improving writerpreneurship

Post Top Ad

Tampilkan postingan dengan label majalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majalah. Tampilkan semua postingan
Desember 19, 2019

Bincang Sastra Di UIN Walisongo Semarang

by , in
Bincang Sastra Di UIN Walisongo Semarang

Alhamdulillah tanggal 17 Desember 2019 sepulang dari Women Writers Conference di Cirebon, saya ketiban sampur untuk menjadi nara sumber di acara Bincang Sastra Di UIN Walisongo Semarang, bareng kang Puthu alias pak Gunawan Budi Susanto (sastrawan senior dan salah satu guru nulisku juga)


Panel-panel di Women Writers Conference antara lain:
  1. Musdah Mulia dan Muslimah Reformis
  2. Faqihuddin Abdul Kodir dan Muslimah Reformis
  3. Musriya dan Muslimah Reformis
  4. Husein Muhammad dan Muslimah Reformis
  5. Kajian Gender Islam Nur Rofiah
  6. Participant Reflection
  7. Perempuan dan Pesantren
  8. Merumuskan Hukum Keluarga Adil Gender
  9. Perjalanan Menuju Mubaadalah
  10. Writing Session

Acara bincang sastra yang  bertempat di auditorium 2 kampus 3 UIN Walisongo ini merupakan salah satu event dari rangkaian acara perhelatan ulang tahun SKM Amanat yang ke-35. Wow yach. Majalah kampus universitas  ini dulunya hanya dikerjakan secara single, lalu dengan beberapa volunteer yang waktu itu juga merupakan para aktifis kampus, dan kini makin banyak mahasiwa yang terlibat serta sudah menelurkan banyak karya serta kontribusi. 

Cerita ini kami dengar bersama malam itu dari para pelakunya langsung. Pak Ajang, pak Hasan Aoni, pak Djoko Litbang UIN, mbak Alfie aktifis perempuan, dan pak Muhsin Djamil yang kini menjadi Wakil Rektor I UIN Walisongo. 

Salah satu karya bersama sekaligus produk Amanat tahun ini adalah antologi puisi yang dilaunching saat bincang sastra malam itu. Dan buku ensiklopedia perjalanan Amanat selama 35 tahun yang berisi tulisan dan artikel jurnalistik, laporan-laporan juga esai dari beberapa jurnalis Amanat.

Membincang puisi saat ini menjadi tema bincang sastra malam itu. 

Berikut rangkumannya yang sudah tayang di media ayo semarang.

Saat ini fungsi akademisi sastra lebih banyak mencetak analis dan kritikus. Mereka menciptakan berbagai teori sastra yang digunakan sebagai kritik terhadap karya sastra. Namun banyak dari mereka yang justru tidak menciptakan karya apapun.
Hal itu disinggung oleh sastrawan asal Kota Semarang, Gunawan Budi Susanto yang akrab disapa Kang Putu dalam bincang sastra dan launching antologi puisi “Membaca Wajah Puisi Hari Ini” di Auditorium II kampus 3 UIN Walisongo, Selasa (17/12/19).
"Saya pribadi sudah kehilangan kepercayaan pada akademisi sastra, omong kosong aja mereka. Baca sastra aja gak pernah kok ngaku akademisi,” jelas Kang Putu.
Bincang sastra dan lauching Antologi puisi Soeket Teki tersebut digelar dalam rangka memeringati hari lahir (Harlah) ke-35  surat kabar mahasiswa (SKM) Amanat UIN Walisongo Semarang.
Turut hadir  penulis buku Dian Nafi, Wakil Rektor I Muhsin Jamil dan beberapa alumni SKM Amanat seperti Hasan Aoni Aziz, Joko Tri Haryanto, Zaenal Arif, Siti Alfijah dan sebagai moderator Nur Zaidi.

Mengenai tema yang diusung “Membaca Wajah Puisi Hari Ini”, Kang Putu mengatakan ia tidak dapat menjelaskan bagaimana bentuk wajah puisi pada hari ini.
“Saya tidak dapat berkata macam apa dan bagaimana wajah puisi hari ini, karena bagaimana mungkin anda semua bikin sajak yang begitu indah namun sampai hari ini ada kawan penyair yang kita tidak tahu di mana beliau dikuburkan, Wiji Tukhul," tuturnya.
Kang Putu juga mengatakan, dalam hal membuat puisi ada hal-hal yang perlu diperhatikan bukan hanya soal kata-kata yang indah yang bisa dibaca oleh semua orang, tetapi tentang nilai apa yang terkandung di dalamnya.
“Kalau buat puisi cobalah perhatikan kata-katanya. Pakai kata-kata yang anda kenal, pakai susunan kata yang sederhana, kalimat yang sederhana tapi kemudian jika anda pikirkan lagi kata-kata tersebut susah untuk diartikan,” katanya.
Dian Nafi membahkan, ilmu tentang cara menulis puisi, cara bagaimana seorang sastrawan mengajak kita merespons puisi, dan mampu menjadikan puisi bukan hanya sebagai ajang ekspresi dan eksistensi.
“Untuk menulis puisi, kita harus peka menangkap sesuatu yang langsung buat kita punya ide. Memang semestinya puisi kita itu diarahkan untuk membaca apa yang terjadi di sekitar kita sehingga kita itu dapat menyuarakan sesuatu dan kita mampu menjadikan sebuah puisi bukan hanya sebagai ekspresi, eksistensi tetapi juga sebagai sebuah solusi,” ujar Dian.


