improving writerpreneurship

Post Top Ad

April 06, 2020

Tips Menulis Novel: ADVERBIA

by , in
Tips Menulis  Novel: ADVERBIA



Dua unsur dalam tulisan yg sering (secara tidak sengaja) jadi penghalang terbangunnya adegan: 1. Adverbia 2. Tanda seru (terutama di paragraf eksposisi) Sebisa2nya kita irit dalam menggunakan keduanya.


Keduanya bisa (secara tidak sengaja) merusak pola pikir kita dlm membangun adegan. 1. Tanda seru punya efek mengeraskan 'suara'. Akibatnya, kita bisa tgantung pd tanda ini utk melakukan penekanan adegan. Instead of mbuat adegan yg signifikan, kita malah mhambur2kan tanda seru.

Tanda seru (apalagi sampai lebih dr satu) bisa menjadi tanda kegagalan kita dlm membangun eskalasi intensitas adegan. Cara tes: Hapus tanda seru pd kata/kalimat eksposisi yg hndak kita keraskan. Klo bagian 'keras' itu jd gak sekeras yg kita mau, artinya adegan nggak efektif.

Tanda seru yg kebanyakan dlm paragraf eksposisi cuma mnunjukkan kalo narator (yg dipakai penulis) gemar berteriak2. Adegan belum tentu jadi baik, tapi jelas berisiko membuat pembaca merasa 'pengang', kek film dg efek suara yg bikin penonton budeg. Apah kamu bilang?!!! TIDAK!!!

Secara pribadi, sy memperkenankan menggunakan (!) dalam dialog. Itu pun lewat prtimbangan. Fungsi utamanya hnya utk "efek suara", bukan utk penekanan makna. Paragraf paparan hampir tdk prnah ada tanda seru. Kecuali (selalu ada pengecualian dlm aturan apapun): tiruan bunyi.

Lagi2, pake tiruan bunyi (Brak, Dug, Plak, dsb) jg harus hati2 (sbaiknya dihindari kecuali ada SKEMA ESTETIS yg sdg dibangun)> I hold a gun. Click. I put it on his forehead. Click. Click. Maybe, he was lucky to be alive. Click. Hmm. Click. Bang! His brain shattered on the wall.

2. Adverbia (seperti namanya) adalah keterangan untuk verba. Tanda paling terlihat: "dengan + kata sifat". Menyanyi (dengan merdu); berkata (dengan tenang); dan bersuara (dengan keras) adalah bbrp contoh. Adverbia bisa mencerminkan kegagalan penulis utk "menggambarkan" adegan.

Instead of menggambarkan merdu, tenang dan keras, kita malah cari jalan pintas dengan menempelkan adverbia setelah verba. Kita gagal mencerminkan kemerduan, ketenangan, dan tingkat keras dr verba. Hapus adverbia itu. Kalaupun(!) adegannya berhasil, adverbia itu jd sia2.

Perlu diwaspadai: Penggunaan SIMILE—majas perbandingan yg pakai kata2: seperti, laksana, serupa, bak, dsb. A. Simile bisa menjebak penulis pada metafora2 klise: suaranya seperti halilintar, cantik seperti mawar; dsb. Kalau pakai Simile, pastikan tidak klise.

B. Simile sering digunakan penulis utk mgambarkan sesuatu yg sulit dibayangkan. Cara kerja Simile adlh mensejajarkan objek yg sedang digambarkan dg kerangka referensi lain. Ini cara ngeles YANG kalau keseringan jd menunjukkan ketidakmampuan penulis menggambarkan adegan.

Ini seperti membuat 'dosa' dobel: ~"Hai," ia menyapa dengan suaranya yang seperti buluh perindu.~ Pertama: Itu cuma perluasan adverbia menggunakan Simile, alias: adverbia diganti simile (yg sbnrnya sama saja). Kita tetap gagal menggambarkan adegannya.

"Seperti buluh perindu" tidak lebih dr mperluas kata "merdu" jd tiga kata yg, toh Kedua: udh dipakai oleh berjuta umat sblumnya alias menjurus pd klise alias basi. Adegan "merdu" tetap tidak terbangun. Lagipula, sbrpa perlu "merdu" ada di situ?
🤷🏻‍♂️
So what klo hai-nya merdu?

