improving writerpreneurship

Post Top Ad

Tampilkan postingan dengan label tradisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tradisi. Tampilkan semua postingan
April 01, 2016

Kita Sering Cemas Dan Dibatasi Bayang-Bayang

by , in
Kita Sering Cemas Dan Dibatasi Bayang-Bayang



Kita Sering Cemas Dan Dibatasi Bayang-Bayang. Betul nggak? Tak jarang kita juga tidak melakukan sesuatu karena menghindari marah dan pandangan-pandangan yang menghina.

Apa aja tuh contoh bayang-bayang, batasan-batasan dan semacamnya yang kadang bikin kita malah kebonsai, padam sebelum nyala. Akhirnya potensi yang kita sesungguhnya miliki jadi tidak berkembang dengan optimal.

Ini beberapa di antaranya
(disclaimer: ini mungkin hanya terjadi di beberapa keluarga tertentu, sedangkan di sebagian keluarga lain hal tersebut bukanlah masalah)

1. Jangan jualan matengan
Alias jualan warungan dianggap kurang mriyayeni. Padahal lihat saja sekarang justru yang menghebat, sukses, kaya raya dan mengentaskan kemiskinan serta menanggung hajat hidup orang banyak justru para pengusaha restoran.

2. Musik itu loghow, sia-sia. Bahkan ada yang bilang haram.
Akibatnya energi kreatifitas kurang, mengerjakan segala sesuatu tidak pakai seni. Adanya  mungkin marah-marah  dan hanya berbau teknis.
Yang sebenarnya ya tergantung musiknya. kalau kayak punya Zayn atau Habib Syeikh atau Hadad Alwi kan ya malah bisa menambah ketakwaan kita pada Allah dan kecintaan pada Rasulullah.

3. Seni kuwi opo?
Masih berkaitan dengan poin yang sebelumnya, jadi bermacam seni seperti tari, melukis dan sebagainya dianggap bisa membawa kita ke jurang kehinaan, bisa menyerempet ke jalan syetan dan seterusnya.

Memang benar ada kasus-kasus demikian seperti mentor alias seniman senior yang mengelabui dan berbuat asusila dengan mentee-nya dan semacamnya. Tapi itu kan kasuistik.

Menghindari seni membuat hidup garing. Padahal kalau seni dipakai dengan baik, kan ada tuh seni membaca Alquran alias qoriah, meski ini buat sebagian yang lain masih dipandang kurang baik utamanya bagi perempuan. Sebab suara perempuan kan aurat. Iya sih, yach yang perempuan diperdengarkan untuk dirinya sendiri saja dan muhrimya.

4. Perempuan nggak usah terlalu hebat, nanti tidak ada pria yang berani mendekati.
Yach, biar pria yang hebat sajalah yang mendekat. Ya kan? Gitu aja kok repot?:p

5. Yang penting itu ukhrowi.
Yups, betul banget. Tapi jangan sampai melupakan duniawinya juga. Musti jalan semuanya biar seimbang dan kaffah alias sempurna.


Bayangkan kalau Zaha Hadid masih mengikuti aturan kolot bahwa perempuan itu konco wingking dan semacamnya, Dia tak mungkin akan menjadi arsitek hebat yang menjadi kebanggaan dunia. Allahummaghfir lahaa warhamhaa wa aafihaa wa'fu anhaa.


Apalagi ya batasan-batasan yang semestinya tidak kita telan mentah-mentah?




Februari 27, 2016

Hanya Dengan Cinta Dan Empati, Kita Bisa Memenangkan Hati

by , in

Hanya Dengan Cinta Dan Empati,  Kita Bisa Memenangkan Hati

Adikku yang baru saja lulus spesialis penyakit dalam berkunjung ke rumah kemarin saat aku sedang mencoret-coret sambil merenung apa budaya daerah kami yang bisa dieksplor agar menjadi inspirasi bagi lebih banyak orang. Kepikiran untuk mengangkat tentang Grebeg Besar tapi sepertinya sudah seringkali kuceritakan. Bahkan cerpen yang bersetting itupun memenangkan kompetisi menulis cerpen yang diadakan sebuah penerbit waktu itu. Sebagai sebuah destinasi wisata event dan seremonial juga festival pun pernah kuangkat dan menang dalam lomba menulis untuk 101 Travel Tips And Stories di penerbit Gramedia.

