Dus, seorang teman novelis lainnya jadi menceritakan kisah bagaimana dulu perjuangannya memenangi lomba menulis novel di penerbit besar tempat si mantan editor ini bekerja.
Lalu sempat baper juga karena meskipun menang, tapi panitia dan juri justru memilih naskah pemenang kedua untuk diterbitkan sebab dianggap lebih populer, sementara naskahnya lebih nyastra.
Syukurlah akhirnya dia sepertinya mengambil keputusan tepat dengan memilih agen yang juga menghandle naskah Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Tour dan mbak Leila Chudori.
Semua pencapaian itu ada jerih payah dan segala tetek bengek rintangan, kegalauan juga perjuangan melewatinya.
Bagaimana semasa kuliah di Jerman dulu, beliau harus mandi di tempat pemandian orang miskin dan hanya mandi dua minggu sekali. Bagaimana beliau harus irit, makan sedikit. Bagaimana beliau menghadapi senior senior yang memperlakukannya dengan tidak baik dst.
**
Proses kreatif penulisan Man Behind The Microphone bisa di baca dalam postingan ini
Sambil memakai kupluk putih itu, gurauan dan leluconmu kembali menghangatkan suasana. Ceritamu tentang tukang cukur (yang mengingatkan pada ‘perbincangan tak kasat mata’ kita tentang rambutmu), tentang rumah Palembang yang tidak sempat ditengok, tentang usaha empek-empek yang tutup karena mama-mu capek, dan juga rencana novel tentangmu. Kamu minta aku mengirimkan saja pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan novel via email. Yups, tentu saja saat rehat begini paling enak adalah ngobrolin yang santai dan ringan.
Kesopananmu, caramu memanusiakan manusia, nguwongke, menghargai orang lain, keberadaan dan juga pemberian semakin membuat hatiku jatuh. Kuakui atau tidak kuakui.
**
Kubawa diriku sibuk agar teralihkan rasa tak nyaman ini. Sepertinya dia sudah duluan merasakan ‘kesakitan’ ini. Karena dia berdoa di akun instagram-nya supaya Tuhan mengangkat ‘sakit’nya. Yach, sakit apalagi yang bisa terjadi setelah pertemuan yang sama-sama menahan rasa dan membatasi diri agar jangan sampai saling memandang dan bersirobok mata. Pengalaman terdahulu mengajarkan bahwa mataku bisa menenggalamkan dirinya ke dalam arus yang dalam. Dan demikian pula diriku tak sanggup tidak meleleh saat melihat senyum di bibirnya. Maka yang terjadi adalah kami sama-sama saling menahan justru saat kami berdekatan dan punya kesempatan. Sehingga efeknya yang tertahan waktu itu sekarang ini meminta ruang untuk pelepasannya. Oh, ya Tuhan. Rindu itu antara enak dan tidak enak. Kayaknya semua orang juga tahu ini. Jadi tidak perlu diperpanjang ya.
**
Yang kutahu, Tuhan mengirimkanmu untukku agar aku belajar sesuatu. You have qualities that I need to be. Dan mungkin juga sebaliknya begitu. I have qualities that you need to be. Mungkin. Karena apa gunanya meninggikan diri sendiri kalau ternyata justru malah merendahkan diri karena sebenarnya tak setinggi itu.
By the way, cinta tak seharusnya dibikin berat. Bikin saja ringan seperti layangan. Bikin saja santai, kayak di pantai. Cinta mustinya tanpa syarat. Cinta itu membelenggu atau membebaskan? Menyakiti atau menyembuhkan? Menggalaukan atau menenangkan? Meniadakan atau mengadakan? Atau memang perpaduan keduanya? Bahwa cinta itu paradoks di samping juga adalah keseimbangan. Atau cinta adalah tidak itu semua. Cinta itu ya cinta saja. Atau seperti postingan status yang ditulis oleh salah satu personel band-mu; Biarkanlah cinta menjadi sebuah cinta.
baca bagian 13
baca bagian 14
baca bagian 15
baca bagian 16
baca bagian 17
baca bagian 18
baca bagian19
baca bagian 20
baca bagian 21
baca bagian 22
baca bagian 23
Kamu Datang Tepat Waktu.
Meskipun mata bersinarmu sempat menyihirku, kebersahajaanmu membuatku kagum, namun aku tahu kamu bukan orang yang akan mudah diraih. Aku sadar diri. Untuk itulah aku mencari tahu lagi, sebenarnya apakah arti pertemuan kita. Lalu aku paham.
**
Ada sahabat penaku yang sangat ingin kukunjungi kotanya, dan ternyata kamu dari sana asalnya, Palembang. Empek-empek adalah makanan favoritku, dan ternyata kamu barusan buka usaha kuliner empek-empek di Kemang.
Yups. Sebelum ketemu langsung, memang aku tidak pernah memperhatikan lebih jauh dan lebih dalam dia seperti apa. setelah ketemu dan mencari tahu, barulah paham pergaulan bebasnya dan langsung kekagumanku luntur dan bye bye.
Bye bye ya. Semua artis sama saja rupanya. Jadi baiknya kuambil dan serap yang tauladan yang baik saja. Sisanya, yach semua manusia memang pada dasarnya sama saja. punya kelebihan kekurangan, dan khilaf-khilafnya.
Proses kreatif penulisan Man Behind The Microphone bisa di baca dalam postingan ini,
Ahaha:D
Batas Itu Hanya Ilusi
Aku baru sadar hal itu ketika suatu ketika dengan GPS iseng mengukur jarak antara titik nol Semarang (depan kantor pos besar Johar Semarang) dengan titik nol kota kecilku di mana aku tinggal.
Ternyata jaraknya sama kalau dari titik nol Semarang itu ke arah meteseh tembalang. Wow.
Padahal selama ini kalau pas jalan dari Demak ke.Semarang kesannya kan jauh banget karena luar kota. Padahal yang sama-sama dalam kota Semarang ternyata jaraknya sama. nah lho.
Bisa dibilang batas kota itulah yang menjadikan jarak demak Semarang kesannya lebih jauh. Lhah kan beda kota, menyebrang kota lain.
Dus, iseng-iseng lagi membandingkan milestone aka batu/patokan yang dilewati dari meteseh-kantor pos johar dengan point (besar/signifikan) apa saja yang dilewati dari demak-semarang.
Kalau dari meteseh, ada pertigaan unpand, trus patung kuda gerbang ngesrep undip, trus pasar jatingaleh, trus tugu muda, trus kantor pos besar deh, ada berapa tuh, empat stop-an lah ya.
Kalau dari demak, ada jembatan kalikondang, jembatan wonokerto, nggorawe, genuk, kantor pos besar deh. ada betapa tuh, empat stamplat juga kan.
Nah! Jadi batas itu hanya ilusi.
Sejak menyadari ini jadi makin enteng lho kalau musti engklek ke semarang, sama kok kalau aku tinggal di meteseh misalnya jauhnya juga sama.
So, harus tetap happy ya.
Kan Muslimah Kudu Happy :)
Gitchu. Dan ternyata batas itu cuma Ilusi ada lagi kudapat insight nya. Kita bahas kapan-kapan lagi ya:D