Kita sedang menulis CERITA (artinya menulis URUTAN ADEGAN yg memiliki hubungan sebab akibat), keberhasilan pembangunan adegan jd sangat krusial—tidak bisa digantikan oleh kehadiran tanda seru & adverbia. Adegan harus jadi senjata pertama, krn ini unsur utama perwujudan cerita.

Nah, salah satu latihan penting utk menulis adegan yg efektif: HINDARI adverbia dan tanda seru. Apa itu adegan? Adegan pada dasarnya adalah perwujudan dari sebuah skema aksi yang memiliki urutan sehingga dapat dipahami, diduga, dan disimpulkan hubungan sebab-akibatnya.

Adegan adalah bagian terkecil dari naratif yg masih mengandung potongan cerita/urutan kejadian yg saling terkait. Struktur adegan kurleb sama kek cerita: ada eksposisi/opening, konflik, klimaks, dan resolusi/closing. Panjangnya: terserah.

Adegan adalah pertemuan antara Karakterisasi dengan Plot. Adegan adalah alat untuk memasukkan karakterisasi tokoh ke dalam plot cerita. Semakin baik adegan(-adegan) dibangun, (seharusnya) semakin baik pula cerita menjadi alat penggambaran karakter.

Lupakan saja ide: Show, Dont Tell. No, darling. Dalam cerita, kita butuh keduanya dlm proporsi tepat: showing di satu bagian, dan telling di bagian lain. Buat saya, prinsip bercerita: DEMONSTRATE. DO NOT LECTURE. (Demonstrasikan (adegan) pada pembaca, jgn mengajari mereka)

Telling berguna saat kita akan "mengkontraksi waktu", misal: "Setelah 2 kali dikeluarkan dan 1 kali diusir dari sekolah, si Mumun lulus SD dengan peringkat tidak terhormat". Adegan 8 tahun SD itu dipersingkat krn tidak penting utk plot cerita.

Showing berguna utk menggambarkan adegan2 yg butuh detail untuk menggambarkan key-moment dlm hidup tokoh. Sila cari contoh sendiri saja, karena showing cenderung panjang.
Wajah tersenyum dengan mulut terbuka dan keringat dingin
Alias: kalau semua dibuat showing, novel kita akan panjang dan isinya nggak jelas. Proporsi = KOENTJI.

MODEL SITUASI adlh INTI adegan Kita perlu cari persamaan "model situasi" yg mampu menggambarkan adverbia/ajektifa yang hendak kita gunakan. Misal: Dermawan. Hindari kata "dermawan" sampai skema adegan terbangun jelas. Lalu, prtimbangkan apkh masih perlu pakai kata "dermawan"?

Contoh salah satu "Model Situasi" yg bisa menggambarkan "Dermawan": A makan di warung > pengemis datang > A menengok > A membuka dompet > A memberikan uang > Pengemis pergi dan A meneruskan makan. Isi benak si A akan menjelaskan apakah A benar dermawan atau malah org sinis.

Model Situasi adalah urutan kejadian yg baku hampir di segala situasi serupa & bisa dimodifikasi/ditumpuk2. Misal: Model Situasi Pengemis ditumpuk dg Model Situasi Makan di Warung. Model Situasi Pengemis punya kesamaan dg MS Pembelian: Buka dompet > Bayar > dapat 'sesuatu'.

Isi benak tokohlah yang kemudian akan memberikan sifat pada model situasi yang terjadi. Berfungsi serupa ajektifa/adverbia. Model situasi Pengemis + Isi benak kasihan = dermawan/mudah terharu/dsb. Model situasi Pengemis + Isi benak kesal = pelit/sinis/dsb.

Ini sedikit gambaran bahwa: Karakter, Plot, Setting, & adegan sesungguhnya adalah satu kesatuan yg tidak terpisah dlm cerita. Bercerita adalah keahlian mengurutkan adegan dan memodifikasi model situasi, BUKAN kemampuan menghambur2kan adverbia dan tanda seru. Selamat Menulis.



Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 06, 2020

Tips Menulis Novel: EMPATI dan GESTUR

by , in
Tips Menulis Novel: EMPATI dan GESTUR





Empati pada dasarnya adalah mengamati gestur yg sedang dilakukan oleh orang lain, dan mereka-ulang gestur itu dalam kepala, lalu muncul emosi yg polanya serupa (cuma serupa, bukan sama). Pada bbrp orang emosi itu tidak muncul.

