anak Bocah, begitu juga. Kenaifannya harus muncul.

Misal: Kita bikin cerita ttg seorang koruptor. Narator yg dipakai untuk cerita adalah si Koruptor itu, alias kita menyatukan fungsi naratorial kepada protagonis, MAKA tindakan korupsi itu HARUS dinyatakan sebagai BENAR oleh Narator, walau penulisnya menganggapnya SALAH.

enulisnya pengen menyatakan bahwa korupsi itu salah padahal naratornya Aku Koruptor? Ya, jangan masukin nilai itu lewat suara narator (bisa bikin gak koheren). Masukin nilai itu lewat jalan lain. Misal: Plot. Buat si Aku tertangkap dan dihukum mati.

Jadi, pas mulai nulis, si PENULIS harus SADAR, bahwa: Walaupun, dia bercerita lewat EKSPRESI POV AKU, "aku" di situ BUKAN dirinya. "Aku" dalam naskah adalah si Narator yg HARUS memandang kejadian2 dlm dunia fiksi lewat ideologi n nilainya sendiri, BUKAN PENULIS.

Gimana proses menemukan siapa si Narator? Eksperimen. Pindah2in sudut pandang penceritaan.

Misal: Kita punya cerita ttg seorang koruptor yg tertangkap lalu dihukum mati. Buat dulu sinopsisnya. SELALU buat sinopsis pakai kata DIA (walaupun kelak kita bercerita pakai Narator Aku). Trus, eksperimen deh. Siapa yg akan bercerita? Si koruptor sendiri? Petugas KPK? Anaknya?
Sudut2 pandang itu yg namanya POV. Jadi, saran saya: BUANG dulu tuh keyakinan yg bilang: POV adalah ttg pake kata DIA, AKU, atau apaan lagi. Ini mitos yg menyesatkan. POV bukan ttg kata ganti apa yg dipake.

Namanya aja: POINT OF VIEW. Maksudnya apa sbnrnya? POV adalah CARA narator berdiri dan memandang cerita yg sdg berlangsung. Seberapa dekat si Narator dg cerita itu. Narator sbg pencerita bebas, tentu bakal beda sama Naratornya adalah anak si koruptor.

Mau bikin si Narator sbg pencerita bebas tp masuk cerita? Bisa. Buat si Narator jd salah satu tokoh yg tdk per se terkait cerita, trus nyeritain si Koruptor sbg DIA. Misal: Koruptor diceritakan sm tukang kebunnya. Tukang kebun dijadikan POV. Alias, titik pandang atas kejadian
Trus, stlh coba2 POV, tentuin, si Narator ada di mana. Narator Tukang Kebun, Narator Koruptor, Narator Anak si Koruptor, akan menghasilkan model penceritaan yg beda2. Mau pake smua? Bisa. Suruh gantian cerita. Sinopsis yg sama akn mnghasilkan cerita yg BEDA, klo POV-nya beda

Stlh POV ditentukan, hidupkan si NARATOR duluan sblm tokoh2nya. Buat Narator jd PENGUASA dunia fiksinya. Narator Tukang Kebun punya dunia yg beda dr Narator Koruptor. Artinya? POV adlh batasan si Narator. Posisi Narator menentukan tingkat kesulitan pnyampaian info dlm cerita.

Kita akan kesulitaan utk menceritakan proses si Koruptor melakukan tindakan korupsinya kalau si Narator adalah tukang kebun. Jadi, gimana? Ya, pindahin (atau tambahin) posisi Naratornya, misal: Narator Sopir. Buat si Sopir yg cerita ttg si Koruptor.

Gak mau pusing? Pakai Narator Murni. Dia nggak terlibat dlm cerita. Narator Murni ini bebas pindah2 sesuka dia, bisa masuk kepala siapapun. Ini jenis narator paling minimum bikin kejanggalan klo penulis mau masuk2 k cerita. Walau ttp ga disarankan penulis ikut2an dlm cerita.

Oiya... walaupun suatu cerita disampaikan lewat Narator Murni alias pakai Ekspresi POV Dia, bukan berarti Naratornya tidak punya karakterisasi. Kalau model ini yg dipakai n penulis gak bikin karakterisasi si Narator, BIASANYA yg muncul adalah karakter penulisnya.

Kita bisa aja bikin karakter Narator Murni yg sinis, sarkas, atau apapun yang beda dari karakter kita sendiri sbg penulis. Ini yg bikin pembaca bisa menemukan tulisan nggak secara per se bisa menggambarkan si Penulis. Narator dan Penulis adalah dua sosok berbeda.

Sederhanannya, gw cerita ttg sinopsis cerita gw seakan2 tokoh2 itu memang orang2 yg hidup. Trus, gw liatin mata temen gw. Klo belekan gw suruh cuci muka dulu. Wkwkw. Kidding Klo mrk kek sdg denger cerita nyata, biasanya nanya: Ya ampun, kok dia bisa dipukulin ama pacarnya?








Pertanyaan dr temen2, gw pake buat menguji di mana bolong2nya cerita gw. Dan itu bisa keliatan dr ekspresi tmn2 gw pas denger cerita lisan gw. Klo ceritanya believable, ekspresi mereka bakal menunjukkan itu. Temen: Elu ud ketemu orangnya? Gw: Ya, nggak lah! Itu fiksi!


Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit

Post Top Ad