Tapi adikku itu bilang yach memang Grebeg Besar itu yang paling khas dari Demak.

Suro-nan ada banyak di tempat lain. Mauludan juga. Sekaten itu lebih identik untuk Solo dan Jogja. Kliwonan juga ada di tempat-tempat lain. likuran juga tidak hanya di sini.

Yang khas hanya ada di Demak ya Grebeg Besar itu.

Oh, okey. Tapi iseng aku bertanya padanya, apa kandungan dan nilai dari Grebeg Besar yang bisa menginspirasi banyak orang. Nah, jawaban adikku inilah yang ternyata sedikit berbeda dari yang selama ini aku ketahui dan aku pahami. Bukan sebagai sebuah negasi, tapi suatu pengayaan.

Grebeg besar berlangsung selama hampir sebulan. Sekitar dua minggu sebelum hari raya idul Adha (10/dzulhijjah) dan berakhir dua minggu setelah hari raya itu.

Ada pasar malamnya yang juga buka di pagi, siang dan sore hari sepanjang masa grebeg/festival itu. Dan puncaknya pada malam 10 dzulhijjah ada kirab tumpeng sembilan dari Pendopo Kabupaten Demak. Dilanjut kirab prajurit patang puluhan setelah sholat idul Adha, dari masjid Agung Demak menuju kompleks makam Sunan Kalijogo di Kadilangu.

Aku selalu menerjemahkan kirab tumpeng itu sebagai sedekah. Dan  jamas alias penyucian jimat pusaka kalimasada itu sebagai simbol keharusan pembersihan hati nurani kita. Serta pasar malam di grebeg besar sebagai upaya menarik hati masyarakat agar mendekat. Konon katanya dulu sebelum masuk ke arena Grebeg Besar, orang-orang diminta membaca kalimasada alias kalimah syahadat.

Adikku rupanya memiliki pandangan lain yang lebih dalam. Kirab prajurit patang puluhan yang mengenakan seragam kostum prajurit Majapahit dengan bendera dan tameng yang menggunakan lambang Suryo Wilwatikta, suryo Majapahit, merupakan simbol bahwa kerajaan Demak tidak meninggalkan begitu sejarah sebagai bagian dari keturunan Majapahit.

Ayah Raden Patah (penguasa pertama kerajaan Demak) adalah putra dari Raden Brawijaya V (raja Majapahit)

Di tengah perang persaudaraan dan serangan dari daerah-daerah bawahannya serta banyak pengkhianatan lainnya, Majapahit pun oleng dan ambruk. Saat itulah Demak lahir dan tampil. Bukan untuk semakin menjatuhkan Majapahit karena bagaimanapun ia adalah kerajaan milik sesepuhnya, tapi memberi warna baru. Sehingga kecenderungan yang waktu itu Jawa Hindu kemudian menjadi Jawa Islam.

Berbagai tradisi, budaya, upacara, seremoni yang sudah mendarah daging saat itu tidak serta merta dihilangkan. Tapi Sunan Kalijogo dan Wali Songo mengemas dakwahnya sedemikian rupa sehingga masyarakat tak sadar kalau telah disisipi dan pelan-pelan diajak masuk, bergeser dari kepercayaan dan menyembah benda-benda menjadi menyerahkan diri pada Yang Maha Esa dan Kuasa.

Inkulturasi, inklufisme, pendekatan dengan kasih sayang, empati dan penuh cinta. Tak ada keterpaksaan dan arogansi.

Peralihan dengan cara-cara empatik dan bijaksana yang dulu ditempuh Sunan Kalijaga dan wali songo inilah yang tampaknya saat ini jarang digunakan lagi.

Mungkin Grebeg Besar berikut rangkaian acara serta hikmah yang terkandung di dalamnya perlu lebih diblow up dan disebarluaskan lagi agar kita semua bisa mengambil pelajaran darinya.

Bahwa hanya dengan cinta dan empati, kita bisa memenangkan hati.

(Foto-foto dari berbagai sumber)

Post Top Ad