Menulis fiksi pada dasarnya adalah kegiatan mereka-ulang urutan gestur ke dalam urutan kata2 dengan ditambahi pernyataan dlm benak tokoh. Gak lebih dr itu.

Buat gw: penghayatan penulis, kata2 indah, dan sejenis ini adlh omong kosong. Gw sesederhana mereplika gestur2 manusia pake alat linguistik, trus jelasin dikit apa maksudnya. Sisanya: biarin pembaca aja yg berusaha.

Jadi, gw gak perlu tahu apa itu "kesedihan" utk bisa nulis apa adegan sedih. Gak perlu merasa sedih juga.
Cukup pelajari gmn gestur manusia merespon sebuah kejadian sedih dan bagaimana otak manusia merespon itu. Trus, tulis deh gmn gestur tubuh menjadi cermin dr pikiran.


Secara gak sengaja, karena gw sering dicurhatin temen2, gw jadi belajar gmn tubuh menjadi cermin bagi apa yg ada di otak Gw selalu bilang: Gw gak tau apa rasanya jadi elu. Ini bikin mereka menjelaskan. Di saat yg sama, gw jdi compare antara kata2 mrk n gestur yg ditunjukkan


Dan, justru krn gw gak pernah tau apa rasanya jadi temen2 gw yg curhat itu, keknya, itu yg bikin mereka malah cerita ke gw. Kek,gw harus paham.

Wajah tersenyum dengan mulut terbuka dan keringat dingin
Ya, gw dengerin aja. Abis itu gw cocokin tuh urutan perilaku mereka sama jurnal2 ilmiah. Koheren atau nggak.

Writing is an act of empathy.

Jadi, kegiatan empati itu bukan cuma perkara kemampuan seseorang utk empati, tapi juga masalah keterlihatan gestur. Kita gak akn bisa empati sama orang sedih yg kesedihannya tidak muncul ke dalam gesturnya (krn berbagai hal, termasuk sensitivitas org dlm melihat gestur2 tipis).

Dan adanya gestur utk sampai bisa memancing empati, nggak cukup akibat satu kejadian. Otak kita selalu memperbandingkan antara kejadian yg muncul di depan kita dg pola2 yg tersimpan dlm ingatan.

Prnh ngalamin: temen keliatan gembira, kita tau dia sedih, dia: "Kok, elu tau kalo gw sedih?" Itu gak terjadi merely krn so-called "intuisi". Itu terjadi krn mata kita ga punya filter, otak yg memfilter. Krn akrab, otak jadi bisa 'liat' perbedaan tipis yg ga diliat org lain.

Ini yg bikin "intuisi" kita pada satu hal tidak membuat kita bisa berintuisi dg hal lain. Kita bisa tau temen kita sedih just "sekali lihat" (yg sbnrnya gak sekali, krn sbnrnya kita memperbandingkan dg ingatan kita sblmnya, walau gasadar), belum tentu berlaku ke org lain.

Entah gmn, mungkin karena kebiasaan mencatat dan mengingat, banyak penulis yg sangat sensitif sama pola2 gestur ORANG LAIN. Ini modal mereka nulis sekaligus curse buat mereka karena kepala mereka jadi selalu 'ribut'.


Proses menulis "persis" banget kek proses manusia berempati. Tugas penulis adalah meninggalkan Clue n Cue yg bisa ditangkap pembaca mengenai gestur2 dari tokoh dlm cerita. DAN tidak perlu terus2an dimakna2i dan dijelas2kan.

contoh: Kita tau, temen yg keliatan gembira sbnrnya sdg sedih. Kapan kita tanya; "Elu kenapa?"
Jelas: klo kita nggak tahu dia kenapa. Kalau tau, kita ga akan nanya. Membaca sama. Klo infonya terlalu jelas, pembaca ga akan nanya. Ini yg bikin pembaca bosen dn berhenti baca.

Kasi unjuk gestur2nya aja. Sampe cukup informasi sehingga pembaca sendiri yg nanya: Dia kenapa? Jangan malah penulisnya sendiri yg nanya bolak-balik ke pembaca. Apa yg terjadi padanya? Apakah aku harus mencari tahu? Blablabla. Yg penulis sangka bakal bikin penasaran pembaca.