Acara tersebut dimeriahkan dengan musikalisasi puisi kolaborasi Teater Wadas dan Skm Amanat, dan di akhir acara, Wakil Rektor I UIN Walisongo, Muhsin Jamil dan beberapa alumni berkesempatan tampil membacakan puisi.

Saya juga berkesempatan membacakan satu  puisi yang ada di dalam buku antologi puisi yang diluncurkan malam itu.

Terima kasih SKM Amanat UIN Walisongo Semarang for having me.
Happy anniversary. Semoga makin sukses, berkah dan berjaya di darat, laut dan udara!

April 06, 2016

Ditembak Gegara Menulis Cerpen Di Mading Sekolah

by , in
Ditembak Gegara Menulis Cerpen Di  Mading Sekolah



Ada dua majalah dinding yang kukerjakan bersama teman-teman semasa kami duduk di bangku sekolah menengah atas. Yang satu adalah mading untuk Rohis (Rohanis Islam). Satunya lagi mading OSIS. Aku jadi pimred keduanya. .

Dan yang terburuk dari pengalaman menangani mading adalah  aku pernah Ditembak Gegara Menulis Cerpen Di  Mading Sekolah.

Begini critanya:




Mayana tengah membaca sebuah majalah remaja di dalam kelas ketika tiba–tiba terjadi kehebohan kecil dalam kelasnya. Tepatnya oleh gerombolan Sarva dan kelompok bangku cowok tengil itu.

“Sarva!”

Eko berteriak dari depan pintu kelas 3 A1.1
Jantung Mayana seakan ikut melompat mendengar teriakan itu. Dia merasa ada yang tidak beres. Apalagi demi melihat raut Eko yang meliriknya, Mayana jadi bertambah kecut.

“Apaan, ko?”

Sarva bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pintu karena Eko memberi isyarat agar cowok itu mendekat kepadanya, seperti hendak menunjukkan sesuatu.

“Ada kejutan buat lo! “ kata Eko sambil sekali lagi melirik kea rah Mayana yang jadi salah tingkah dan menebak – nebak.

“Apaan?” Sarva pun jadi ikut melirik Mayana lalu pindah memandangi Eko.

“ayuk toh ! “ Eko menarik lengan Sarva, mengajaknya setengah berlari ke arah selatan.

DEG!
Mayana langsung sadar

“astaganaga… ini pasti karena cerpen yang aku buat kemarin buat mading nih”

Gadis itu menyeret kaki dari tempat duduknya, berjalan perlahan kea rah pintu kelas. Dari sana, kepalanya yang mungil setengah berada di dalam kelas, setengah berada di luar kelas. Pandangannya terlempar jauh ke arah selatan. Benar saja, kedua teman lelakinya itu pergi ke sana. Ke sebuah papan yang selalu diperbarui isinya setiap hari Kamis. Papan Majalah Dinding sekolah. Sudah terlambat untuk menyesal, Mayana pun segera kembali ke tempat duduknya.

“Matik, aku !” keluhnya.

Dengan kepala tertunduk siap diplonco  gerombolan Sarva, sengaja Mayana berpura–pura membaca buku. Agustin seperti biasa akan datang nanti mepet sebelum bel berbunyi.  Untuk sementara Mayana benar–benar akan sendirian menerima serangan entah seperti apa–apa. Dia hanya bersiap–siap.
Mayana lupa–lupa ingat apa yang dia ceritakan tentang Sarva yang menginspirasi cerpennya. Hanya saja gadis itu menulis karakter Sarva sebagai cowok item keeling, tanpa nama. Bagi yang tidak mengenal Sarva, mungkin cerpen itu tidak berarti apa–apa. Tetapi buat yang mengenal Sarva, bisa saja cerpen itu dianggap melecehkan, menghinakan dan mencemarkan.

Wuoahhh !!
Mayana tidak habis pikir kalau nantinya badannya yang kecil dikepung segerombolan cowok yang badannya besar–besar itu.
Langkah–langkah tegap sedikit berlari dari arah selatan kelas. Satu, dua, tiga… tiga orang. Mayana memperkirakan tiga orang yang datang. Pasti Eko dan Sarva, satu lagi entah siapa yang sudah bergabung. Mungkin Roy. Kalau benar Roy, Mayana masih bisa bersyukur. Roy sangat menghargai perempuan, dia pasti tidak akan sewenang–wenang dengan Mayana. Tapi meski demikian, hatinya lumayan ciut juga.
Benar saja. Eko, Sarva dan … oemji…. Taufik– anggota gerombolan yang paling sangar-  ketiganya berdiri di dekat tempat duduk Mayana.

“Oh. Jadi gitu caranya?” Laka masih diinginkan.

Eko melancarkan serangan pertama.