Seringkali, penegasan2 pertanyaan tokoh tentang "kemisteriusan" sesuatu yg sedang dibahas dlm fiksi, kalo terus2an dilakukan, malah bikin lelah pembaca. Like: Iyaaaa. Gw tau.... Ngapain diulang2 mulu, dah!

Mau genrenya apapun, unsur misteri adalah komponen penting dalam fiksi. Tapi, gak usah dijelasin apa misterinya. Biarin aja pembaca yg mereka2 sendiri. Karena, di situlah letak kesenangan membaca. Pembaca menemukan sendiri misterinya dan mengikuti cerita utk tahu jawabannya.

Klo diliat dr sudut pandang gestur, badan cerita adalah 1. Eksposisi: Gestur normal, sblm ada inciting incident. 2. Rising Action: Gestur responsif atas inciting incident (melalui banyak konflik sampai ke klimaks) 3. Falling Action: gestur baru tokoh setelah masalahnya selesai.

Fiksi adalah pengulangan pola yg muncul di dunia nyata secara tidak sempurna. Pola yg buat gw menjadi dasar cerita fiksi adalah gestur, alias cara manusia bergerak di dunianya. Fiksi selalu ttg pergerakan2 itu

Dengan melihat dan mengamati pergerakan manusia (bahkan di level mikro: getaran kelopak mata, pupil dilation, dsb) dan memperhatikan bagaimana respon manusia sama kejadian (termasuk gestur orang lain) akan sngat membantu penulisan fiksi.

Jadi: kalo temen curhat, JANGAN sibuk ngasih nasihat. Dengerin. Komentar secukupnya. Perhatikan gesturnya. Penulis lebih butuh keahlian mendengar n mengamati, dibanding keahlian menasihati (kecuali mau jadi mario teguh). Pun, tmn kita keknya gabutuh nasihat. Dia butuh EMPATI.

Klo kbtulan denger curhat dlm kelompok, misal: se-gank, Jangan cuma perhatiin org yg curhat, perhatiin juga org yg denger curhat. InsyaaaAllah, kita juga akan nemu gestur2 yg berbeda. TIDAK ADA yg salah dg respon2 itu krn latar belakang tiap org beda. Isi ingatannya jg beda.

Klo kita gembira, kita cenderung senyum. Emosi mempengaruhi perilaku. Tapi, sebaliknya, perilaku jg bisa mempengaruhi emosi. Silakan coba aja: Kalau sedang buru2, kita cenderung berjalan cepat2. Coba dibalik: berjalanlah cepat2. Tiba2 kita jg merasa sedang terburu2.

Otak kita mengingat pola yg bisa bolak-balik. Kalau sedang sedih, paksa utk senyum. Tidak akan bikin gembira. TAPI, minimal, bisa menahan agar kita tidak sedih lebih dalam SAMPAI kita bisa menyelesaikan masalahnya. Selesaikan masalahnya juga. Jangan cuma senyum



Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 05, 2020

Tips Menulis Novel: Manajemen Kepenulisan

by , in
Tips Menulis Novel: Manajemen Kepenulisan



Tidak ada cara menulis yg bisa berlaku buat semua orang. Tiap penulis selalu punya cara sendiri yg semuanya benar.

Pertama. Kita prlu menyadari dulu apa sih "menulis fiksi". Menulis fiksi adlh kegiatan seni menggunakan alat2 linguistik dan nonlinguistik yaang SARAT perkara teknik. Buat gw, lebih dari 90% pekerjaan menulis fiksi adalah teknis. Hal nonteknis (apalagi baper2an) nyaris ga ada.

Buat gw perkara nonteknis di fiksi cuma terkait satu hal: IDE. Dan, di sinilah semua masalah mampet berasal, gakbisa selesai dg manggil tukang sedot WC. Walaupun, IDE cuma faktor "kecil" tapi punya peran besar.

IDE adlh sesuatu yang tidak tampak di struktur permukaan cerita. Bahkan, seiring pengerjaaalnnya, IDE awal seringkali berubah ke dalam bentuk lain. Yg muncul: STRUKTUR PERMUKAAN cerita. Sederhananya adalah semua hal yg muncul secara empiris (bisa diindrai) di atas medium tulis.
Faktor yg sulit dimanajemeni justru si IDE. Soalnya, IDE ada di level mental si penulis, alias lebih banyak dipengaruhi sama faktor internal psikologis si penulis sendiri. Malas, bete, gak mood, capek, dsb, adlh bbrp hal yg pengaruh, selain: tujuan si penulis menulis.

Proses PENG-IDE-AN ini tidak berhenti saat kita dapat IDE CERITA. Proses ber-ide terus berjalan SAMPAI kita sendiri menganggap proses menulis sudah selesai. Jadi, NGGAK usah kegeeran dg menganggap bahwa setelah dpt IDE CERITA maka nulisnya pasti lancar jaya.

Nah! IDE di dalam fiksi secara teknis terdiri dari 2 lapis. 1. IDE CERITA 2. IDE PENCERITAAN Yg pertama terkait yaaa ceritanya. Yg kedua terkait CARA cerita itu diceritakan Pisahkah keduanya.


Walaupun, pas proses nulis IDE CERITA muncul duluan (dlm benak penulis), TAPI yg kelak pertama ditangkap oleh pembaca adalah IDE PENCERITAAN-nya. Mostly Pembaca berhenti membaca BUKAN karena IDE CERITA-nya buruk, tapi karena cerita itu DICERITAKAN dengan cara yg buruk.


kemampetan2 menulis sering terjadi karena proses IDE CERITA dan IDE PENCERITAAN dilakukan secara berbarengan.
Alias, dicampur jadi satu. Sambil mikirin ide cerita, riset, nulis, mikir apa yg ditulis, dsb. Klo sambil ngejar deadline lomba ya bisa amsyong. Otak bisa ngambek.

Kalau CARA penulis bercerita tidak bisa ditangkap oleh pembaca, jangan mimpi pembaca akan bisa menangkap IDE CERITA-nya. IDE CERITA baru bisa ditangkap dan dianalisis oleh pembaca setelah IDE PENCERITAAN-nya bisa dipahami.


IDE CERITA harus & pasti KRONOLOGIS sesuai hukum absolut waktu yg sllu jalan ke masa depan Protagonis (kalaupun si Protogonis pindah ke masa lalu kek Film Back To The Future). IDE PENCERITAAN yg bikin ide cerita bisa punya naratif yg pindah2 waktu

IDE CERITA sulit diatur krn sangat tergantung faktor personal ketika si penulis sedang menulis. Tapi, JUSTRU ITU maka HARUS diatur, jauuuh2 sebelum ikut kompetisi

Prinsip dasar semua seni (termasuk seni kepenulisan) adalah IMAJINASI. TAPI, ini tidak sama dengan KEBEBASAN dan seenak2nya karena imajinasi kita dibatasi minimal oleh dua hal: PENGETAHUAN dan KEMAMPUAN kita sendiri.

Karena menyangkut pengetahuan dan kemampuan si Penulis sendiri, maka menulis BUKAN kegiatan yang bisa dilakukan secara dadakan. Kita akan kesulitan kalau: hari ini ada pengumuman kompetisi nulis lalu gitu aja ikut dengan modal nol kosong (tanpa pengetahuan dan kemampuan).


Menulis adalah kegiatan yang mempersyaratkan perubahan gaya hidup dan pola pikir. Bukan kegiatan yang bisa dilakukan secara murni impulsif.

Nggak gara2 kita mau nulis maka kita bisa menulis. Iya. Kalau mau nulis "Ini Budi. Ini bapak Budi" memang gampang TAPI, menulis fiksi gak cukup bermodal nggak buta huruf dan punya cerita. Nggak gitu cara kerjannya. Fiksi berdiri di atas CRAFTING sebagai fondasi

Kecuali mau bikin karya asal2an. Dan, supaya hasilnya gak terlihat asal2an perlu direncanakan alias dimanajemeni.

Langkah pertama utk melakukan manajemen kepenulisan adalah MEMISAHKAN proses menghasilkan IDE CERITA, IDE PENCERITAAN dan PROSES AKTUAL menulis.