Terpaksa Mayana mendongakkan kepalanya ke arah mereka yang berposisi lima belas derajat searah jarum jam dari tempatnya duduk.

“Kamu nggak tahu siapa yang kamu hadapi atau bagaimana?” kali ini Taufik yang berkacak pinggang.
Mayana  agak melirik ke arah samping kanan dan serong ke belakang sedikit. Semua teman agaknya sedang sibuk sendiri atau pura–pura sibuk. Setengah takut, sudut mata Mayana melirik ke arah jendela kelas di sebelah kirinya.

“Mana sih, Agustin. Kenapa belum datang juga,” gerutunya dalam hati.
Mayana bukannya takut dengan ketiga cowok di dekatnya ini, tetapi dia sesungguhnya jeri jika harus mempertahankan apa yang ditulisnya tanpa sadar kemarin. Seperti biasa, jika sedang penat justru kemampuan autowriting-nya itu keluar tetapi hasilnya kadang tidak terduga, dan itu bisa positif dan bisa negative tergantung asupan yang masuk dalam kepalanya, baik itu referensi ataupun pengalaman yang dialami.
Di tengah kekuatiran yang mencengkeramnya, Sarva tampil sebagai pahlawan.

“Sudah teman–teman. Tidak perlu emosi. Tentu saja Mayana tidak bermaksud memperolok aku di tempat umum. Itu justru menunjukkan bahwa aku mulai menempati ruang hatinya. Bukankah demikian, Mayana?” retorika Sarva memaksa gadis itu mengangguk demi keamanan dirinya.

Lalu kedua teman cowok yang sempat menggojloknya itu pun bubar. Sesaat Sarva menatapnya, kemudian turut berjalan meninggalkan Mayana sendirian menekuri keisengan yang tidak disengajanya.

**

Insiden cerpen item keling itu ternyata memicu Sarva semakin berani dan semakin mendesak Mayana.

“May, kamu mau menutupi apa lagi? “ tanya Sarva sepulang sekolah hari Kamis naas itu.

“Kamu marah Sarva?” tanya Mayana.

“Tidak. Aku tidak marah, aku malah suka. Tapi ada syarat untuk membuatmu terlepas dari kesalahan ini,” Sarva tersenyum – senyum.

“Apa itu?” kening Mayana berkerut.

“Aku boleh bertandang ke rumahmu, kamu tidak lagi menolak jika kuantar pulang, dan buang wajah masam kamu jika bertemu aku.”

Mayana mengangguk – angguk, “oke”

Syarat terakhirnya, cowok itu  minta diperbolehkan mengaku ke teman-temannya bahwa  Mayana adalah kekasihnya.
Gadis itu tidak lagi bisa bilang tidak. Apalagi dirinya menyadari Sofyan tidak bisa diharapkan lagi. Cowok model yang ditaksirnya itu terang – terangan bilang pada Prasojo pada beberapa waktu lalu. Bahwa dia hanya menganggap Mayana sebagai adiknya saja. Anggaplah kehadiran Sarva ini sebagai obat pelipur laranya saat ini.
Mayana menghela napas panjang.

“Deal,” ujarnya pendek, menanggapi persyaratan Sarva yang terakhir.

Cowok itu tak bisa menutupi kegembiraannya. Seketika melunjak–lunjak. Mayana terkejut setengah mati lalu meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

“ssssttt.. tapi tidak usah teriak – teriak ya. Nggak usah norak,” pesannya dan segera menutup kedua telinganya dengan kedua telunjuknya.

Kuatir akan mendengar maklumat Sarva yang diperdengarkan ke seluruh kelas.

Untunglah cowok itu menurut pesan Mayana, dan menghentikan lunjakannya. Ganti tersenyum lebar lalu melangkah lambat-lambat ke tempat duduknya sendiri. Dengan senyum yang terus menghias wajahnya yang tampak bercahaya.
Sebagai kekasih yang mencoba bijaksana, tentu saja Sarva akan memberikan ruang yang dibutuhkan Mayana. Dia hanya akan setia menunggu dan mengikuti titah sang kekasih. Tiga tahun bukan waktu yang pendek untuk memenangkan hati Mayana. Kebersamaan mereka akan sangat berarti. Sarva telah belajar tentang betapa berharganya pencapaian ini. Mayana dan dirinya sendiri pantas untuk saling menghargai. Untuk sebuah hubungan yang sangat berharga ini.

gambar sumber dari internet

Maret 13, 2016

Resensi Bidadari Surga Pun Cemburu Di Majalah

by , in

Resensi Bidadari Surga Pun Cemburu Di Majalah

Seneng banget rasanya saat ada follower yang memention dan memberitahukan ada resensi buku terbaru saya, Bidadari Surga Pun Cemburu di sebuah majalah.

Dia menemukan upload foto majalah itu di fesbuk. Tulisan captionnya, si peresensi terima kasih pada temannya yang sudah menemukan dan memfotokan majalah itu untuknya.

Subhanallah, lihat, ada berapa banyak tangan penolong di sana. Alhamdulillah.

Semoga Allah membalas kebaikan teman-teman semuanya :)

Post Top Ad