Klo ikut kompetisi menulis SEBISA-BISA-nya, proses yg perlu dilakukan slma periode lomba blangsung HANYA: Proses Aktual Menulis. KECUALI: durasi lomba itu sgt panjang; 6 bln atau setahun misalnya. Kita akan terbirit2 klo durasi lomba sebulan n semua proses dilakukan sekaligus

Btw, saat Proses Aktual Menulis, BUKAN BERARTI proses pengidean berhenti, yaaaa. Proses Beride tetep jalan. CUMA, saat Proses Aktual Menulis ide yang diperlukan (seharusnya) hanya ide MIKRO—ide ttg bagaimana struktur kalimat n paragraf.

Bisa kebayang, kan, betapa pusingnya kalau saat aktual menulis (alias: ngetik) otak kita juga masih harus mikir: Habis ini ke mana??? Otak gak boleh diperas sampai pol. Kalau diperas sampe pol, hasilnya: OTAK MINTA ISTIRAHAT. Kita malah di-hack sama otak kita sendiri.

Untuk bisa mengerjakan sesuatu dg lancar, Otak butuh petunjuk2. Otak gak bakal mau diajak kerja kalo gak jelas apa yg sedang dikerjakan. Menulis itu hampir murni kerja otak, secara terus menerus. Beda sama nyetir mobil yg di satu titik bisa kerja gak sadar, tau2 sampe rumah.

Kita bisa makan, minum, bhkn nyetir sepeda sambil mengenang2 mantan. Menulis fiksi gak memungkinkan itu. Kita cuma bisa memikirkan: Habis ini kata n kalimat apa yg kita tulis. Begitu ada pikiran lain: Tulisan bisa bubar. Bhkn, mikir: Abis ini cerita kmna, bisa bikin bubar!

Menulis butuh kesadaran penuh. Manajemen menulis (fiksi) = manajemen kesadaran. Kalo kita gak bisa ngatur apa yg boleh masuk ke kesadaran, menulis akan terasa berat sekali.

Artinya: saat menulis, kita tidak boleh memikirkan hal apapun SELAIN setelah ini kalimat apa yang kita tulis. Segitunya? Iya, segitunya. Siapa bilang menulis gak segitunya? Menulis itu berat dan memang segitunya.

Balik lagi ke IDE. IDE itu hewan liar yang susah dikendalikan. Punya ide bisa jadi hal baik, tapi bisa sangaaaat buruk. Berapa banyak penulis yg gagal menulis malah gara2 kebanyakan ide? Ide2 bisa menganggu kalau gak diatur.

adi, Ide JUGA harus diatur. Jangan kemakan MITOS bahwa menulis butuh beride LIAR dan BEBAS. SEBALIKNYA, menulis adalah proses MENGERANGKENG IDE agar hanya ide yang produktif pada cerita yang kita tulis. Writing is an act of giving an order to the chaotic mind.

Cara paling sederhana utk mengatur IDE adalah memisahkannya dari memori dalam otak kita. Caranya: BIASAKAN membawa BUKU IDE. Bisa berupa buku catatan, atau lewat gadget aja. Intinya: Ide TIDAK BOLEH disimpan sbg ingatan dalam kepala. IDE HARUS DITULIS.

Jangan pernah membiasakan diri mencari ide dadakan pas ada kompetisi nulis. Ini penyebab awal kemacetan cerita, karena yg kita butuh BUKAN cuma ide cerita, tapi juga: ide plot, karakter, kata, kalimat, dan sebagainya.

apakah IDE cerita harus diwujudkan jadi naskah novel atau cerpen beneran? TIDAK. Bahkan, ide juga boleh dibuang.

Kedua: Biasakan membuat ide secara utuh. Bukan cuma Ide cerita yang masih sangat konseptual. IDE CERITA harus tercatat mininimal sebagai sebuah PREMIS. Lebih bagus lagi kalo langsung dijadiin LANDMARK CERITA. Tulis dlm BUKU IDE sbg tabungan






Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit
April 05, 2020

Tips Menulis Novel: ENDING

by , in
Tips Menulis Novel: ENDING




Buat gw ending adalah bagian PALING PERTAMA yg dibuat (Setelah gw tau premisnya apa)

Bahkan, gw bisa membuat ending sblm gw tau awalnya apa. Gw memulai semua cerita dr bagian akhirnya. Justru Plot dan semua komponen cerita TUNDUK sama ending. Semua komponen cerita mmng sejak awal didesain utk mencapai ending yg gw rencanakan.

Logikanya sederhana. Apa syarat utk bisa sampai ke suatu tempat? Syarat utamanya adalah kita udh menentukan tempat tujuan. Kita NGGAK akan sampai ke mana2 klo tujuannya "ke mana aja, deh".
Wajah tersenyum dengan mulut terbuka dan keringat dingin
Klo ud punya tujuan, mau muter2 dulu, seterah situ. Situ yg nulis, kok.

Misal: Gw mau ke blok M. Rumah gw di Bojiong Kenyot. Trus, mau kek apa? Jalan2 santai? Buru2? Superburu2? Alias, ini akan jadi apa? Cerpen? Novela? Novel? Berapa panjang? 1500 kata? 7000 kata? 40ribu? 100ribu? Based bentuk, gw pikirin, sbrp rumit plot yg diperlukan.

Jadi, hal kedua yang gue tentuin setelah tau mau nulis cerita apa adalah ketebalannya. Bagaimana gw tau pdhl blm ditulis? Dari Premis. Premis sbnrnya nunjukin apakah suatu cerita akan rumit atau nggak. Semakin jauh tujuan tokoh sama resolusinya, makin tebal ceritanya

Halangan tokoh juga menentukan ketebalan cerita. Makin kuat halangannya, makin butuh plot panjang. Gw sering nemu premis2 yg kelewat ambisius. Premisnya kek utk novel, si penulis bilang itu cerpen. 1500 kata pulak. Ya, pasti keteteran. Atau sebaliknya.

Klo jd novel, karakter bisa gw bawa muter2. Bojong Kenyot - Bandung - Ujung Genteng - Tanjung Priok - Blok M. Klo Cerpen jgn jauh2 jalannya. Klo mau jauh, harus buru2. Jgn sharian jalan2 di Bandung, lima menit aja di Setapsiun. Alias: pendekin plot, adegan, kalimat, dsb.
Ke mana aja tokoh dibawa? Ke .... mana pun yang dibutuhin ending. Mis, Ending: tokoh—dokter yg dikirim jd pasukan perdamaian—tewas meninggalkan 1 anak. Maka, dia: Kuliah, koas, daftar tentara sipil, nikah, bikin anak, baru berangkat. Biar tewas? Jgn bikin doi ahli nembak.

Misal lagi: Gw ogah bikin dia mati di perang, gw mau buat dia cuma kehilangan satu kaki, ah. Artinya dia selamat sblm dibawa balik ke rumahnya. Baru deh gw buat plot kehilangan kaki n gmn diselamatkan. Enak, kan? Kagak ada tuh ngecek2 jalan cerita. Kan dr awal ud diklop-in.

Kecil kmungkinan gw mulai nulis cerita yg gw gak tau endingnya. Bukannya mulai tujuannya selesai? Muter2 tanpa tujuan, gak akan bikin naskah selesai. Di tengah jalan baru nentuin tujuan? Bisa2 bingung krn bnyk plotpoint n tokoh2 yg entah tujuannya apa sampai bisa ada di sana

Lagian, apa bedanya sih dg nentuin ending dr awal? Sama aja, malah lebih enak. Toh, buntut2nya bikin ending juga. Lagian, klo berubah pikiran, ya tinggal diubah. Malah, kita bisa jadi antisipatif sama perubahan.

Apa sih komponen Ending? Pada dasarnya Ending adalah adegan penutup yang menjawab 2 (pertanyaan) dasar: 1. Apakah protagonis berhasil mencapai tujuannya? Ya/Tidak. Cek premis. 2. Dalam keadaan apa? Situasi yg dialami Protagonis saat dia berhasil/gagal di akhir cerita.

Pertanyaan Ending yg pertama gampang jawabnya: Kalo gak berhasil ya gagal. Yg agak sulit yg kedua, krn perlu dijawab: 1. Settingnya di mana? 2. Sama siapa doi di sana? 3. Menang total/tidak: Misal: Menang, tapi sahabatnya tewas. Mati tapi dipuja2. 4. Kondisi Emosional. 5. Dsb.

Jangan lupa juga. Yg punya ending bukan cuma protagonis. Tapi, semua tokoh yg ada. Semua Tokoh punya Entrance dan Exit. Kapan dan bagaimana masuk ke dalam cerita, dan kapan/gmn keluarnya. Tokoh2 yg TIDAK muncul di Ending, akan dikeluarkan dr cerita ketika cerita berjalan.

Misal Premis: Seorang dokter relawan perang ingin pulang dengan selamat tapi terjebak dalam pertempuran dua kubu, akhirnya berhasil lolos namun kehilangan satu kaki. Ending: 1. Di rumah pacarnya. 2. Bersama teman 3. Berhasil pulang, tapi pacarnya menikahi orang lain. 4. Kecewa.

Berdasarkan komponen itu, kita bangun dulu adegan dalam ending. Caranya: Sama seperti nulis adegan biasa. Ada entrance dan exit. Entrance: Berangkat ke rumah pacar sama temennya sehabis upacara pelepasan dr markas. Exit: Meninggalkan rumah pacar menuju rumah temannya.

Pas menulis ini prinsipnya adalah bebas. Silakan ubah2 aja sesuai imajinasi. Misal: Ah, gw mau dia kehilangan satu kaki dan pakai kruk. Ah, gw mau dia datang masih pakai seragam. Ah, gw mau sebenarnya dia merencanakan kejutan krn sblmnya dianggap hilang. Dsb.

Berdasarkan ending itu, baru disiapkan KEY MOMENTS: 1. Kapan dia berangkat ke perang. Gmn keputusan ini diambil. 2. Gmn dia akrab sama temennya. Bisa jd krn dia menyelamatkan temennya itu sblmnya. 4. Gmn dia smpt hilang dlm perang. 3. Gmn dia kehilangan kaki. 4. Dsb.

Key moments dan seluruh komponen cerita TUNDUK pada ending. Apapun yang kita mau muncul di ending, dipersiapkan alur kejadiannya dalam plot (dan kelak subplot), dan dijadikan landmark cerita. Berubahnya Ending adalah perubahan semuanya, bahkan termasuk openingnya.

Misal: Krn endingnya adalah dia ditinggal kawin sama pacarnya, maka openingnya adalah pacarnya nggak rela dia jadi tentara dan si Protagonis ngotot. Nah! Siapkan argumennya. Kenapa dia ngotot? Misal: krn ingin memenuhi keinginan ayahnya yg veteran perang juga. Gampang, kan?

Kelemahan cara ini apa? Kelemahannya adalah proses ini sulit dipake kalau akan diposting sebelum naskah selesai. Cara ini sering bikin penulis perlu nulis dg cara gak linear. Ke depan, ke belakang, ke depan ke belakang, ke tengh, ke belakang lagi, dst.

Keuntungannya apa? Kekukuhan argumen2 dlm cerita jd lebih terjamin. Pernah baca novel (terutama daring) yg seperti cuma muter2 gak jelas? Ya sbnrnya krn ini. Dia mmng pas nulis gak tau mau ke mana. Trus, gimana biar bisa langsung posting? Ada solusinya? Ada. >>> Bikin outline

Berdasarkan ketebalan, rencanakan Bab-nya. Misal 40ribu kata dalam 40 bab. Artinya: per bab berisi 1000 kata. Lalu, letakkan LANDMARK di tempatnya dulu.

Kalau landmark ud diletakkan, buat subplot2 & adegan transisi di antaranya. Isi semua bab dg adegan2 transisi & subplot. Kalau trnyata ada Bab yg KOSONG, pertimbangan utk mengurangi Bab. Jangan maksa kalau ceritanya mmng gak support. Kecuali, mau ceritanya muter2 gak jelas.

Next, cek ulang semua Key Moment. Apkh semua sudah ada argumennya? Kalau ada yg belum, siapkan, dan rencanakan akan masuk di bab mana. Kalibrasi semua adegan dg periksa sebab-akibat. Diemin bntr, perika lagi. Klo ud sreg, baru deh nulis n aplot satu per satu.


Saat meng-outline cerita, jangan bayangkan diri kita protagonis atau narator. Bayangkan, kita duduk di depan sebuah panggung sbg sutradara pertunjukan drama. Pemeran2 kita ada di belakang panggung. Tugas penulis mengatur gmn mereka masuk & keluar dr panggung itu.




Aturan dibuat untuk dilanggar
taken from wisnucuit

Post Top Ad